Imam Syafi’i berkata: Dari Urwah bin Mughirah bin Syu’bah, dari bapaknya, ia berkata: Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah engkau menyapu kedua sepatu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
“Ya, aku memasukkan kedua kaki dan keduanya itu suci”
Imam Syafi’i berkata: Barangsiapatidak memasukkan salah satu dari kedua kakinya ke dalam dua sepatu, maka shalatnya tetap sah dan kesuciannya tetap sempuma, dan boleh baginya mengusap di atas dua sepatu.
Adapun caranya; ia berwudhu dengan sempuma. Apabila telah menyempumakan wudhunya, maka ia memasukkan kakinya ke dalam sepatu. Bila ia berhadats setelah itu, maka boleh baginya mengusap kedua sepatunya. Namun apabila ia telah memasukkan kedua kakinya atau salah satunya ke dalam kedua sepatunya sebelum halal baginya shalat, maka tidak boleh baginya apabila ia berhadats untuk mengusap kedua sepatu.
Adapun gambarannya adalah; seseorang membasuh muka dan dan kedua tangannya, mengusap kepala dan membasuh salah satu kakinya, kemudian ia memasukkannya ke dalam sepatu, lalu ia membasuh kaki yang satunya dan dimasukkannya ke dalam sepatu. Apabila ia berhadats, maka tidak boleh baginya mengusap kedua sepatu, karena ia telah memasukkan salah satu dari dua kakinya ke dalam sepatu pada saat kesuciannya belum sempuma dan shalat belum halal baginya.
Jika seseorang berwudhu dengan sempuma, kemudian ia memakai sepatu pada salah satu kakinya, lalu memasukkan kaki yang satunya lagi ke dalam sepatu namun terns ditariknya hingga ke betis tanpa menyisakan sepatu di telapak kakinya sampai akhimya ia berhadats, maka tidak boleh baginya menyapu sepatunya, karena ia tidak disebut sebagai pemakai sepatu sebelum telapak kakinya berada dalam sepatu. Dalam hal seperti ini, ia hams menanggalkan sepatu itu dan mengulangi wudhunya kembali.
Apabila pada dua sepatu itu ada yang terkoyak atau sobek sehingga terlihat anggota wudhunya; baik telapak kaki, permukaannya, bagian pinggimya atau bagian atasnya sampai kepada kedua mata kaki, maka ia tidak boleh mengusapnya, karena mengusap sepatu itu adalah suatu keringanan (rukhshah) bagi orang yang tertutup kedua kakinya dengan dua sepatu.
Apabila sepatu itu sobek dan terlihat kaus kaki yang menutupi telapak kakinya, maka kami berpandangan tidak boleh baginya mengusap, karena sepatu itu bukanlah kaus kaki. Apabila ia hanya memakai kaus kaki tanpa sepatu,-maka akan terlihat sebagian dari dua kakinya.
Imam Syafi’i berkata: apabila bagian luar sepatu msak atau sobek sedangkan bagian dalamnya masih tetap utuh, dimana telapak kaki tidak nampak, maka ia boleh mengusapnya, karena semua itu adalah sepatu, sedangkan kaus kaki itu bukanlah sepatu.
Imam Syafi’i berkata: Semua pembahasan terdahulu itu berkenaan dengan khuf, yaitu sepatu yang terbuat dari kulit lembu, unta atau kayu, dan yang paling banyak adalah dari kulit kainbing.
Apabila kedua sepatu itu dari bulu, anyaman kain atau daun kurma, maka itu tidak termasuk kategori khuf, sebab tidak berasal dari kulit atau kayu yang dapat bertahan lama apabila sering dipakai berjalan kaki. Hendaknya bagian-bagian tempat wudhu dibuat agak tebal dan tidak tembus pandang. Apabila sepatu itu seperti yang kita sifatkan, maka boleh baginya mengusap sepatunya. Sedangkan bila tidak demikian, maka tidak boleh baginya mengusap sepatu.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang memakai terompah, dan bagian terompah yang menutupi anggota wudhu itu tebal (tidak transparan), namun bagian atas anggota wudhu tipis (transparan), maka tidak mengapa untuk diusap; sebab bila bagian atas anggota wudhu itu tidak ditutupi oleh sesuatu, tetap tidak mengapa mengusap sepatu yang menutupi bagian anggota wudhu saja. Namun bila terdapat bagian anggota wudhu yang tidak tertutupi, maka tidak boleh disapu. Apabila seseorang memakai sepasang kaus kaki yang menggantikan fungsi sepatu dan ia menyapunya, kemudian ia melapisi kaus kaki itu dengan sepasang sepatu, atau ia melapisi lagi sepatu itu dengan sepasang sepatu yang lain, atau ia memakai di atas sepatu tadi sepasang jurmuq (sepatu pendek yang kadang dipakai untuk melapisi khuf), maka boleh baginya mengusap sepatu yang paling dekat dengan kedua kakinya, dan usapan tidak boleh dilakukan pada sepatu yang kedua ataupun pada jurmuq.
Apabila iaberwudhu lalu menyempumakan sampai selesai, kemudian ia memakai kedua sepatu atau sesuatu yang dapat menggantikannya lalu melapisinya dengan sepasang jurmuq, kemudian ia berhadats dan bermaksud mengusap kedua jurmuq tersebut, maka hal itu tidak boleh baginya. Bahkan ia haras membuka sepasangjurmuq itu, kemudian mengusap sepatu yang paling dekat dengan kakinya lalu memakai jurmuq kembali jika ia menghendaki. Adapun bila ia menyapu jurmuq sedangkan setelah jurmuq terdapat sepatu, maka hal itu tidak boleh baginya dan shalatnya tidak sah.
Imam Syafi’i berkata: Jika ia memakai kaus kaki, hal itu tidak dapat menggantikan kedudukan dua sepatu (khuf). Kemudian apabila ia memakai di atas dua kaus kaki itu dua sepatu, maka hendaknya ia menyapu bagian atas dari kedua sepatu itu, karena tidak ada setelah telapak kaki itu sesuatu yang menggantikan kedudukan kedua sepatu. Sangat jarang seseorang mengenakan sepatu melainkan sebeiumnya ia memakai pelapis kaki, baik berupakaus kaki atau yang dapat menggantikan kedudukannya, untuk menjaga dan memelihara kaki dan gesekan jahitan sepatu ataupun sobekan yang ada padanya.
Imam Syafi’i berkata: Apabila kedua sepatu najis, maka tidak halal melaksanakan shalat dengannya. Apabila sepatu itu terbuat dari kulit bangkai yang bukan anjing dan babi, atau terbuat dari kulit binatang buas yang telah disamak, maka halal shalat dengannya selama kulit tersebut tidak berbulu, karena samak tidak dapat menyucikan bulu sehingga sepatu yang terbuat dari kulit berbulu tidak dapat dipakai saat shalat. Apabila sepatu itu terbuat dari kulit bangkai atau kulit binatang buas yang belum disamak, maka tidak boleh dipakai saat shalat. Adapun bila terbuat dari kulit hewan yang dimakan dagingnya dan mati karena disembelih, maka boleh digunakan untuk shalat meski belum disamak.