Imam Syafi’i berkata: Allah subhana wa Ta ‘ala berfirman, “dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus). ” (Qs. A1 Maa’idah(5): 6)
Imam Syafi’i berkata: Allah Subhanahu wa Ta ’ala tidak memberikan keringanan (rukhshah) dalam bertayamum kecuali pada beberapa keadaan, yaitu dalam peijalanan atau dalam kesulitan air atau saat sakit.
Apabila seseorang sakit, maka ia boleh bertayamum baik ia mukim atau sedang dalam pegalanan, atau saat ia memperoleh air atau tidak.
Imam Syafi’i berkata: Sakit adalah suatu kata yang mengumpulkan semua jenis penyakit. Adapun yang saya dengar tentang sakit yang dengannya boleh bertayamum adalah luka.
Imam Syafi’i berkata: Bengkak yang tidak parah itu juga masuk dalam kategori luka, karena yang ditakutkan adalah bagian tersebut terkena air yang kemudian akan bemanah sehingga menyebabkan kematian atau menimbulkan penyakit yang mengkhawatirkan. Inilah ketakutan minimal yang ada dalam masalah ini.
Apabila luka itu berlubang dimana dikhawatirkan tersentuh air sehingga akan menambah parah sakitnya, maka boleh baginya bertayamum. Namun apabila luka itu ringan dan tidak berlubang, serta tidak dikhawatirkan bemanah apabila dibasuh dengan air, maka ia tidak boleh bertayamum dikarenakan alasan Allah Subhanahu wa Ta ’ala memberikan keringanan kepada seseorang untuk bertayamum telah hilang darinya.
Tidak boleh seseorang bertayamum kecuali ada luka, baik pada musim dingin atau panas. Apabila ia melakukannya, maka hendaklah ia mengulangi shalat yang dikerjakannya dengan tayamum itu.
Begitu juga seseorang tidak boleh bertayamum ketika berada di musim dingin. Apabila ia terkena luka pada kepalanya atau pada bagian lain dari tubuhnya, maka ia harus membasuh bagian lain dari badannya yang terkena najis; dan tidak ada yang mencukupi kecuali hal itu, sebab bertayamum itu untuk janabah.
Begitu juga terhadap setiap najis yang mengenai anggota badannya, maka tidak cukup baginya kecuali membasuhnya.
Seseorang mempunyai banyak luka, dan salah satunya ada lubang luka yang terkena najis, sementara ia takut jika lubang luka itu terkena air. Jika ia tidak membasuhnya, maka ia hams mengulangi setiap shalat yang dikerjakannya itu.
Apabila luka itu terdapat pada telapak tangannya (bukan pada tubuh), maka ia harus membasuh seluruh tubuh kecuali telapak tangan. Namun dengan melakukan hal seperti itu, iabelum dianggap suci apabila belum bertayamum, karena ia tidak mandi sebagaimana yang diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta ’ala kepadanya.
Jika ia bertayamum dan sanggup membasuh sebagian dari tubuhnya tanpa adanya mudharat, maka ia tidak boleh melakukan tayamum dan harus membasuh seluruh tubuh yang ia mampu menjangkaunya, sebab bertayamum tidak boleh dengan mengusap sebagian dan meninggalkan bagian yang lain.
Jika luka itu terdapat pada bagian depan (bukan pada bagian belakang kepalanya), maka ia harus membasuh kepala bagian belakangnya. Demikian juga dengan sebagian kepala bagian depan (tidak pada bagian yang lain), maka ia harus membasuh bagian yang tidak ada lukanya dan meningggalkan bagian yang terkena luka, jika luka terdapat pada muka dan tidak pada bagian kepala. Namun jika dibasuh, maka air akan menetes ke bagian muka (tentu akan mengenai luka yang ada di mukanya), sementara ia tidak boleh meninggalkan basuhan kepalanya. Bahkan hendaknya ia mengambil posisi terlentang atau menutupi wajahnya, kemudian ia menyiramkan air ke tempat lain agar tidak mengenai mukanya.
Demikian pula apabila luka terdapat pada badannya, lalu iakhawatir jika menyiram air pada bagian yang tidak sakit akan mengenai bagian yang sakit, maka ia hams mengusapkan air pada bagian yang tidak sakit dan tidak boleh menyiramnya, cukup baginya dengan membasahi rambut dan kulit. Adapun bila ia mampu mengambil siasat untuk menyiramkan ke badannya tanpa harus mengenai bagian yang sakit, maka ia hams menyiramnya.
Imam Sy afi’i berkata: Cara bersuci bagi wanita yang sedang haid sama seperti orang yang berjunub, sebagaimana yang telah saya terangkan sebelumnya. Demikian pula jika seorang laki-laki atau seorang wanita akan mandi junub, maka cara mandinya adalah seperti itu.
Imam Sy afi’i berkata: Apabila pada wanita haid ada bekas darah dan pada orang yang junub terdapat najis, yang mana keduanya sanggup menahan apabila terkena air, maka keduanya harus mandi. Namun apabila tidak sanggup, maka keduanya boleh bertayamum lalu mengerjakan shalat. Keduanya tidak perlu mengulangi shalat, baik masih di dalam waktu shalat maupun di luar waktu shalat.
Imam Syafi’i berkata: Demikian juga setiap najis yang mengenainya, baik ia mandi maupun berwudhu, maka tidak ada yang dapat menyucikan najis itu kecuali air.
Apabila orang yang terkena najis itu sedang haid atau junub dan orang yang berwudhu tidak memperoleh air, maka ia boleh bertayamum kemudian mengerjakan shalat. Namun jika ia memperoleh air, maka hendaknya ia membasuh bagian yang terkena najis itu dan mandi apabila ada kewajiban mandi baginya, atau berwudhu apabila ada kewajiban wudhu atasnya, serta mengulangi seluruh shalat yang telah dikeijakan saat najis menempel padanya, karena najis tidak dapat disucikan selain dengan air.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang memperoleh air yang dapat menyucikan najis yang ada padanya dimana ia dalam keadaan safar, sementara ia tidak mendapatkan air untuk mandi (apabila ia wajib mandi) atau untuk berwudhu, maka ia hams membasuh bekas najis itu kemudian bertayamum dan mengerjakan shalat. Ia tidak perlu mengulangi shalatnya, karena ia shalat dalam keadaan suci dari najis, yang mana sucinya itu dengan bertayamum setelah mandi dan wudhu yang wajib atasnya.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seorang yang junub telah mendapat air untuk bersuci, sementara ia khawatir akan kehausan, maka ia dihukumi seperti orang yang tidak memperoleh air, ia harus membasuh najis yang telah mengenainya kemudian bertayamum. Keterangan ini cukup memadai dalam menjelaskan masalah membersihkan najis. Jika ia takut kehausan apabila (air digunakan untuk) mencuci najis sebelum memperoleh air yang lain, maka ia harus mengusap najis dan bertayamum, kemudian mengerjakan shalat. Lalu mengulangi shalat itu apabila telah mencuci najis dengan air (memperoleh air).
Apabila tidak takut kehausan jika air yang tidak memadai itu digunakan untuk membasuh najis, dan jika digunakan pun tidak bisa menghilangkan najis yang ada di badannya, maka hendaknya ia terlebih dahulu membasuh bagian yang terkena najis lalu membasuh anggota badan yang dikehendaki dengan sisa air itu, karena ia telah beribadah dengan membasuh seluruh badannya bukan hanya sebagiannya. Oleh sebab itu, ia harus mencuci seluruh badan apabila menghendaki dari anggota wudhu atau anggota tubuh yang lain. Anggota wudhu tidak lebih wajib dibasuh saat mandi janabah bila dibandingkan dengan anggota badan lainnya. Setelah itu, ia bertayamum dan shalat. Ia pun tidak perlu mengulangi shalatnya apabila mendapatkan air, karena ia shalat dalam keadaan suci.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang bertanya, “Mengapa menghilangkan najis yang mengenainya tidak memadai kecuali dengan dibasuh air, namun janabah dan wudhu cukup dengan bertayamum?” Maka dikatakan, bahwa inti kesucian adalah dengan air, hanya saja Allah menjadikan tanah itu suci untuk digunakan oleh mereka yang dalam peqalanan atau bagi mereka yang kesulitan memperoleh air; baik saat mukim atau dalam peqalanan, atau dalam kondisi sakit.
Tidak ada yang dapat membersihkan najis yang mengenai kulit atau yang lainnya kecuali dengan air, kecuali jika Allah Subhanahu wa Ta ’ala menjadikan tanah pengganti air untuk membersihkan najis. Akan tetapi Allah hanya menjadikan tanah sebagai pengganti air dalam rangka beribadah kepada-Nya melalui wudhu dan mandi. Beribadah dengan mengerjakan wudhu maupun mandi adalah suatu kewajiban ibadah yang bukan untuk menghilangkan najis yang nampak. Najis apabila melekat pada badan atau pakaian seseorang, maka menghilangkannya dengan air dianggap suatu ibadah hingga najis itu tidak lagi melekat pada badan dan pakaiannya. Inilah peribadatan yang memiliki alasan yang dapat dicema oleh akal.
Imam Syafi’i berkata: Wanita haid dalam hal bersuci sama seperti orang yang junub, tidak ada perbedaan di antara keduanya, hanya saja saya lebih menyukai wanita haid yang mandi dari janabah dengan memoleskan minyak kesturi pada bekas-bekas darahnya Namim apabila tidak ada kesturi, maka boleh menggunakan minyak wangi apa saja, karena hal itu merupakan Sunnah Rasul shallalla.hu ‘alaihi wasallam. Tetapi apabila ia tidak melakukannya juga, maka cukuplah air sebagai penyucinya.
Imam Syafi’i berkata: Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu menanyakan tentang mandi dari haid. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
“Ambillah sedikit kesturi lalu bersucilah dengannya Wanita itu bertanya lagi, ‘Bagaimana aku bersuci dengan kesturi itu?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Bersucilah dengannya! ’ Wanita itu bertanya kembali, ‘Bagaimanakah aku bersuci dengannya?’ Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Maha suci Allah! ’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menutup dirinya dengan kain, ‘Bersucilah dengannya’’. Lalu aku (Aisyah) menarik wanita itu dan mengajarkannya apa-apa yang dikehendaki Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku katakan kepada wanita itu, ‘Ikutkanlah dengan kesturi itu bekas darah yakni kemaluan’.”
Imam Syafi’i berkata: Musafir (orang yang bepergian) yang tidak mempunyai air dan orang yang menyendiri di tempat penggembalaan unta, maka boleh bagi mereka bersetubuh dengan istrinya. Cukup bagi mereka apabila bertayamum, asalkan telah membasuh apa yang mengenai dzakarnya dan istrinya membasuh apa yang mengenai farji-nya hingga ia mendapatkan air. Apabila ia telah mendapatkan air, maka keduanya harus mandi.