Imam Syafi’i berkata: la (Malik) mengatakan tentang kambing yang tersesat yang ditemukan di tempat yang dapat membinasakannya, maka kambing itu menjadi milikmu dan makanlah! Jika datang pemilik kambing, maka bayarlah kambing itu kepadanya! Ia mengatakan tentang harta, yaitu bahwa harta itu harus di ta‘rifkan (diberitahukan atau diumumkan) selama satu tahun. Setelah itu, boleh dimakan jika ia ingin memakannya.Jika pemilik harta itu datang, maka bayarlah! Ia mengatakan bahwa itu harus di ta’rifkan selama satu tahun, kemudian boleh memakannya, baik ia orang kaya atau miskin (dengan cacatan) jika ia ingin memakannya.
Namun saya tidak tahu apabila barang itu dicampurkan atau tercampur dengan hartanya. Ia tidak boleh memakannya hingga ia mempersaksikan jumlahnya, beratnya, karungnya, ‘ifashnya dan waka’nya. Ketika pemiliknya datang, maka bayarlah! Jika ia meninggal dunia, maka hal itu menjadi utang pada hartanya. Mengenai kambing yang diperolehnya ditempatyangmembahayakan, maka itu tidak harus di-ta ‘rifkan. Bila ia ingin, maka makanlah, kambing itu untuknya. Jika bertemu dengan pemiliknya, maka bayarlah.
Namun tidak demikian dengan unta dan sapi yang tersesat, karena kedua binatang ini dapat mempertahankan dirinya. Yang diperbolehkan untuk memakannya adalah apabila menemukan kambing yang tersesat dan juga harta, karena keduanya tidak dapat mempertahankan dirinya dan tidak dapat hidup. Kambing dapat diambil oleh orang yang menghendakinya dan juga harta yang bisa hilang, sebab kambing tidak dapat menjaga dirinya dari binatang buas. Namun unta dan sapi datang sendiri ke air meskipun lokasinya jauh, dan keduanya dapat hidup lebih lama walaupun tanpa ada yang menjaganya (penggembala). Penggembala itu tidak selalu datang kepada salah satu dari keduanya. Mengenai sapi, ia adalah hewan yang diqiyaskan dengan unta dalam hal ini.
Imam Syafi’i berkata: Jika seseorang menemukan unta, dan ia hendak mengembalikan kepada pemiliknya, maka tidak mengapa membawanya. Jika ia membawanya untuk dimakan, maka ini tidak boleh, (sebab dengan demikian) ia berarti telah berbuat zhalim.
Jika penguasa mempunyaitempat penjagaan hewan dan pemilik binatang yang sesattidak memiliki biaya untuk mencari binatang yang tersesat itu, maka penguasa tersebut dapat berbuat seperti yang dilakukan Umar bin Khaththab, ia membiarkan binatang-binatang itu dalam tempat penjagaan sehingga datang pemiliknya.
Jika binatang tersebut beranak, maka anaknya adalah untuk pemiliknya; dan diadakan saksi ketika binatang itu beranak, sebagaimana diadakan saksi atas induknya ketika ditemukan dahulu.