Perbedaan Pendapat tentang Menghajikan Orang Yang Sudah Meninggal

Imam Syafi’i berkata: Saya tidak mengetahui adanya beda pendapat tentang menghajikan orang yang sudah meningal dan belum melaksanakan ibadah haji, kecuali sebagian ulama dan fuqaha di antara penduduk Madinah yang mendasarkan pendapatnya pada Sunnah Rasulullah SAW dan juga berdasarkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Sa’id bin Musayyab dan Rabi’ah, dimana mereka mengatakan bahwa seseorang tidak boleh menghajikan orang lain. Padahal terdapat riwayat dari Nabi SAW dengan tiga jalur periwayatan selain riwayat yang sering diriwayatkan oleh kaum muslimin, bahwa Nabi SAW menyuruh sebagian orang yang bertanya untuk menghajikan orang lain. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa ada seseorang yang menolak riwayat dari Nabi SAW ini dan ia berpegang dengan perkataan Ibnu Umar yang mengatakan bahwa seseorang tidak boleh menghajikan orang lain, padahal orang ini meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar dimana ia sering menyelisihi (berbeda) dengan Ibnu Umar dalam periwayatan hadits-hadits tersebut. Kadang-kadang ia meninggalkan sesuatu yang jelas diriwayatkan dari Nabi SAW dan kadang-kadang meninggalkan sesuatu yang diriwayatkan dari para sahabat Nabi SAW, maka bagaimana mungkin seseorang yang bergelut dengan ilmu dapat menerima riwayat Ibnu Umar lewat jalur orang yang keadaannya seperti ini kemudian menjadikannya sebagai hujjah untuk menentang Sunnah, dan tidak menjadikan riwayat tersebut sebagai hujjah untuk menentang dirinya sendiri? Orang yang berpendapat bahwa seseorang tidak boleh menghajikan orang lain mengatakan bahwa mana mungkin seseorang boleh beramal untuk orang lain? Padahal menurut Sunnah Rasulullah SAW, seseorang bertanggung jawab sendiri terhadap seluruh kewajiban yang datang dari Allah SWT? Jawaban atas masalah ini terdapat dalam Sunnah dan tidak terbantahkan oleh orang-orang yang berilmu, wallahu a ’lam. Kenapa kita tidak mengatakan bahwa hal itu boleh (seseorang boleh beramal untuk orang lain) apabila memang itu berdasarkan Sunnah Nabi SAW? Sementara kebanyakan kaum muslimin pun melaksanakan hal itu, misalnya mereka boleh membayarkan kifarat sumpah untuk orang lain dan boleh membayar denda darah (pembunuhan) untuk orang lain, sementara yang bersangkutan (yang bertanggung jawab) malah tidak mengeluarkan uang sedikit pun sebagai pembayaran denda? Jika mereka mengatakan bahwa tidak ada qiyas dalam Sunnah dan hal itu tidak bisa diterima oleh akal, maka jawabannya adalah riwayat yang menyatakan bahwa seseorang boleh menghajikan orang lain merupakan hadits yang shahih sebagaimana yang telah saya sebutkan.
Menurut pendapat saya, halitu bisa diterima oleh akal. Mereka yang berpendapat bahwa seseorang tidak boleh menghajikan orang lain, adalah berdasarkan qiyas bahwa seseorang tidak boleh shalat untuk orang lain. Tapi mereka berpendapat bahwa seseorang boleh menghajikan orang lain dengan syarat biaya haji diambil dari harta orang yang dihajikan. „ Saya pernah bertanya kepada salah seorang di antara mereka, “Menurut Anda, bolehkah seseorang berwasiat agar orang lain melaksanakan shalat atau puasa untuk dirinya dengan diberi upah atau dengan suka rela?” Dia menjawab, “Tidak boleh, dan wasiat itu batal.” Saya katakan lagi kepadanya, “Kalau begitu, seseorang juga tidak boleh menghajikan orang lain walaupun dengan menggunakan harta orang yang dihajikan, karena haji itu sama dengan puasa dan shalat. Bagaimana mungkin Anda membolehkan seseorang yang berwasiat kepada orang lain untuk menghajikan dirinya dengan memakai hartanya, sementara Anda tidak membolehkan berwasiat kepada seseorang agar melaksanakan shalat atau puasa untuk dirinya?” Dia menjawab, “Manusia (kaum muslimin) telah membolehkan hal tersebut.” Maka saya katakan, “Kaum muslimin yang membolehkan hal tersebut juga membolehkan seseorang untuk menghajikan orang lain, apabila orang tersebut dalam keadaan sakit atau dalam kondisi tua renta.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *