Fatwa-Fatwa Penting

1. FATWA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM SEKITAR PUASA:

Seorang sahabat bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, Saya lupa sehingga makan dan minum, padahal saya sedang berpuasa.” Beliau menjawab :

“Allah telah memberimu makan dan minum” (HR. Abu Daud). Dan dalam riwayat Ad-Daruquthni dengan sanad shahih disebutkan.

“Sempurnakan puasamu dan kamu tidak wajib mengqadhanya, sesungguhnya Allah telah memberimu makan dan minum” peristiwa itu terjadi pada hari pertama di bulan Ramadhan.

Pernah juga beliau ditanya tentang benang putih dan hitam, jawab beliau :

“Yaitu terangnya siang dan gelapnya malam.” (HR. An-Nasa ‘i).

“Seorang sahabat bertanya: “Saya mendapati shalat shubuh dalam keadaan junub, lain saya berpuasa -bagaimana hukumnya-? Jawab beliau :

“Aku juga pernah mendapati Shubuh dalam keadaan junub, lantas aku berpuasa. “Ia berkata: “Engkau tidak seperti kami wahai Rasulullah, karena Allah telah mengampuni semua dosamu baik yang lalu ataupun yang belakangan. Nabi shallallahu halaihi wasallam menjawab : “Demi Allah, sungguh aku berharap agar aku menjadi orang yang paling takut kepada Allah dan paling tahu akan sesuatu yang bisa dijadikan alat bertakwa. “(HR. Muslim).

Beliau pernah ditanya tentang puasa di perjalanan, maka beliau menjawab :

“Terserah Kamu, boleh berpuasa boleh pula berbuka “(HR. Muslim).

Hamzah bin ‘Amr pernah bertanya: “Wahai Rasulullah, saya mampu berpuasa dalam perjalanan, apakah saya berdosa?” Beliau menjawab :

“Ia adalah rukhshah (keringanan) dari Allah, barangsiapa mengambilnya baik baginya dan barangsiapa lebih suka berpuasa maka ia tidak berdosa. “ (HR. Muslim).

Sewaktu ditanya tentang meng-qadha’ puasa dengan tidak berturut-turut, beliau menjawab :

“Hal itu kembali kepada dirimu (tergantung kemampuanmu), bagaimana pendapatmu jika salah seorang di antara kamu mempunyai tanggungan hutang lalu mencicilnya dengan satu dirham dua dirham, tidakkah itu merupakan bentuk pelunasan? Allah Maha Pemaaf dan Pengampun. ” (HR. Ad-DaYuquthni, isnadnya hasan).

Ketika ditanya oleh seorang wanita: “Wahai Rasulullah, ibu saya telah meninggal sedangkan ia berhutang puasa nadzar, bolehkah saya berpuasa untuknya? Beliau menjawab :

“Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki tanggungan hutang lantas kamu lunasi, bukankah itu membuat lunas hutangnya? la berkata, ‘Benar’. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Puasalah untuk ibumu.’ Hadits Muttafaq ‘Alaih) (Lihat I’laarnul Muwaqqii’in ‘An Rabbil ‘Aalamiin, oleh Ibnul Qayyim, 4/266-267)

2. SEBAGIAN FATWA IBNU TAIMIYAH

Beliau ditanya tentang hukum berkumur dan memasukkan air ke rongga hidung (istinsyaq), bersiwak, mencicipi makanan, muntah, keluar darah meminyaki rambut dan memakai celak bagi seseorang yang sedang berpuasa;

Jawaban beliau : “Adapun berkumur dan memasukkan air ke rongga hidung adalah disyari’atkan, hal ini sesuai dengan kesepakatan para ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya juga melakukan hal itu, tetapi beliau berkata kepada Al-Laqiit bin Shabirah :

“Berlebih-lebihanlah kamu dalam menghirup air ke hidung kecuali jika kamu sedang berpuasa. ” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasaa’i dan Ibnu Maajah serta dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melarang istinsyaq bagi orang yang berpuasa, tetapi hanya melarang berlebih-lebihan dalam pelaksanaannya saja.

Sedangkan bersiwak adalah boleh, tetapi setelah zawal (matahari condong ke barat) kadar makruhnya diperselisihkan, ada dua pendapat dalam masalah ini dan keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad, namun belum ada dalil syar’i yang menunjukkan makruhnya, yang dapat menggugurkan keumuman dalil bolehnya bersiwak.

Mencicipi makanan hukumnya makruh jika tanpa keperluan yang memaksa, tapi tidak membatalkan puasa. Adapun jika memang sangat perlu, maka hal itu bagaikan berkumur, dan boleh hukumnya.

Adapun mengenai hukum muntah-muntah, jika memang disengaja dan dibikin-bikin maka batal puasanya, tetapi jika datang dengan sendirinya tidak membatalkan. Sedangkan memakai minyak rambut jelas tidak membatalkan puasa.

Mengenai hukum keluar darah yang tak dapat dihindari seperti darah istihadhah, luka-luka, mimisan (keluar darah dari hidung) dan lain sebagainya adalah tidak membatalkan puasa, tetapi keluarnya darah haid dan nifas membatalkan puasa sesuai dengan kesepakatan para ulama.

Adapun mengenakan celak (sipat mata) yang tembus sampai ke otak, maka Imam Ahmad dan Malik berpendapat: Hal itu membatalkan puasa, tetapi Imam Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat: hal itu tidak membatalkan. (Lihat Majmu’ Fataawaa, oleh Ibnu Taimiyah, 25/266-267. Wallahu A ‘lam.

Ibnu Taimiyah menambahkan dalam “Al-Ikhtiyaaraat”: “Puasa seseorang tidak batal sebab mengenakan celak, injeksi (suntik), zat cair yang diteteskan di saluran air kencing, mengobati luka-luka yang tembus sampai ke otak dan luka tikaman yang tembus ke dalam rongga tubuh. Ini adalah pendapat sebagian ulama. (Lihat Al Ikhtiyaraatul Fiqhiyah, hlm. 108) Wallahu A ‘lam ‘:

3. SEBAGIAN FATWA SYAIKH ABDURRAHIMAN NASIR ASSA’DI

Beliau ditanya tentang orang yang meninggal sebelum melunasi puasa wajibnya, bagaimana hukumnya?

Jawaban beliau: “Jika ia meninggal sebelum membayar puasa wajibnya, seperti orang yang meninggal dalam keadaan berhutang puasa Ramadhan, kemudian diberikan kepadanya kesehatan, namun dia belum sempat menunaikannya, maka waijb baginya memberi makan kepada satu orang miskin setiap hari sesuai dengan jumlah puasa yang ia tinggalkan. Menurut Ibnu Taimiyah, jika puasanya diwakili maka sah hukumnya, hal ini kuat sumber hukumnya.

Kondisi kedua: Ia meninggal sebelum dapat nenunaikan tanggungan hutangnya seperti sakit di bulan Ramadhan dan mati di pertengahannya, sedangkan ia tidak berpuasa karena sakit tersebut atau bahkan sakitnya berlangsung terus hingga ajalnya tiba. Hal ini tidak menjadikannya wajib membayar kaffarah meskipun kematiannya setelah rentang waktu yang cukup lama, karena ia tidak gegabah dan melalaikannya, demikian pula ia tidak meninggalkannya kecuali adanya udzur syar’i. (Lihat Al Irsyaadu Ilaa Ma’rifatil Ahkaam, hlm. 85-86.)

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa meninggal dunia sedangkan in punya ranggungan puasa, maka walinya boleh berpuasa menggantikannya. “(Muttafaq ‘Alaih).

Hadits ini menunjukkan anjuran berpuasa kepada orang yang masih hidup untuk si mayit, dan bahwasanya jika seseorang meninggal dalam keadaan memiliki hutang puasa, maka boleh digantikan oleh walinya.”

Imam Nawawi berkomentar: “Para ulama berbeda pendapat tentang mayit yang memiliki tanggungan puasa wajib; seperti puasa Ramadhan, qadha’ dan nadzar ataupun yang lain. Apakah wajib diqadha untuknya?

Dalam masalah ini Imam Syafi’i memiliki dua pendapat, yang terpopuler adalah, Tidak wajib diganti puasanya, sebab puasa pengganti untuk si mayit pada asalnya tidak sah. Adapun pendapat kedua, ‘Disunnahkan bagi walinya untuk berpuasa sebagai pengganti bagi si mayit, hingga si mayit terbebas dari tanggungannya dan tidak usah membayar kaffarah (memberi makan orang miskin sesuai dengan bilangan puasa yang ditinggalkannya). Pendapat inilah yang benar dan terbaik menurut keyakinan kami. Dan pendapat inipun dibenarkan oleh para penelaah madzhab kami -yang menghimpun dan menyatukan disiplin ilmu fiqh dan hadits- berdasarkan hadits-hadits shahih diatas. (Lihat Al Majmu’atul Jalilah, hlm. 158.) Wallahu A ‘lam. ”

4. BEBERAPA FATWA ULAMA NEJED (ARAB SAUDI)

Syaikh Abdullah bin Syaikh Muhammad ditanya mengenai mulai kapan seorang anak yang menginjak dewasa diperintah melakukan ibadah puasa?

Beliau menjawab: “Anak yang belum dewasa jika ia mampu berpuasa maka pantas diperintah melaksanakannya, dan bila meninggalkannya diberi hukuman.

Syaikh Hamd bin Atiq ditanya tentang seorang wanita yang mendapati darah sebelum terbenam matahari, apakah puasanya dinyatakan sah?

Beliau menjawab : “Puasanya tidak sempurna pada hari itu.”

Syaikh Abdulah bin Syaikh Muhammad ditanya mengenai orang yang makan (berbuka) di bulan Ramadhan, bagaimana hukumnya?

Beliau menjawab : “Orang yang makan di siang hari bulan Ramadhan atau minum harus diberi pelajaran (dengan hukuman) supaya jera.”

Syaikh Abdullah Ababathin ditanya tentang orang yang berpuasa mendapatkan aroma sesuatu, bagaimana hukumnya?

Beliau menjawab : “Semua aroma yang tercium oleh orang yang sedang menunaikan ibadah puasa tidak membatalkan puasanya kecuali bau rokok, jika ia menciumnya dengan sengaja maka batallah puasanya.

Tetapi jika asap rokok masuk ke hidungnya tanpa disengaja tidak membatalkan, sebab amat sulit untuk menghindarinya. Wallahu A’lam”

Semoga sbalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, segenap keluarga dan sababatnya, amin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *