Dalam fikih pernikahan, terdapat pembahasan mengenai hubungan suami-istri yang berbeda agama, khususnya suami Muslim dengan istri Nashrani atau Yahudi (Ahli Kitab). Salah satu masalah yang dibicarakan oleh Imam Syafi’i adalah hukum memaksa istri Nashrani untuk mandi setelah selesai haid. Hal ini terkait dengan hak suami untuk menggauli istrinya dan keterikatan keduanya dalam ikatan pernikahan yang sah.
Kutipan Imam Syafi’i
إِذَا انْقَضَتِ النَّصْرَانِيَّةُ مِنْ حَيْضِهَا، فَهِيَ تَحْتَ سُلْطَانِ الزَّوْجِ الْمُسْلِمِ، فَيَجُوزُ إِلْزَامُهَا بِالِاغْتِسَالِ مِنَ الْحَيْضِ. فَإِنْ أَبَتْ أُلْقِنَتْ الْغُسْلَ، لِأَنَّ الْحَيْضَ يَمْنَعُ الزَّوْجَ مِنْ وَطْئِهَا فِي حَالٍ أُبِيحَ لَهُ فِيهَا الْوَطْءُ.
Artinya:
“Apabila wanita Nashrani telah selesai dari haid, maka ia berada di bawah kekuasaan suami Muslim. Maka boleh baginya (suami) memaksa istrinya untuk mandi bersih dari haid itu. Jika ia menolak, maka ia dapat diajari cara mandi, karena haid itu mencegah suami untuk menggaulinya pada saat ia telah halal untuk digauli.”
Analisis
Imam Syafi’i menegaskan bahwa:
-
Hak suami Muslim terhadap istri Ahli Kitab tetap berlaku, termasuk dalam hal menjaga kebersihan syar’i setelah haid.
-
Alasan utama kewajiban mandi ini adalah terhalangnya suami untuk berhubungan apabila istrinya masih dianggap dalam keadaan hadats besar.
-
Berbeda dengan junub, di mana hubungan tetap diperbolehkan meskipun istri belum mandi, haid merupakan penghalang yang tegas berdasarkan nash Al-Qur’an.
Dengan demikian, mandi setelah haid bukan hanya ibadah personal, tetapi juga terkait dengan hak pasangan dalam pernikahan.
Dalil Al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى ۖ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
(QS. Al-Baqarah: 222)
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: ‘Haid itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu jauhilah wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.”
Ayat ini menunjukkan bahwa suci dari haid merupakan syarat untuk membolehkan hubungan suami-istri. Oleh karena itu, seorang istri –meskipun beragama Nashrani– tetap terikat dengan hukum ini dalam pernikahan dengan suami Muslim.
Kesimpulan
Dari penjelasan Imam Syafi’i dan dalil Al-Qur’an, dapat disimpulkan bahwa:
-
Suami Muslim berhak memaksa istrinya yang Nashrani untuk mandi setelah haid.
-
Tujuannya adalah agar tidak terhalang dari hubungan suami-istri yang halal.
-
Mandi junub berbeda dengan mandi haid; hubungan tetap boleh dilakukan sebelum mandi junub, tetapi tidak boleh sama sekali sebelum mandi dari haid.
Dengan demikian, hukum ini menjaga hak suami, kesucian hubungan pernikahan, serta konsistensi dengan syariat Islam dalam mengatur tata cara hubungan keluarga.
Ditulis oleh:
KH. Ahmad Ghozali Fadli, M.Pd.I
Pengasuh Pesantren Alam Bumi Al Qur’an, Wonosalam, Jombang

