Imam Syafi’i berkata: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Hendaknya kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya.” (Qs. A1 Baqarah(2): 185)
Rasul SAW bersabda.
“Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihatnya, dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu melihatnya! Yakni, Hilal (bulan sabit, bulan yang terbit pada tanggal satu bulan Qamariyah). Apabila ada kabut atas kamu, maka sempurnakanlah bilangan tigapuluh hari”.
Imam Syafi’i berkata: Apabila manusia berpuasa pada bulan Ramadhan dengan ru ’yah (melihat bulan) atau dengan dua orang saksi yang adil alas ru ’yah itu, maka mereka dapat menjalankan puasa selama tiga puluh hari. Apabila kabut menutupi mereka sehingga hilal tidak dapat dilihat, maka mereka boleh berbuka dan saksi-saksi yang lain tidak dibutuhkan lagi.
Apabila mereka berpuasa dua puluh sembilan hari, kemudian kabut menutupi mereka, maka tidak boleh bagi mereka berbuka sehingga mereka menyempurnakannya menjadi tiga puluh hari, atau dengan adanya persaksian dua orang yang adil dalam ru ’yah bulan pada malam ketiga puluhnya.
Imam Syafl’i berkata: Apabila dua orang saksi pada hari ketiga puluh berkata bahwa keduanya telah menyaksikan bulan pada hari kemarin, maka orang-orang yang berpuasa harus berbuka pada saat dua orang saksi itu dianggap adil. Apabila keduanya dipandang adil sebelum matahari bergeser dari tengah-tengah langit (zawal), maka imam boleh memimpin shalat Id (hari raya). Namun apabila kedua saksi itu tidak dianggap adil sehingga tergelincir matahari, maka orang-orang tidak boleh melakukan shalat Id pada hari itu dan tidak juga keesokan harinya, karena shalat adalah ibadah yang ditentukan waktunya. Apabila waktunya telah lewat, maka ia tidak boleh dikerjakan pada waktu yang lain.
Apabila ada yang menanyakan, “Mengapa shalat Id tidak dilaksanakan pada waktu siang hari?” Maka dijawab, insya Allah, bahwa Rasul SAW telah mensunahkan untuk melaksanakan shalat Id setelah matahari terbit, dan beliau juga telah menetapkan waktu-waktu shalat. Hal itu menunjukkan bahwa apabila datang waktu shalat, maka berlalulah waktu shalat yang sebelumnya, sehingga tidak boleh mengerjakannya pada akhir waktu Zhuhur, karena shalat Id itu adalah shalat yang dikerjakan dengan berjamaah. Apabila telah terbukti bahwa Rasul SAW keluar bersama orang-orang pada keesokan harinya untuk mengerjakan shalat Id, maka kami juga mengatakan hal yang demikian.
Kami juga mengatakan bahwa jika Rasulullah SAW tidak keluar bersama mereka pada keesokan harinya, maka lusa harinya beliau akan keluar bersama mereka.
Kami mengatakan, bahwa Nabi SAW mengerjakan shalat pada hari Id sesudah zawal. Seandainya shalat Id boleh dilaksanakan setelah zawal, maka hal itu boleh dilaksanakan pada waktu yang lain. Namun yang demikian menurut kami belum terbukti, dan Allah Subhanahu wa Ta ’ala yang lebih mengetahui.
Apabila dua orang saksi atau lebih telah bersaksi melihat bulan, namun mereka tidak diketahui keadilannya, maka mereka boleh berbuka puasa. Saya lebih menyukai mereka mengerjakan shalat Id untuk diri mereka sendiri, baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri, dan tidak melaksanakan shalat di tempat yang terbuka.
Sesungguhnya saya mengatakan demikian agar mereka tidak mendapatkan tantangan dari orang lain, dan tidak memberikan kesempatan kepada orang-orang yang senang memecahbelah kaum muslimin yang awam.
Imam Syafl’i berkata: Demikian juga apabila seorang saksi menyaksikan bulan, namun ia tidak diketahui keadilannya, maka bagi orang itu diperbolehkan berbuka puasa. Namun hendaknya ia menutup diri dari berbuka puasa untuk menghindari prasangka buruk dari orang lain, dan ia boleh shalat Id untuk dirinya sendiri, ia boleh pula hadir pada pelaksanaan shalat Id sesudahnya jika menghendaki untuk shalat bersama orang banyak. Semua itu adalah sunah dan lebih baik baginya.
Tidak diterima persaksian kaum wanita yang adil dan tidak diterima pula persaksian apabila kurang dari dua saksi yang adil, baik keduanya orang kota maupun orang desa.
Imam Syafl’i berkata: Hari raya Fitri adalah hari dimulainya berbuka, dan hari raya kedua adalah hari raya kurban, yaitu hari ke sepuluh di bulan Dzulhijjah yang disebut juga dengan hari yang mengiringi hari Arafah.
Imam Syafl’i berkata: Persaksian tentang hilal Dzulhijjah adalah untuk menunjukkan hari Arafah (wukuf di padang Arafah), hari raya Kurban, dan hari-hari Mina (hari-hari mabit [menginap] di daerah Mina). Prosesi di atas adalah seperti proses hari raya, tidak berbeda sedikit pun; apa-apa yang boleh pada hari raya Idul Adha diperbolehkan juga pada hari raya Idul Fitri, dan apa-apa yang tertolak pada hari raya Idul Adha juga tertolak pada hari raya Idul Fitri.
Diperbolehkan melaksanakan ibadah Haji apabila telah wukuf di Arafah yang ditandai telah melihat bulan, walaupun mereka mengetahui setelah wukuf di Arafah bahwa hari Arafah adalah hari berkurban.
Imam Syafi’i berkata: Muslim telah mengkhabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, Ia berkata, “Saya bertanya kepada Atha’ tentang seorang laki-laki yang melaksanakan ibadah Haji, lalu manusia keliru tentang hari Arafah, maka apakah hajinya sah?
”Atha’ menjawab, “Ya, sah! Demi umurku, bahwa haji itu sah baginya.” Imam Syafi’i berkata: Saya mengira bahwa ia berkata:
Nabi SAW bersabda.
“Hari raya Idul Fitri adalah hari dimana kamu berbuka, dan hari raya Idul Adha adalah hari dimana kamu berkurban.”
Saya melihat Nabi SAW bersabda.
“Hari Arafah adalah hari kalian telah kenal.”

