Karamat-karamatnya Para Waliullah Dan Keutamaan Mereka

Allah Ta’ala berfirman lagi: “Ingatlah bahwasanya para waliullah – yakni kekasih-kekasih Allah – itu tiada ketakutan atas mereka dan merekapun tidak akan bersedih hati. Mereka itu ialah orang-orang yang beriman dan juga bertaqwa. Bagi mereka adalah kegembiraan di dalam kehidupan dunia dan juga  di akhirat. Tiada perubahan sama sekali untuk kalimat-kalimat Allah. Yang sedemikian itu adalah kebahagiaan yang agung.” (Yunus: 62)

Allah Ta’ala berfirman lagi:

“Dan goyangkanlah olehmu – hai Maryam – pohon kurma itu, niscayalah ia akan menjatuhkan kepadamu buah kurma yang baru masak. Maka makanlah dan minumlah,” sampai habisnya ayat. (Maryam: 25-26)

Allah Ta’ala berfirman pula:

“Setiap kali Zakaria masuk kepadanya yaitu di mihrab, didapati makanan di dekatnya. la berkata: “Hai Maryam, bagaimanakah engkau dapat memperoleh ini?” Maryam menjawab: “Itu adalah dari sisi Allah, sesungguhnya Allah itu mengaruniakan rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki olehNya tanpa ada batas hitungannya.” (ali-lmran: 37)

Allah Ta’ala berfirman lagi:

“Dan di waktu engkau semua meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, carilah tempat persembunyian di dalam gua, nanti Tuhanmu semua akan menyebarkan kerahmatan-Nya untukmu semua dan menyediakan apa-apa yang berguna dari pekerjaanmu itu untuk kepentinganmu semua pula.

Engkau lihat matahari ketika terbitnya miring dari gua mereka di sebelah kanan dan ketika terbenam, meninggalkan mereka di sebelah kiri,” sampai habisnya ayat. (alKahf:16-17)

Dari Abu Muhammad yaitu Abdurrahman bin Abu Bakar as-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya ash-habush shuffah adalah para manusia yang fakir-fakir dan bahwasanya Nabi s.a.w. pernah pada suatu ketika bersabda: “Barangsiapa yang disisinya ada makanan cukup untuk dua orang, maka hendaklah pergi dengan tiga orang dan barangsiapa yang disisinya ada makanan cukup untuk empat orang, maka hendaklah pergi dengan lima atau enam orang,” atau seperti yang sedemikian itulah kurang lebih sabda beliau s.a.w. itu.

Abu Bakar datang dengan membawa tiga orang sedang Nabi s.a.w. berangkat dengan membawa sepuluh orang. Abu Bakar makan malam di tempat  Nabi  s.a.w.  kemudian menetap di situ sehingga ia bersembahyang Isya’. Kemudian kembali lalu datang di rumahnya setelah lewat waktu malam – yakni sampai jauh malam -sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Isterinya lalu berkata: “Apa yang menyebabkan anda tertahan untuk menemui tamu- tamu anda?” Abu Bakar bertanya: “Apakah orang-orang itu belum engkau beri makan malam?” la menjawab: “Mereka tidak mau sehingga anda datang dan para pelayan sudah menawarkan pada mereka itu.”

Abdur Rahman berkata: “Saya lalu pergi kemudian bersembunyi. Abu  Bakar  berkata: “Hai Tolol” dan seterusnya iapun mencaci dan memaki, lalu berkata kepada keluarganya: “Makanlah engkau semua tanpa adanya kecukupan. Demi Allah, saya tidak makan makanan ini selama-lamanya.”

Abdur Rahman berkata: “Demi Allah, tiada sesuap makananpun yang kita ambil, melainkan bertambahlah makanan dari bawahnya, lebih banyak dari keadaannya semula. Orang-orang sama makan sampai kenyang, tetapi makanan itu menjadi lebih  banyak lagi  dari yang sebelumnya dimakan. Abu Bakar melihat makanan itu, lalu berkata kepada isterinya: “Hai saudarinya Bani Firas, apakah yang terjadi ini?” Isterinya menjawab:  “Entahlah, demi kecintaan mataku, niscayalah makanan ini, keadaannya sekarang lebih banyak dari tadinya, bahkan lipat tiga kalinya. Abu Bakar lalu makan daripadanya dan berkata: “Hanyasanya sumpah yang saya ucapkan tadi adalah dari godaan syaitan.” Selanjutnya ia makan pula sesuap daripadanya kemudian dibawa ke tempat Nabi s.a.w. dan paginyapun tempat makanan itu masih ada di tempat beliau s.a.w. Antara kita dengan sesuatu kaum ada suatu janji, lalu waktu yang ditentukan – dalam janji  –  itu  lewatlah.  Kita semua terpisah-pisah menjadi duabelas orang yang setiap  seorang  di  antara  mereka itu disertai orang banyak. Allah lebih mengetahui  beberapa jumlah  yang dibawa oleh setiap orang itu. Mereka semua lalu makan.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Abu Bakar bersumpah tidak akan makan makanan itu, isterinyapun lalu bersumpah tidak akan makan, akhirnya atau para tamu atau para tamu itupun bersumpah pula tidak akan makan, sehingga Abu Bakar suka makan lebih dulu. Abu Bakar lalu berkata: “Ah, sumpah ini adalah dari syaitan belaka.” la lalu meminta makanan itu, kemudian ia makan dan keluarga serta para tamupun makan juga. Tetapi tiada sesuappun yang mereka angkat, melainkan bertambahlah makanan itu dari bagian bawahnya, yang keadaannya lebih banyak dari  semula. Abu Bakar lalu berkata: “Hai saudarinya Bani Firas apakah yang terjadi ini?” Isterinya menjawab: “Demi ke cintaan mataku, sesungguhnya makanan itu keadaannya kini niscayalah lebih banyak daripada sebelumnya kita makan tadi.” Mereka lalu makan lagi, kemudian dikirimkanlah makanan itu kepada Nabi s.a.w. dan Abdur Rahman menyebutkan bahwa beliau s.a.w. juga makan daripadanya.”

Dalam riwayat yang lain lagi disebutkan:

“Abu Bakar berkata kepada Abdur Rahman: “Layanilah tamu-tamumu itu, sebab saya akan berangkat kepada Nabi s.a.w. Jadi selesaikanlah semua hidangan untuk menghormati mereka itu sebelum saya datang kembali.” Abdur Rahman berangkat – ke tempat para tamu lalu mendatangkan makanan yang ada di sisinya. la berkata kepada mereka: “Ayolah makan.” Para tamu bertanya: “Manakah tuan rumah kita ini – yang mereka maksudkan ialah Abu Bakar as-Shiddiq?” Abdur Rahman berkata lagi: “Ayolah ” Mereka berkata pula:

“Kita tidak akan makan,sehingga tuan rumah kita ini datang.” Abdur Rahman berkata lagi: “Terimalah hidangan untuk menghormat anda sekalian ini, sebab sesungguhnya Abu Bakar, jikalau nanti datang dan anda sekalian belum makan, tentu kami akan mendapat marah daripadanya.” Para tamu tetap menolak, maka saya merasa dalam hatiku bahwa Abu Bakar  tentu akan marah pada saya. Setelah Abu Bakar datang, saya lalu menyingkir daripadanya. la berkata – kepada para tamu: “Apakah yang anda sekalian kerjakan ini.” Mereka lalu memberitahukan kepadanya perihal belum makannya itu. Selanjutnya Abu Bakar berkata: “Hai Abdur Rahman.” Tetapi saya berdiam saja. la berkata lagi: “Hai Abdur Rahman.” Saya tetap diam saja. Sekali lagi ia berkata: “Hai tolol, saya bersumpah padamu, kalau engkau mendengar suaraku ini, supaya engkau datang ke mari.” Saya lalu keluar, kemudian saya berkata: “Tanyakan sendiri pada tamu-tamu bapak.” Mereka menjawab: “Betul, ia telah datang dengan membawa makanan itu.” Abu Bakar berkata lagi: “Jadi anda sekalian hanya hendak menantikan saya, demi Allah, saya tidak akan makan makanan ini pada malam ini.” Orang-orang yang lain berkata: “Demi Allah, kita tidak makan juga sehingga anda suka pula makan.” la berkata: “Celaka anda sekalian ini, mengapa anda sekalian tidak suka menerima hidangan sebagai penghormatan kepada anda sekalian ini?” Lalu ia berkata kepada keluarganya: “Coba bawa ke mari makananmu itu.” Abu Bakar datang dengan membawa makanan lalu ia meletakkan tangannya dan mengucapkan: “Bismillah,” kemudian berkata  lagi: “Sumpah tadi itu dari godaan syaitan.” la makan dan orang-orang  lainpun  makan pula.” (Muttafaq ‘alaih)

Ucapannya: Ghuntsar dengan dhammahnya ghain mu’jamah, lalu  nun  sukun kemudian tsa’ bertitik tiga, artinya ialah orang yang bodoh lagi tolol. Ucapannya: fa-jadda’a artinya mencaci-maki, sedang aljad’u artinya pemutusan atau pemisahan.  Ucapannya yajidu ‘alayya dengan kasrahnya jim, artinya marah.

Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Niscayalah di kalangan ummat-ummat yang sebelummu semua itu ada orang-orang yang diberi ilham. Maka andaikata ada seorang yang sedemikian itu di kalangan ummat saya, maka sesungguhnya ia adalah Umar,”

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dari riwayat Aisyah. Dalam riwayat kedua ahli Hadis itu Ibnu Wahab berkata: Muhaddatsun artinya ialah orang-orang yang memperoleh ilham.

Dari Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Para penduduk Kufah mengadukan Sa’ad yakni Sa’ad bin Abu Waqqash r.a. kepada Umar bin al-Khaththab r.a. yang pada waktu itu menjabat sebagai khalifah, sedang Sa’ad sebagai gubernur yang diangkat olehnya untuk daerah Kufah. Oleh sebab itu Umar lalu memecat Sa’ad dan meggunakan ‘Ammar untuk memerintah penduduk Kufah itu sebagai ganti Sa’ad.

Orang-orang Kufah itu mengadukan, sampai-sampai mereka itu menyebutkan bahwasanya Sa’ad itu tidak bagus dalam mengerjakan shalatnya. Sa’ad diminta datang oleh Umar r.a. lalu berkata: “Hai Abu Ishaq yakni Sa’ad bin Abu Waqqash, sesungguhnya orang-orang Kufah menyangka bahwa engkau tidak bagus dalam melakukan shalat.” Sa’ad menjawab: “Tentang saya ini, demi Allah, sesungguhnya saya bersembahyang dengan orang- orang itu sebagaimana shalatnya Rasulullah s.a.w., tidak saya kurangi sedikitpun. Saya bersembahyang shalat Isya’, lalu saya perpanjangkan dalam kedua rakaat yang pertama,  sedang kedua rakaat yang penghabisan saya peringankan.” Umar berkata: “Itu adalah penyangkaan orang-orang padamu, hai Abu Ishaq.”

Selanjutnya Umar mengirimkan Sa’ad bersama seorang atau beberapa orang ke daerah Kufah untuk menanyakan kepada penduduk Kufah tentang diri  Sa’ad tadi. Tiada  suatu masjidpun yang diri Sa’ad itu dan para penduduk Kufah itu sama memuji akan kebaikannya. Akhirnya masuklah di suatu masjid di lingkungan Bani ‘Abs. Kemudian ada seorang lelaki di antara mereka itu berdiri, namanya Usamah bin Qatadah yang diberi nama gelar yaitu Abu Sa’dah. la berkata: “Adapun kalau anda bertanya kepada kami tentang Sa’ad, maka sesungguhnya Sa’ad itu tidak pernah ikut pergi memimpin pasukan ke medan perang, tidak pernah mengadakan pembagian harta rampasan dengan samarata dan tidak pernah menjatuhkan putusan dengan berdasarkan keadilan.”

Sa’ad lalu berkata: “Aduh, demi Allah, niscayalah saya akan berdoa dengan tiga macam permohonan: “Ya Allah, jikalau hambamu ini Usamah bin Qatadah berkata dusta dan melakukan hanya karena congkak dan kesombongan belaka, maka panjangkanlah usianya, langsungkanlah kefakirannya dan permudahkanlah ia untuk berbagai kefitnahan.”

Sesudah beberapa saat berlalu, orang itu jikalau ditanya, siapa dirinya, ia menjawab: “Aku adalah orangtua bangka yang terkena fitnah, karena doanya Sa’ad sudah mengena pada diriku.”

Abdulmalik bin Umair yang meriwayatkan Hadis ini dari Jabir bin Samurah berkata: “Saya sendiri melihat orang itu sesudah tuanya, kedua alisnya telah rontok-rontok di atas kedua matanya karena amat lanjut usianya itu dan sesungguhnya ia menampakkan diri pada kaum wanita sambil menarik-narik tangan mereka itu.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari ‘Urwah bin az-Zubair bahwasanya Said bin ‘Amr bin Nufail r.a. diajukan sebagai lawan oleh Arwa binti Uwais kepada Marwan bin al-Hakam yang waktu itu sebagai khalifah. Wanita itu mendakwa bahwa Said mengambil sebagian dari tanahnya. Said lalu berkata: “Saya sudah mengambil sebagian tanahnya, padahal saya sudah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda.” Marwan bertanya: “Apa yang anda dengar dari Rasulullah s.a.w.?” la menjawab: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Barangsiapa yang mengambil tanah sejengkal secara penganiayaan, maka tanah itu akan dikalungkan  di lehernya sampai tujuh  lapis bumi di bawahnya.” Marwan lalu berkata:”Saya tidak lagi akan meminta keterangan tentang kebenaranmu setelah mendengar ini.” Said lalu berdoa: “Ya Allah, jikalau wanita itu dusta, maka butakanlah matanya dan matikanlah ia dalam tanahnya sendiri.”

‘Urwah berkata; “Wanita itu tidak mati-mati sehingga peng-lihatannya lenyap yakni menjadi buta matanya, Dan pada suatu ketika ia berjalan di tanahnya sendiri, tiba-  tiba terjerumuslah ia dalam suatu lobang, kemudian mati di situ.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam riwayat Imam Muslim dari Muhammad bin Zaid bin Abdullah bin Umar, yang isinya semakna dengan uraian di atas itu dan bahwasanya ia melihat wanita tadi sudah buta mencari-cari dinding di waktu berjalan sambil mengucapkan: “Saya terkena oleh doanya Said.” Selanjutnya ketika wanita itu berjalan melalui sumur yang ada di dalam rumah yang dijadikan bahan pertengkaran dulu, tiba-tiba ia jatuh di dalamnya, lalu  itulah  yang menjadi kuburnya – yakni sebab kematiannya.

Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Ketika tiba waktunya peperangan Uhud, ayah saya memanggil saya di waktu malam, lalu berkata: “Saya tidak mengira pada diriku sendiri ini, melainkan rasanya akan terbunuh dalam permulaan orang-orang yang terbunuh dari sahabat-sahabat Nabi s.a.w. Sesungguhnya saya tidak meninggalkan sesudah matiku sesuatu yang bagiku lebih mulia daripada dirimu sendiri selain diri Rasulullah s.a.w.  yakni beliau s.a.w. yang dianggap  termulia  kemudian  anaknya itu. Sesungguhnya saya mempunyai tanggungan hutang, maka dari itu tunaikanlah hutangku itu dan berikanlah baik-baik kepada saudara-saudaramu.” Kemudian kita berpagi-pagi untuk melakukan peperangan, kemudian  ayahku  adalah  pertama  kali  orang yang terbunuh. Saya tanamkan bersamanya seorang lain dalam sekubur. Kemudian jiwaku tidak enak kalau ayahku saya tinggalkan teruster kubur bersama orang lain itu, lalu saya keluarkan lagi tubuhnya setelah dalam kuburnya itu selama enam  bulan, tiba-tiba ia masih dalam keadaan seperti waktu saya meletakkan dahulu, kecuali telinganya saja yang rusak. Selanjutnya saya jadikanlah ia dalam kubur sendirian yakni tidak disertai  orang lain dalam kubur.” (Riwayat Bukhari)

Dari Anas r.a. bahwasanya ada dua orang lelaki dari para sahabatnya Nabi s.a.w. keluar dari sisi Nabi s.a.w. di waktu malam yang gelap-gulita, tiba-tiba bersama kedua orang itu seperti ada dua lampu yang ada di hadapannya. Setelah keduanya berpisah maka tiap seorang dari keduanya itupun seperti ada sebuah lampu yang menyertainya, sehingga ia datang kepada keluarganya.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari beberapa jalan, di antara sebagian jalan itu disebutkan bahwa kedua orang lelaki itu ialah Usaid bin Hudhair dan ‘Abbad bin Bisyr radhiallahu ‘anhuma.

Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Rasuiullah s.a.w. mengirimkan sepuluh orang sebagai mata-mata merupakan suatu pasukan dan mengangkatnya ‘Ashim bin Tsabit al-Anshari r.a. sebagai kepala untuk memimpin mereka itu. Mereka lalu berang-kat, sehingga datanglah mereka di suatu tempat bernama al-Hudat yang terletak antara ‘Usfan dan Makkah. Kedalangan mereka itu disebut-sebut oleh suatu kabilah  dari  orang-orang Hudzail yang dinamakan Bani Lihyan, mereka ini mengejar sepuluh  orang  tersebut,  sedang para pengejar dari Bani Lihyan itu berjumlah hampir seratus orang ahli pemanah. Mereka meneliti jejak-jejak sepuluh orang tadi. Setelah ‘Ashim  dan  kawan-kawannya merasa akan memperoleh perlawanan, lalu mereka berlindung di suatu tempat, kemudian tempat ini dikepung oleh kaum musuh. Para pengejar itu berkata: “Turunlah engkau semua hai sepuluh orang, lalu serahkanlah tanganmu dan engkau semua memperoleh janji dan ikatan kata dari kita, bahwa kita tidak akan membunuh seseorangpun dari engkau semua. ‘Ashim berkata: “Hai kaum – kafirin, saya tidak akan turun untuk menjadi orang yang memperoleh jaminan hidup dari orang kafir. Ya Allah, beritahukanlah tentang hal- ihwal kita ini kepada NabiMu yaitu Muhammad s.a.w.” Musuh lalu melempari mereka dengan panah, lalu ‘Ashim dapat mereka bunuh. Ada tiga orang yang turun -hendak  menyerah -dengan berdasarkan janji dan ikatan kata – yakni tidak akan dibunuh. Di antara mereka ini ialah Khubaib, Zaid bin Datsinah dan seorang lelaki lain. Setelah tiga orang ini dapat mereka pegang, mereka lalu melepaskan tali busurnya masing-masing, kemudian tiga orang itu mereka ikat kuat-kuat. Orang yang ketiga yang tidak disebut namanya di atas berkata: “Inilah pertama-tama pengkhianatan. Demi Allah, niscayalah saya tidak akan suka lagi menemui engkau semua untuk terus berjalan. Bagi saya sudah ada penuntun – dalam persoalan ini – yakni dengan mereka, “yang dimaksudkan ialah orang-orang yang sudah mati terbunuh. Jadi ringkasnya ia lebih suka mengikuti kematian kawan-kawannya itu. Orang ini lalu mereka tarik-tarik dan mereka perlakukan dengan menyiksanya. Tetapi orang ini tetap enggan untuk mengawani kaum musuh  – untuk meneruskan  perjalanan. Akhirnya orang  ini mereka bunuh. Selanjutnya kaum Bani Lihyan tersebut berangkat dengan membawa Khubaib dan Zaid bin Datsinah, sehingga mereka menjual kedua orang tawanan ini  di Makkah sesudah peperangan Badar berakhir. Keluarga al-Harits bin ‘Amir bin Naufal  bin  ‘Abdi Manaf membeli Khubaib. Khubaib adalah yang membunuh al-Harits pada hari peperangan Badar dulu. Dengan demikian berada di tempat keluarga al-Harits sebagai seorang tawanan sehingga seluruh keluarga itu berkehendak akan membunuhnya.

Khubaib meminjam sebuah pisau cukur dari salah seorang puteri al-Harits untuk mencukur rambut kemaluannya, lalu wanita ini meminjamkan pisau cukur itu padanya. Ada seorang anak kecil yaitu anak wanita yang meminjami pisau cukur tadi  merangkak  ke tempat Khubaib, sedang wanita tadi sedang lalai mengamat-amati anaknya tadi, sehingga anak itu mendatangi Khubaib, lalu wanita itu melihat sendiri bahwa Khubaib mendudukkan anak tersebut di atas pahanya, sementara pisau cukur masih tetap  ada  di  tangannya. Wanita itu amat terkejut sekali dan hal yang sedemikian ini diketahui oleh Khubaib. Terkejutnya ialah karena takut kalau anaknya itu akan disembelih oleh tawanannya.

Khubaib lalu berkata: “Adakah anda takut kalau saya membunuh anak ini. Ah, saya tidak akan mengerjakan perbuatan sekeji itu.”

Wanita yang diuraikan di atas itu berkata: “Demi Allah, saya tidak pernah melihat seorang tawananpun yang lebih baik daripada Khubaib. Demi Allah, benar-benar saya pernah menemuinya pada suatu hari, ia sedang makan sedompol anggur di tangannya, sedang kan ia di waktu itu sedang diikat erat-erat dengan besi, lagi pula tiada buah-buahan seperti itu di Makkah. “Wanita itu melanjutkan katanya: “Hal itu niscayalah suatu rezeki yang  dikaruniakan oleh Allah kepada Khubaib.”

Setelah orang-orang Bani Lihyan keluar dengan membawa Khubaib dari tanah suci untuk membunuhnya di tanah halal bukan Tanah Haram yakni tanah suci Makkah, maka Khubaib berkata kepada mereka: “Lepaskanlah aku sebentar karena aku hendak bersembahyang dua rakaat.” Mereka membiarkannya, lalu ia ber-sembahyang dua rakaat, kemudian ia berkata: “Demi Allah andai-kata engkau semua tidak akan timbul sangkaan bahwasanya saya dalam ketakutan karena akan mati, niscayalah aku akan menambah sembahyangku ini lagi. Ya Allah, hitunglah jumlah mereka ini, bunuh mereka secara berganti-ganti menurut gilirannya dan jangan-lah meninggalkan seorangpun di antara mereka itu.” Selanjutnya Khubaib berkata pula:

Saya takkan memperdulikan, Asalkan aku mati sebagai Muslim. Dalam keadaan bagaimanapun, Kematianku adalah untuk Allah. Hal itu adalah Zat Tuhan,

Jikalau Dia berkehendak,

Pasti akan memberikan keberkahan,

Atas semua anggota tubuh yang terceraikan.

Khubaib adalah seorang yang membuat sunnah yang pertama kali bagi setiap orang Muslim untuk dibunuh dengan kesabaran, supaya melakukan shalat dahulu.

Nabi s.a.w. memberitahukan kepada sahabat-sahabatnya perihal berita sepuluh  orang di atas pada hari mereka mendapatkan mushibah yakni bencana yang menimpa mereka sebagaimana di atas.

Ada beberapa orang dari golongan kaum Quraisy menyuruh orang-orang lain ke tempat ‘Ashim bin Tsabit ketika mereka diberitahu bahwa ‘Ashim telah terbunuh, supaya orang-orang yang dikirimkan itu datang dengan membawa sesuatu anggota badan dari ‘Ashim yang dapat dikenal. ‘Ashim dahulu pernah membunuh seseorang dari golongan pembesar-pembesarnya kaum Quraisy. Tetapi Allah lalu mengirimkan kepada janazah ‘Ashim itu semacam awan dan terdiri dari lebah. Lebah-lebah itulah yang melindungi tubuh ‘Ashim  dari utusan-utusan kaum Quraisy yang hendak memotong sebagian anggotanya untuk dijadikan bukti kematian-nya. Oleh sebab itu musuh-musuh tadi tidak dapat memotong Ucapannya: Al-Hudat adalah sebuah tempat dan adbdhullah ialah awan, sedang addabru, artinya lebah. Ucapannya: Uqtulhum bidadan, boleh dengan ba’nya dikasrahkan  atau difathahkan lalu berbunyi badadan. Bagi orang yang membacanya kasrah, maka ia berkata: “Itu adalah jama’nya biddah dengan kasrahnya ba’, artinya bagian. Maknanya ialah: “Bunuhlah mereka itu – ya Allah – dalam waktu yang terbagi-bagi menurut pembagian gilirannya masing-masing.” Adapun bagi orang yang membaca fathahnya ba’, maka  maknanya iaiah secara berpisah-pisah dalam rnembunuhnya itu, yakni satu demi satu, yaitu dari kata attabdid.

Dalam bab ini banyak Hadis lain yang shahih yang sudah terdahulu dalam tempatnya masing-masing dalam kitab ini, di antaranya ialah Hadisnya anak yang mendatangi pendeta dan ahli sihir-lihat Hadis no.30, juga Hadisnya juraij no. 259, demikian pula Hadisnya orang-orang yang melarikan diri dalam gua yang tertutup oleh batu besar no. 12, Hadisnya orang yang mendengar suara dalam awan no. 560 yang mengatakan: “Siramlah kebun si Fulan itu dan Iain-Iain lagi.

Bukti-bukti tentang kekaramahan para waliullah itu amat banyak sekali lagi masyhur. Wa billahit taufik.

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Tidak pernah sama sekali saya mendengar Umar r.a. berkata kepada sesuatu: “Sesungguhnya saya mengira perkara itu begini,” melainkan kejadian perkara tersebut adalah tepat sebagaimana yang diperkirakan olehnya.” (Riwayat Bukhari)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *