Imam Syafi’i berkata: Ada yang mengatakan kepada saya, “wanita mustahadhah itu boleh mengerjakan shalat namun tidak boleh didatangi oleh suaminya”. Orang itu mengaku bahwa madzhab yang berpendapat seperti dia berhujjah dengan firman Allah SWT, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran ” (Qs. A1 Baqarah(2): 222) la mengatakan, “Saat wanita dalam waktu-waktu kotor (adzaa), maka Allah SWT memerintahkan menjauhinya. Tidak halal bagi suaminya untuk berhubungan badan dengannya.”
Imam Syafi’i berkata: Maka dikatakan bahwa hukum Allah Azza wa Jalla mengenai haid adalah menjauhi wanita tersebut, dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bahwa hukum Allah Azza wa Jalla mengenai wanita haid adalah tidak mengerjakan shalat. Maka, hukum Allah dan hukum Rasul-Nya menunjukkan bahwa batas waktu agar suami menjauhi (baca: tidak menggauli) istrinya karena haid ialah waktu dimana wanita tersebut diperintahkan untuk shalat setelah haidnya berakhir.
Orang itu menjawab, “Ya.”
Maka dikatakan padanya, “Bahwa wanita haid itu tidak suci walaupun ia mandi, tidak halal baginya mengerjakan shalat dan menyentuh mushaf (A1 Qur’an).”
Orang itu menjawab, “Ya”
Lalu dikatakan kepadanya, “Hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bahwa hukum hari-hari istihadhah adalah suci, sementara Allah Subhanahu wa Ta ’ala membolehkan bagi suaminya mendatangi istrinya apabila telah bersuci dari haid. Saya tidak mengetahui kecuali Anda telah menyalahi kitab Allah Subhanahu wa Ta ’ala, sebab Anda telah mengharamkan apa yang dihalalkan Allah untuk dilakukan terhadap wanita yang telah bersuci, dan Anda juga menyalahi Sunnah Rasulullah yang menetapkan bahwa mandinya wanita setelah masa haid berakhir dapat menghalalkannya untuk shalatpada hari-hari istihadhah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun membedakan antara dua darah itu dengan hukumnya dan sabdanya tentang istihadhah, bahwa itu adalah penyakit dan bukan haid.”
Dapat saya katakan di sini, jelaslah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah membedakan hukumnya; dijadikannya wanita dalam kategori haid pada salah satu dari dua kotoran dan diharamkan baginya shalat, lalu dijadikannya wanita dalam kategori suci pada salah satu dari dua kotoran itu dan diharamkan baginya meninggalkan shalat. Maka, bagaimana Anda mengumpulkan apa yang dipisahkan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam?
Imam Syafi’i berkata: Ditanyakan kepada orang yang berkata demikian, “Apakah engkau menganggap haram jika pada diri wanita itu ada perubahan; seperti keluar cairan atau perubahan bau yang tidak sedap selain darah?”
Orang itu menjawab, “Tidak, itu bukanlah kotoran haid.”
Saya mengatakan, “Kotoran istihadhah bukanlah kotoran haid.”