Imam Syafi’i berkata: Dari Atha, ia berkata bahwa Nabi SAW mendengar seseorang yang bertalbiyah untuk orang lain, “Aku bertalbiyah untuk si fiilan.” Lalu Nabi SAWbersabda, “Jika engkau sudah pernah melakukan ibadah haji, maka engkau boleh berhaji (bertalbiyah) untuk sifulan. Tapi apabila engkau belum berhaji, maka berhajilah dulu untuk dirimu kemudian boleh untuk sifulan. ”
Imam Syafi’i berkata: Nabi SAW menyuruh perempuan Khats’amiyah untuk menghajikan bapaknya. Dalam hadits ini terdapat beberapa dalil, di antaranya apa yang telah kami terangkan bahwa kemampuan seseorang itu ada dua macam. Ketika Rasulullah menyuruh agar orang tersebut dihajikan, maka pada saatitu ia berada dalam keadaan bahwa harus ada orang lain yang menghajikannya. Maka, perintah Nabi ini seperti perintah untuk membayarkan utangnya. Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa amal perbuatan yang harus dilakukan oleh seseorang dalam keadaan seperti tadi boleh juga dilakukan oleh orang lain. Seseorang yang tidak wajib melaksanakan haji karena diri dan badannya tidak mampu, maka tidak ada kewajiban bagi orang lain untuk menghajikan dirinya. Dalam hal ini yang lebih saya sukai adalah apabila yang menghajikan orang tersebut adalah orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan, apabila haji tersebut bukan merupakan haji wajib. Seseorang boleh mengupah orang lain untuk menghajikan dirinya walaupun orang itu fakir, tidak mempunyai perbekalan dan kendaraan, tapi orang tersebut berbadan sehat. Apabila seseorang dalam keadaan tersebut meninggal dunia sebelum melaksanakan ibadah haji dan ia tidak melewati masa-masa haji ditahun berikutnya, maka orang tersebut tidak wajib dihajikan. Apabila seseorang mendapat kemudahan untuk berangkat haji pada bulan-bulan sebelum bulan haji, tapi setelah datang bulan haji ketika orang-orang di negerinya sudah siap untuk berangkat haji ia tidak mendapatkan perbekalan dan kendaraan, kemudian ia meninggal dunia sebelum berangkat haji, maka orang dalam kondisi seperti ini tidak wajib dihajikan. Yang wajib dihajikan adalah orang yang ketika datang musim haji ia sudah baligh dan mampu berangkat haji tapi tertinggal dari haji tersebut. Demikian juga orang yang sudah mampu pergi haji tapi terhalang untuk melakukannya, kemudian ia meninggal dunia, maka ia harus dihajikan oleh orang lain.