Pergaulan Laki-Laki Dengan Perempuan

Pertanyaan:

Banyak perkataan dan fatwa seputar masalah (boleh  tidaknya) laki-laki bergaul dengan perempuan (dalam satu tempat). Kami dengar diantara ulama ada yang mewajibkan wanita untuk tidak keluar dari rumah  kecuali ke kuburnya, sehingga ke masjid pun mereka dimakruhkan. Sebagian lagi ada yang mengharamkannya, karena takut fitnah dan kerusakan zaman.

Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan Ummul Mu’minin Aisyah r.a. “Seandainya Rasulullah saw. mengetahui apa yang diperbuat kaum wanita sepeninggal beliau, niscaya beliau melarangnya pergi ke masjid.”

Kiranya sudah tidak samar bagi Ustadz bahwa wanita  juga perlu keluar rumah ketengah-tengah masyarakat untuk belajar, bekerja, dan bersama-sama di pentas kehidupan. Jika itu terjadi,  sudah  tentu wanita akan bergaul dengan laki-laki, yang boleh jadi merupakan teman sekolah, guru, kawan  kerja, direktur perusahaan, staf, dokter dan sebagainya.

Pertanyaan kami, apakah  setiap pergaulan antara laki-laki dengan perempuan itu terlarang atau haram? Apakah  mungkin wanita akan hidup tanpa laki-laki, terlebih pada zaman yang kehidupan  sudah bercampur aduk  sedemikian rupa? Apakah wanita itu harus selamanya dikurung dalam sangkar, yang meskipun berupa sangkar emas, ia tak lebih sebuah  penjara? Mengapa  laki-laki  diberi sesuatu (kebebasan) yang tidak diberikan kepada   wanita?  Mengapa laki-laki dapat bersenang-senang dengan udara bebas,  sedangkan wanita terlarang menikmatinya? Mengapa persangkaan jelek itu selalu dialamatkan kepada wanita, padahal kualitas keagamaan, pikiran, dan hati nurani wanita tidak lebih rendah  daripada laki-laki?

Wanita sebagaimana laki-laki punya agama yang melindunginya, akal yang mengendalikannya, dan hati nurani (an-nafs al-lawwamah) yang mengontrolnya. Wanita, sebagaimana laki-laki, juga punya  gharizah atau keinginan yang mendorong pada perbuatan buruk (an-nafs al-ammarah bis-su). Wanita dan laki-laki  sama-sama punya setan  yang dapat menyulap kejelekan menjadi keindahan serta membujuk rayu mereka.

Yang menjadi pertanyaan, apakah semua peraturan yang  ketat untuk wanita itu benar-benar berasal dari hukum Islam?

Kami mohon Ustadz berkenan  menjelaskan  masalah ini, dan bagaimana seharusnya sikap kita? Dengan kata lain, bagaimana pandangan syariat terhadap masalah ini? Atau, bagaimana ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang sahih, bukan  kata si Zaid dan si Amr.Semoga  Allah memberi taufik kepada Ustadz untuk menjelaskan kebenaran dengan mengemukakan dalil-dalilnya.

Jawaban:

Kesulitan kita – sebagaimana yang sering  saya  kemukakan  – ialah   bahwa  dalam  memandang  berbagai  persoalan  agama, umumnya masyarakat berada dalam kondisi ifrath  (berlebihan) dan  tafrith (mengabaikan). Jarang sekali kita temukan sikap tawassuth   (pertengahan)   yang   merupakan   salah    satu keistimewaan dan kecemerlangan manhaj Islam dan umat Islam.

Sikap  demikian  juga  sama  ketika mereka memandang masalah pergaulan wanita muslimah di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal   ini,   ada   dua   golongan   masyarakat  yang  saling bertentangan dan menzalimi kaum wanita.

Pertama, golongan yang kebarat-baratan yang  menghendaki wanita  muslimah  mengikuti  tradisi Barat yang bebas tetapi merusak nilai-nilai agama dan menjauh dari fitrah yang lurus serta jalan yang lempang. Mereka jauh dari Allah yang telah mengutus para rasul  dan  menurunkan  kitab-kitab-Nya untuk menjelaskan dan menyeru manusia kepada-Nya.

Mereka menghendaki wanita muslimah mengikuti tata kehidupan wanita Barat “sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta” sebagaimana yang digambarkan oleh hadits Nabi, sehingga andaikata wanita-wanita Barat itu masuk ke lubang biawak niscaya wanita muslimah pun mengikuti di belakangnya. Sekalipun lubang biawak tersebut melingkar-lingkar, sempit, dan pengap, wanita muslimah itu akan tetap merayapinya. Dari sinilah lahir “solidaritas” baru yang lebih dipopulerkan dengan istilah “solidaritas lubang biawak.”

Mereka melupakan apa yang dikeluhkan wanita Barat sekarang serta akibat buruk yang ditimbulkan oleh  pergaulan bebas itu, baik terhadap wanita maupun laki-laki, keluarga, dan masyarakat. Mereka sumbat telinga mereka dari kritikan-kritikan orang yang menentangnya yang datang silih berganti dari seluruh penjuru  dunia, termasuk dari  Barat sendiri. Mereka tutup telinga mereka dari fatwa para ulama, pengarang, kaum intelektual, dan para muslihin yang mengkhawatirkan kerusakan yang ditimbulkan peradaban Barat, terutama jika semua ikatan dalan pergaulan antara  laki-laki dan perempuan benar-benar terlepas.

Mereka lupa bahwa tiap-tiap umat memiliki  kepribadian sendiri yang dibentuk oleh aqidah dan pandangannya  terhadap alam semesta,  kehidupan, tuhan, nilai-nilai agama, warisan budaya, dan tradisi. Tidak boleh suatu masyarakat melampaui tatanan suatu masyarakat lain.

Kedua, golongan  yang mengharuskan kaum wanita mengikuti tradisi dan kebudayaan lain, yaitu  tradisi  Timur,  bukan tradisi  Barat. Walaupun dalam banyak hal mereka  telah dicelup oleh pengetahuan agama, tradisi mereka tampak lebih kokoh daripada  agamanya. Termasuk dalam hal wanita, mereka memandang rendah dan sering berburuk sangka kepada wanita.

Bagaimanapun, pandangan-pandangan diatas bertentangan dengan pemikiran-pemikiran lain yang mengacu pada Al-Qur’anul Karim dan petunjuk Nabi  saw. serta sikap dan pandangan para sahabat yang merupakan generasi muslim terbaik.

Ingin saya katakan disini bahwa istilah ikhtilath (percampuran) dalam lapangan pergaulan antara laki-laki dengan  perempuan merupakan  istilah  asing yang dimasukkan dalam “Kamus Islam.” Istilah ini tidak dikenal dalam peradaban kita selama berabad-abad yang  silam, dan baru dikenal pada zaman sekarang  ini saja. Tampaknya ini merupakan terjemahan dari  kata  asing yang punya konotasi tidak menyenangkan terhadap perasaan umat Islam.  Barangkali lebih baik bila digunakan istilah  liqa’ (perjumpaan), muqabalah  (pertemuan), atau musyarakrah   (persekutuan) laki-laki dengan perempuan.

Tetapi bagaimanapun juga, Islam tidak menetapkan hukum secara umum mengenai masalah ini. Islam justru memperhatikannya dengan melihat tujuan  atau kemaslahatan yang hendak  diwujudkannya, atau bahaya yang dikhawatirkannya, gambarannya, dan syarat-syarat yang harus dipenuhinya, atau lainnya.Sebaik-baik petunjuk dalam masalah ini ialah  petunjuk  Nabi Muhammad saw., petunjuk khalifah-khalifahnya yang lurus, dan sahabat-sahabatnya yang terpimpin.

Orang yang mau memperhatikan petunjuk ini, niscaya ia akan tahu bahwa kaum wanita tidak pernah dipenjara atau diisolasi seperti yang terjadi pada zaman kemunduran umat Islam.

Pada zaman Rasulullah saw., kaum wanita  biasa  menghadiri shalat berjamaah dan shalat Jum’at. Beliau saw. menganjurkan wanita untuk mengambil tempat khusus  di  shaf (baris) belakang  sesudah  shaf  laki-laki. Bahkan, shaf yang paling utama bagi wanita adalah shaf yang paling belakang. Mengapa? Karena, dengan paling belakang,  mereka lebih terpelihara dari kemungkinan melihat aurat  laki-laki.  Perlu  diketahui bahwa   pada  zaman  itu  kebanyakan  kaum  laki-laki  belum mengenal celana.

Pada zaman Rasulullah  saw (jarak  tempat  shalat)  antara laki-laki  dengan perempuan tidak dibatasi dengan tabir sama sekali, baik  yang berupa dinding,  kayu,  kain,  maupun lainnya. Pada  mulanya  kaum  laki-laki dan wanita masuk ke masjid lewat pintu  mana  saja  yang  mereka  sukai,  tetapi karena  suatu  saat  mereka  berdesakan,  baik  ketika masuk maupun keluar, maka Nabi saw. bersabda:

“Alangkah baiknya kalau kamu jadikan pintu ini untuk wanita”

Dari sinilah mula-mula diberlakukannya pintu  khusus untuk wanita,  dan sampai sekarang pintu itu terkenal  dengan istilah “pintu wanita.”

Kaum wanita pada  zaman Nabi  saw. juga biasa menghadiri shalat  Jum’at,  sehingga salah seorang diantara mereka ada yang hafal surat “Qaf.” Hal  ini  karena  seringnya mereka mendengar dari lisan  Rasulullah saw. ketika  berkhutbah Jum’at.

Kaum wanita juga biasa menghadiri shalat Idain (Hari  Raya Idul Fitri dan Idul Adha). Mereka biasa menghadiri hari raya Islam yang besar ini bersama  orang  dewasa  dan  anak-anak, laki-laki  dan  perempuan,  di tanah lapang dengan bertahlil dan bertakbir.

Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Athiyah, katanya:

Kami diperintahkan  keluar  (untuk  menunaikan  shalat dan mendengarkan khutbah) pada dua hari raya, demikian pula wanita-wanita pingitan dan para gadis.”

Dan menurut satu riwayat Ummu Athiyah berkata:

“Rasulullah saw. menyuruh kami mengajak keluar kaum wanita pada hari raya Fitri dan Adha, yaitu wanita-wanita muda, wanita-wanita yang sedang haid,  dan gadis-gadis  pingitan. Adapun wanita-wanita yang sedang haid,  mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan mendengarkan nasihat dan dakwah  bagi umat Islam (khutbah, dan sebagainya). Aku (Ummu Athiyah) bertanya, ‘Ya Rasulullah salah seorang  diantara kami  tidak  mempunyai  jilbab.’ Beliau menjawab, ‘Hendaklah temannya meminjamkan jilbab yang dimilikinya.'”1

Ini adalah sunnah yang telah dimatikan umat Islam di semua negara Islam, kecuali yang belakangan digerakkan  oleh pemuda-pemuda Shahwah Islamiyyah (Kebangkitan Islam). Mereka menghidupkan sebagian sunnah-sunnah  Nabi saw. yang telah dimatikan orang, seperti sunnah i’tikaf  pada  sepuluh  hari terakhir bulan Ramadhan  dan  sunnah kehadiran kaum wanita pada shalat Id.

Kaum  wanita  juga  menghadiri   pengajian-pengajian   untuk mendapatkan  ilmu  bersama  kaum laki-laki di sisi Nabi saw. Mereka  biasa  menanyakan  beberapa  persoalan  agama   yang umumnya malu ditanyakan oleh kaum wanita. Aisyah r.a. pernah memuji wanita-wanita Anshar yang tidak dihalangi  oleh  rasa malu  untuk  memahami  agamanya,  seperti menanyakan masalah jinabat,  mimpi  mengeluarkan  sperma,  mandi  junub,  haid, istihadhah, dan sebagainya.

Tidak hanya sampai disitu hasrat mereka untuk menyaingi kaum laki-laki dalam menimba-ilmu dari Rasululah saw. Mereka juga meminta kepada Rasulullah saw. agar  menyediakan  hari tertentu untuk mereka, tanpa disertai  kaum  laki-laki. Hal ini mereka nyatakan terus  erang kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, kami dikalahkan kaum laki-laki untuk bertemu  denganmu, karena itu sediakanlah untuk kami hari tertentu untuk bertemu denganmu.”  Lalu Rasulullah  saw. menyediakan  untuk  mereka  suatu hari tertentu guna bertemu dengan mereka, mengajar   mereka, dan menyampaikan perintah-perintah kepada mereka.2Lebih dari itu kaum wanita juga turut serta dalam perjuangan bersenjata untuk membantu tentara dan para  mujahid,  sesuai dengan kemampuan mereka dan apa yang baik mereka kerjakan, seperti merawat yang sakit dan terluka, disamping memberikan pelayanan-pelayanan lain seperti memasak dan menyediakan air minum. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah, ia berkata:

“Saya turut berperang bersama Rasulullah saw. sebanyak tujuh kali,  saya tinggal di tenda-tenda mereka, membuatkan mereka makanan, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit.”3

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Anas:

“Bahwa Aisyah dan Ummu Sulaim pada waktu perang Uhud  sangatcekatan  membawa qirbah (tempat air) di punggungnya kemudianmenuangkannya ke mulut orang-orang, lalu mengisinya lagi.”4

Aisyah r.a. yang waktu itu sedang berusia belasan tahun menepis anggapan orang-orang yang mengatakan bahwa keikutsertaan kaum wanita dalam perang itu terbatas bagi mereka yang telah lanjut usia. Anggapan ini tidak dapat diterima, dan apa yang dapat diperbuat  wanita-wanita yang telah berusia lanjut dalam situasi dan kondisi yang menuntut kemampuan fisik dan psikis sekaligus?Imam Ahmad meriwayatkan bahwa enam orang wanita mukmin turut serta dengan pasukan yang mengepung Khaibar. Mereka memungut anak-anak panah, mengadoni tepung,  mengobati yang sakit, mengepang  rambut, turut berperang di jalan Allah, dan Nabi saw memberi mereka bagian dari rampasan perang.Bahkan terdapat riwayat yang sahih yang menceritakan  bahwa sebagian istri para sahabat  ada yang turut serta dalam peperangan Islam  dengan  memanggul senjata, ketika ada kesempatan bagi mereka. Sudah dikenal bagaimana yang dilakukan Ummu Ammarah Nusaibah  binti  Ka’ab dalam perang Uhud, sehingga  Nabi  saw. bersabda mengenai dia, “Sungguh kedudukannya lebih baik daripada si Fulan dan si Fulan.”Demikian pula Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu  perang Hunain untuk menusuk perut musuh yang mendekat kepadanya.

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas, anaknya (anak Ummu Sulaim) bahwa Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang Hunain, maka  Anas menyertainya. Kemudian suami Ummu Sulaim Abu Thalhah, melihatnya lantas berkata, “Wahai Rasulullah, ini Ummu Sulaim membawa badik.” Lalu Rasululah saw. bertanya kepada Ummu Sulaim, “Untuk apa badik ini? Ia menjawab, “Saya mengambilnya,  apabila  ada  salah seorang musyrik mendekati saya akan saya tusuk perutnya dengan badik  ini.” Kemudian Rasulullah saw. tertawa.5

Imam Bukhari telah membuat bab tersendiri didalam Shahih-nya mengenai peperangan yang dilakukan kaum wanita.Ambisi kaum wanita muslimah pada zaman Nabi saw. untuk turut perang  tidak hanya peperangan dengan negara-negara tetangga atau yang berdekatan dengan negeri Arab seperti Khaibar  dan Hunain  saja  tetapi  mereka  juga ikut melintasi lautan dan ikut menaklukkan daerah-daerah yang jauh  guna  menyampaikan risalah Islam.

Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. tidur siang  di  sisi Ummu Haram  binti  Mulhan bibi Anas kemudian beliau bangun seraya tertawa. Lalu Ummu Haram bertanya,  “Mengapa engkau tertawa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Ada beberapa orang dari umatku yang diperlihatkan kepadaku berperang fi sabilillah. Mereka menyeberangi lautan seperti raja-raja naik kendaraan.”  Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar Dia menjadikan saya termasuk diantara mereka.” Lalu Rasulullah saw. mendoakannya.6

Dikisahkan bahwa Ummu Haram ikut  menyeberangi  lautan pada zaman Utsman bersama suaminya Ubadah bin Shamit ke Qibris. Kemudian ia jatuh dari kendaraannya (setelah menyeberang) disana, lalu meninggal dan dikubur  di negeri tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli sejarah.7Dalam kehidupan bermasyarakat kaum wanita juga turut  serta berdakwah: menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah  dari perbuatan munkar, sebagaimana firman Allah:

“Dan  orang-orang  yang  beriman,  laki-laki  dan  perempuan sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan)  yang  ma’ruf,  mencegah dari yang munkar…” (at-Taubah: 71 )

Diantara peristiwa yang terkenal ialah kisah salah seorang wanita muslimah pada zaman khalifah Umar binKhattab yang mendebat beliau di sebuah masjid. Wanita tersebut menyanggah pendapat Umar mengenai masalah mahar (mas kawin), kemudian Umar secara terang-terangan membenarkan pendapatnya, seraya berkata,”Benar wanita itu, dan Umar keliru.” Kisah ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan  suratan-Nisa’, dan beliau berkata, “Isnadnya  bagus.” Pada  masa pemerintahannya, Umar juga telah mengangkat asy-Syifa binti Abdullah al-Adawiyah sebagai pengawas pasar.Orang yang mau merenungkan Al-Qur’an dan hadits tentang wanita dalam berbagai masa dan pada zaman kehidupan para rasul atau nabi, niscaya ia tidak  merasa perlu mengadakan tabir  pembatas yang dipasang oleh sebagian orang antara laki-laki dengan perempuan.

Kita dapati Musa ketika masih muda dan gagah perkasa bercakap-cakap dengan dua orang gadis putri seorang syekh yang telah tua (Nabi Syusaib;  ed.). Musa bertanya kepada mereka dan mereka pun menjawabnya dengan tanpa  merasa berdosa atau bersalah,  dan  dia  membantu  keduanya dengan sikap sopan dan menjaga  diri. Setelah Musa membantunya, salah seorang di antara gadis tersebut datang kepada Musa sebagai  utusan  ayahnya  untuk  memanggil Musa agar menemui ayahnya. Kemudian salah seorang dari kedua gadis itu mengajukan usul kepada   ayahnya agar Musa dijadikan pembantunya, karena dia seorang yang kuat dan dapat dipercaya.

Marilah kita baca kisah ini dalam Al-Qur’an:

“Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai disana sekumpulan orang yang sedang  meminumi (ternaknya),  dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang  menghambat (ternaknya). Musa berkata,  ‘Apakah  maksudmu (dengan berbuat begitu.?)’ Kedua wanita itu menjawab,  ‘Kami tidak dapat meminumi (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami  adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.’  Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia  kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan  kepadaku.’ Kemudian  datanglah  kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata, ‘Sesungguhnya bapakku  memanggil kamu  agar  ia  memberi balasan terhadap (kebaikan)-mu memberi minum (ternak)kami.’ Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan  menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu’aib berkata, ‘Janganlah kamu takut.  Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.’ Salahseorang dari kedua wanita itu  berkata, ‘Ya  bapakku, ambillah  ia  sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang  kamu  ambil  untuk bekerja  (pada  kita)  ialah  orang  yang  kuat  lagi  dapat dipercaya.'” (al-Qashash: 23-26)

Mengenai Maryam, kita jumpai Zakaria masuk ke mihrabnya dan menanyakan kepadanya tentang rezeki yang ada di sisinya:

“… Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, ‘Hai  Maryam, dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?’ Maryam menjawab, ‘Makanan itu dari sisi Allah.’  Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (Ali Imran: 37)

Lihat pula tentang Ratu Saba, yang mengajak kaumnya bermusyawarah mengenai masalah Nabi Sulaiman:

“Berkata dia (Bilqis), ‘Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majlis-(ku).’ Mereka menjawab, ‘Kita adalah orang-orang yang memilih kekuatan dan (juga) memilih keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.’ Dia berkata, ‘Sesungguhnya  raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah  yang akan mereka perbuat.” (an-Naml 32-34)

Berikut ini percakapan antara Bilqis dan Sulaiman:

“Dan ketika Bilqis datang, ditanyakantah kepadanya, ‘Serupa inikah singgasanamu?’ Dia menjawab, ‘Seakan akan singgasanamu ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kamõ adalah orang-orang yang berserah diri.’ Dan apa yang disembahnya selama ini  selain  Allah, mencegahnya (untuk melahirkan   keislamannya), karena sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir. Dikatakan  kepadanya,  ‘Masuk1ah ke dalam istana.’ Maka tatka1a  ia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya.Berkatalah Sulaiman, ‘Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca. ‘Berkata1ah Bilqis, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman  kepada Allah, Tuhan semesta alam.'”(an-Naml: 42-44)

Kita tidak boleh mengatakan “bahwa syariat (dalam kisah di atas) adalah syariat yang hanya berlaku pada  zaman  sebelum kita (Islam)  sehingga  kita  tidak  perlu  mengikutinya.” Bagaimanapun, kisah-kisah yang  disebutkan  dalam Al-Qur’an tersebut dapat dijadikan petunjuk, peringatan, dan pelajaran bagi orang-orang berpikiran  sehat.  Karena  itu,  perkataan yang  benar  mengenai masalah ini ialah “bahwa syariat orang sebelum kita yang tercantum dalam Al-Qur’ an  dan  As-Sunnah adalah  menjadi syariat bagi kita, selama syariat kita tidak menghapusnya.”

Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya:

“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka …” (al-An’am: 90)

Sesungguhnya menahan wanita  dalam rumah dan membiarkannya terkurung didalamnya dan tidak memperbolehkannya keluar dari rumah oleh Al-Qur’an  pada  salah  satu  tahap diantara tahapan-tahapan pembentukan hukum sebelum turunnya nash yang menetapkan bentuk  hukuman pezina sebagaimana yang terkenal itu ditentukan bagi  wanita  muslimah  yang   melakukan perzinaan. Hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang sangat berat. Mengenai masalah ini Allah berfirman:

“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang  saksi  diantara  kamu  (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah  memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui  ajalnya,  atau  sampai  memberi jalan lain kepadanya.” (an-Nisa’: 15 )

Setelah itu Allah memberikan jalan bagi mereka ketika Dia mensyariatkan hukum had, yaitu hukuman tertentu dalam syara’ sebagai hak Allah  Ta’ala. Hukuman tersebut berupa hukuman dera (seratus kali)  bagi  ghairu  muhshan  (laki-laki  atau wanita  belum kawin) menurut nash Al-Qur’an, dan hukum rajam bagi yang mahshan (laki-laki atau wanita yang  sudah  kawin) sebagaimana disebutkan dalam As-Sunnah.

Jadi, bagaimana mungkin  ogika  Al-Qur’an  dan Islam akan menganggap sebagai tindakan lurus dan tepatjika  wanita muslimah yang taat dan sopan itu harus dikurung dalam rumah selamanya? Jika kita melakukan hal itu,  kita  seakan-akan menjatuhkan hukuman kepadanya selama-lamanya, padahal dia tidak berbuat dosa.

KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas,  kita  dapat  menyimpulkan bahwa pertemuan antara laki-laki dengan perempuan tidak haram, melainkan jaiz (boleh). Bahkan, hal itu kadang-kadang dituntut apabila bertujuan untuk kebaikan, seperti dalam urusan ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kebajikan, perjuangan, atau  lain-lain yang memerlukan banyak tenaga, baik dari laki-laki maupun perempuan.

Namun, kebolehan itu tidak berarti bahwa batas-batas diantara  keduanya menjadi lebur dan ikatan-ikatan syar’iyah yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap diri kita sebagai malaikat yang suci yang dikhawatirkan melakukan pelanggaran, dan kita pun tidak perlu memindahkan budaya Barat  kepada  kita. Yang  harus kita lakukan ialah bekerja sama dalam kebaikan serta tolong-menolong  dalam  kebajikan dan takwa, dalam batas-batas  hukum yang telah ditetapkan oleh Islam. Batas-batas hukum tersebut antara lain:

  1. Menahan pandangan dari kedua belah pihak. Artinya, tidak boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat, tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah berfirman:

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya …”(an-Nur: 30-31)

  1. Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang dituntunkan syara’, yang menutup seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan. Jangan yang tipis dan jangan dengan potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allah berfirman:

“… dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya …” (an-Nur: 31 )

Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang biasa tampak ialah muka dan tangan.

Allah berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku sopan:

“… Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu …” (al-Ahzab:59)

Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yang baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya, sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang yang melihatnya untuk menghormatinya.

  1. Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal, terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki

Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang merayu dan membangkitkan rangsangan. Allah berfirman:

“… Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (al-Ahzab: 32)

Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. Firman Allah:

“… Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…” (an-Nur: 31)

Hendaklah mencontoh wanita yang diidentifikasikan oleh Allah dengan firman-Nya:

“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan …” (al-Qashash: 25)

Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggak-lenggok, seperti yang disebut dalam hadits:

“(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan (kemaksiatan).8 HR Ahmad dan Muslim)

Jangan sampai ber-tabarruj (menampakkan aurat) sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita jahiliah tempo dulu atau pun jahiliah modern

  1. Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan dan di dalam pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.
  2. Jangan berduaan (laki-laki dengan perempuan) tanpa disertai mahram. Banyak hadits sahih yang melarang hal ini seraya mengatakan, ‘Karena yang ketiga adalah setan.’

Jangan berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri. Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:

“Jangan kamu masuk ke tempat wanita.” Mereka (sahabat)bertanya, “Bagaimana dengan ipar wanita.” Beliau menjawab,”Ipar wanita itu membahayakan.” (HR Bukhari)

Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk berlama-lama hingga menimbulkan fitnah.

  1. Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak.

 

Catatan kaki:

1 Shahih Muslim, “Kitab Shalatul Idain,” hadits nomor 823. ^

2 Hadits riwayat Bukhari dalam Shahih-nya, “Kitab al-Ilm.” ^

3 Shahih Muslim, hadits nomor 1812. ^

4 Shahih Muslim, nomor 1811. ^

5 Shahih Muslim, nomor 1809. ^

6 Shahih Muslim, hadits nomor 1912. ^

7 Lihat Shahih Muslim pada nomor-nomor setelah hadits di atas. (penj.). ^

8 Mumiilat dan Maailaat mengandung empat macam pengertian. Pertama, menyimpang dari menaati Allah dan tidak mau memenuhi kewajiban-kewajibannya seperti menjaga kehormatan dan sebagainya, dan mengajari wanita lain supaya berbuat seperti ite. Kedua, berjalan dengan sombong dan melenggak- lenggokkan pundaknya (tubuhnya). Ketiga, maailaat, menyisir rambutnya sedemikian rupa dengan gaya pelacur. Mumiilaat: menyisir wanita lain seperti sisirannya. Keempat, cenderung kepada laki-laki dan berusaha menariknya dengan menampakkan perhiasannya dan sebagainya (Syarah Muslim, 17: 191 penj.).^

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *