Menjual dengan Cara Salaf

Imam Syafi’i berkata: Allah Subhanahu wa Ta ’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika kalian berutang-piutang dengan suatu utang hingga waktu yang ditentukan, maka hendaklah kalian menulisnya, dan hendaklah seorang penulis di antara kalian menulisnya dengan jujur. Janganlah penulis itu enggan menuliskannya sebagaimana yang diajarkan Allah kepadanya. Orang yang berutang itu hendaklah membacakan (utang yang dituliskannya) dan takutlah kepada Allah Tuhannya. ” (Qs. Al Baqarah (2): 282)

Imam Syafi’i berkata: Saya sendiri lebih menyukai adanya penulisan dan kesaksian, karena hal itu merupakan petunjuk dari Allah. Yang demikian itu disebabkan bahwa jika keduanya orang yang dapat dipercaya, maka terkadang salah satu atau keduanya meninggal dunia, hingga tidak dapat diketahui lagi hak penjual atas pembeli. Lalu, hilanglah hak pembeli atau ahli warisnya (atas barang tersebut). Selain itu, pembeli juga bertanggung jawab atas urusan yang tidak dapat dikembalikannya. Dan, terkadang pikiran pembeli itu dapat berubah sehingga tanggungjawab kembali kepada penjual.

Terkadang pembeli juga dapat berbuatsalah atau keliru, tetapi ia tidak mau mengakuinya.Jika demikian, maka ia termasuk orang yang suka berbuat zhalim karena tidak mau menyadari. Terkadang penjual juga dapat berbuat salah. Lalu ia mengklaim apa yang bukan menjadi hak miliknya. Dalam kasus seperti ini, maka penulisan dan kehadiran saksi dapat menjadi penghapus kekeliruan bagi kedua pelaku jual-beli dan ahli waris keduanya, sehingga ia tidak termasuk orang yang berbuat zhalim kepada hamba Allah yang lain.

Imam Syafi’i berkata: Allah Subhanahu wa Ta ‘ala berfirman dalam Al Qur’an, “Janganlah penulis itu enggan untukmenulisnya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya. ” (Qs. Al Baqarah (2): 282) Boleh jadi anjuran di atas menjadi wajib bagi orang yang diserukan untuk menulis. Jika ia meninggalkannya, maka ia termasuk orang yang telah berbuat maksiat kepada Allah.

Imam Syafi’i berkata: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Janganlah saksi-saksi itu enggan untuk memberikan keterangan jika mereka dipanggil. ” (Qs. Al Baqarah (2): 282) Setiap saksi hendaknya tidak enggan untuk memulai ketika dipanggil untuk menjadi saksi. Makna ayat di atas bisa berarti bahwa menjadi saksi itu merupakan suatu kewajiban atas orang yang ingin mengungkapkan kebenaran. Hendaknya di antara orang-orang yang memadai untuk bersaksi mau memberikan kesaksiannya. Sebab jika mereka bersaksi, maka hal itu sama dengan telah mengeluarkan dosa orang-orang selain mereka.

Imam Syafi’i berkata: Pernyataan itu berlaku pada setiap utang jual beli secara salaf atau yang lainnya. Sedangkan saya lebih menyukai kesaksian pada setiap (penunaian) hak yang harus, baik dari penjualan dan lainnya, karena lebih memperhatikan pada akibatnya, sebagaimana yang telah saya uraikan dan yang lainnya tentang berubahnya akal dan pikiran.

Imam Syafi’i berkata: Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma bahwasanya ia berkata, “Saya bersaksi bahwa salaf yang dijamin hingga suatu waktu yang ditentukan itu telah dihalalkan dan diizinkan Allah dalam kitab-Nya, Al Qur’an.” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an, “Hai orang-orangyang beriman, apabila kalian saling melakukan utang-piutang dengan utang hingga waktu yang ditentukan. ” (Qs. Al Baqarah (2): 282)

Imam Syafi’i berkata: Dari Ibnu Abbas bahwasanya ketika Rasulullah datang di kota Madinah, para penduduk di sana melakukanjualbeli tamar secara salaf setahun dan dua tahun. (Atau mungkin pula ia menyatakan) dua atau tiga tahun. Mengetahui hal itu, Rasulullah bersabda. “Barangsiapa menjual makanan secara salaf, maka hendaklah ia melakukannya pada takaran yang diketahui, timbangan yang diketahui, dan waktu tangguhan yang diketahui pula. ”

Imam Syafi’i berkata: Dari Muhammad bin Sirin bahwasanya ia pernah ditanya tentang gadaian secara salaf. Lalu Ibnu Sirin menjawab, “Apabila jual-beli itu halal, maka sebenarnya gadaian itu termasuk di antara yang diperintahkan.”

Imam Syafi’i berkata: Dari Atha’ bahwasanya ia membolehkan seseorang melakukan jual-beli secara salaf pada sesuatu yang diambilnya dengan cara digadai atau dibawa. Dari Ja‘far bin Muhammad, dari bapaknya, bahwasanya Rasulullah pernah menggadaikan baju besinya kepada Abu Syahm, seorang Yahudi dari bani Dhafr.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *