Pembahasan tentang Hibah

Imam Syafi’i berkata: Dari Marwan bin Al Hakam, bahwa Umar bin Khaththab mengatakan, “Barangsiapa menghibahkan sesuatu hibah untuk menyambung hubungan baik atau untuk sedekah,maka ia tidak dapat mengambil kembali sedekahnya atau hibahnya itu dan iahanya dapat mengharapkan dariNya balasan pahala dari apa yang dihibahkannya. Ia dapat mengambil kembali ia tidak rela dengan hibah itu.”

Imam Syafi’i berkata: Umar telah berpendapat mengenai seseorang yang menghendaki balasan hibahnya, yaitu bahwa orang yang berhibah tidak juga dengan hibahnya itu, ia dapat berkhiyar (memilih) hingga ia rela dengan hibahnya. Jika ia diberi balasan dengan berlipat ganda, maka menurut madzhabnya,ia boleh mengambil kembali hibahnya itu. Ia(yang berhibah) seperti seseorang yang menjual sesuatu, dan penjual dalam hal ini dapat berkhiyar.

Penjual itu dapat memilih untuk membatalkan penjualan, dan pembatalan penjualan itu menjadi milik si penjual. Perbedaan pendapat para ulama Irak tentang sedekah dan hibah

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang wanita memberikan suatu hibah kepada suaminya, ia bersedekah atau meninggalkan sesuatu dari maskawinnya untuk suaminya, lalu wanita itu mengatakan “Dia (suami) telah memaksa saya” dan wanita itu membawa bayyinah (bukti) akan hal ku, maka dalam hal ini Abu Hanifah mengatakan, “Saya tidak terima buktinya. Saya tetapkan atasnya apa yang telah saya lakukan.” Ibnu Abu Laila mengatakan, “Saya terima buktinya atas yang demikian, dan saya membatalkan apa yang telah saya lakukan.”

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang wanita bersedekah sesuatu kepada suaminya, atau ia melepaskan mahar bagi suaminya atau dari utang suami kepadanya, lalu wanita itu memberikan bukti bahwa suaminya telah memaksanya. maka segala yang datang dari wanita saya nyatakan batal. Apabila seorang laki-laki menghibahkan sesuatu dan telah diterima oleh orang yang diberi hibah berupa sebuah rumah, lalu dibangunlah rumah itu dengan biaya yang besar; atau iamenghibahkan seorang budak perempuan yang masih kecil, lalu budak itu dididik dengan baik sehingga menjadi seorang wanita dewasa yang berpengetahuan, maka dalam hal ini Abu Hanifah mengatakan, “Yang berhibah tidak dapat mengambil kembali hibahnya itu, tidak juga dari seluruh hibah yang telah menjadi lebih baik (karena dirawat) oleh orang yang memegangnya.

Apakah Anda tidak melihat bahwa telah terjadi sesuatu pada yang dihibahkan dari kepemilikan orang yang memberi hibah. Apakah Anda melihat bahwa bila budak perempuan itu melahirkan anak, adakah bagi orang yang menghibahkan meminta kembali anak itu? Padahal ia tidak menghibahkan anak tersebut, dan ia juga belum pernah memilikinya?”Pengertian demikianlah yang diambil oleh Abu Hanifah. Ibnu Abu Laila mengatakan, “Yang menghibahkan dapat meminta kembali seluruhnya (apa yang dihibahkan) dan juga anak.”

Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menghibahkan seorang budak perempuan kepada anaknya, sementara anaknya itu (masih) dalam tanggungannya, dan apabila anak itu sudah baligh, maka hibah itu tidak sempurna hingga si anak dapat menerimanya, baik anak itu dalam tanggungannya atau tidak.

Imam Syafi’i berkata: Begitu juga setiap hibah, pemberian biasa dan sedekah yang tidak diharamkan, itu semua adalah pemberian yang tidak ada imbalannya. Hibah semacam itu tidak sempurna kecuali diterima oleh orang yang diberi.

Imam Syafi’i berkata: Penerimaan dalam hibah seperti penerimaan dalam jual-beli. Apa yang disebut penerimaan dalam jual-beli disebut juga pada penerimaan dalam hibah, dan apa yang bukan disebut sebagai penerimaan dalam jual-beli tidak juga disebut penerimaan dalam hibah. Apabila seseorang menghibahkan suatu kepada orang lain dan hibah itu sudah diterima (oleh yang diberi hibah) berupa rumah atau tanah, kemudian yang diberi hibah memberikan imbalan kepadanya dan itu diterima oleh orang yang menghibahkan, maka dalam hal ini Abu Hanifah mengatakan bahwa yang demikian itu boleh dan tidak ada unsur syufah, di dalamnya, serta tidak termasuk dalam tingkatan yang ada dalam syufah, atau orang yang berhak melakukan syufah dapat mengambil syufah-nya dengan harga imbalan. Barang yang dihibahkan tidak dapat diminta lagi setelah imbalan itu diterima. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Abu Laila.

Imam Syafi’i berkata: Jika seseorang menghibahkan sesuatu ketika sakit dan hibah itu belum diterima oleh orang yang diberi hibah hingga orang yang memberi hibah meninggal dunia, maka hibah itu tidak berubah danmenjadi milik ahli waris (penghibah). Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Tidak boleh bersedekah kecuali dengan yang diterima.”

Imam Syafi’i berkata: Tidak boleh bagi orang yang menghibahkan untukmeminta kembali hibahnya jika ia telah menerima dari hibah itu suatu imbalan, sedikit atau banyak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *