Dari Anas r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. melarang kalau seseorang kota itu menjualkan untuk seseorang desa, sekalipun ia adalah saudaranya seayah dan seibu.” (Muttafaq ‘alaih)
Keterangan:
Orang kota menjual untuk orang desa itu maksudnya ialah umpama saja orang desa itu datang pada orang kota dengan membawa barang-barang yang diperlukan oleh umum. la meminta kepada orang kota supaya barang-barangnya itu dijualkan olehnya dengan harga menurut pasaran pada hari itu. Kemudian orang kota itu berkata padanya: “Biarkan di tempat saya sini saja untuk saya jualnya dengan perlahan-lahan.” Cara inilah yang diharamkan sebab merugikan orang desa tersebut. Tetapi kalau orang desa itu datang dengan membawa barang-barang yang kurang diperlukan oleh umum atau sekalipun banyak diperlukan umum, tetapi memang kemauan orang desa itu sendiri meminta supaya dijualkan dengan perlahan-lahan, kemudian orang kota berkata: “Saya akan mengurus penjualan itu untukmu,” atau ia berkata: “Serahkan sajalah penjualannya itu dengan mengikuti harga pada saat terjual-nya,” maka yang sedemikian ini tidak haram samasekali.
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, katanya: ‘Rasulullah s.a.w. bersabda: “Janganlah engkau semua menyongsong kedatangan barang-barang dagangan sehingga ia diturunkan di pasar-pasar.” (Muttafaq ‘alaih)
Keterangan:
Menyongsong barang dagangan, maksudnya ialah sebelum orang yang memilikinya itu mengetahui harga pasaran, lalu ia membeli barang-barangnya tadi tanpa adanya permintaan dari-padanya. Hal ini sama haramnya, apakah maksud pembeli itu dengan niat menyongsong atau tidak, seperti seseorang yang sedang berburu lalu melihat orang yang datang dari pedalaman dengan membawa dagangan, kemudian membelinya dengan harga yang lebih rendah dari pasaran, padahal pembeli itu mengetahui dan penjual tidak mengetahui akan harga pasaran itu.
Dari Ibnu Abbas adhiallahu ‘anhuma, katanya: ‘Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Janganlah engkau semua menyongsong di atas kendaraan yakni sebelum pemiliknya mengetahui harga pasar, dan jangan pula seseorang kota menjualkan untuk orang desa l.”Thawus lalu berkata: “Apakah maknanya jangan seseorang kota menjualkan untuk orang desa itu?” Ibnu Abbas menjawab: “Yaitu janganlah orang kota menjadi makelar menjualkannya – yakni menjualnya perlahan-lahan dan harganya menurut harga hari itu.” (Muttafaq ‘alaih)
Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. melarang kalau orang kota menjualkan untuk orang desa lihat keterangan Hadis 1772. Janganlah pula engkau sekalian icuh-mengicuh , juga janganlah seseorang itu menjual atas jualan saudaranya sesama Muslim dan jangan pula ia melamar pada wanita yang dilamar oleh saudaranya-sesama Muslim. Jangan pula seseorang wanita minta diceraikannya saudarinya yakni sesama wanita, dengan maksud ia akan suka menjadi pencukup apa yang diwadahnya yakni menjadi ganti dari isteri yang diceraikan tadi.
Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah s.a.w. melarang menyongsong dagangan di jalan, juga kalau seseorang muhajir yakni orang kota menjualkan untuk orang A’rab yakni orang desa dan kalau seseorang wanita meminta syarat untuk diceraikannya saudarinya misalnya sewaktu ia akan dikawin, lalu suka menerimanya dengan syarat bahwa nanti madunya itu akan diceraikan oleh suaminya, juga melarang kalau seseorang itu melebihkan harga dari harga saudaranya sesame Muslim. Demikian pula beliau s.a.w. melarang pengicuhan dan tashriah yaitu membiarkan binatang perahan tidak diperah dulu supaya banyak air susunya, sehingga menimbulkan kesukaan bagi orang yang menginginkan membelinya. (Muttafaq ‘alaih)
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Janganlah sebagian dari engkau semua itu menjual atas penjualan sebagian yang lainnya, jangan pula melamar atas lamaran saudaranya sesama Muslim kecuali kalau orang ini mengizinkan padanya.” (Muttafaq ‘alaih) Ini adalah lafaznya Imam Muslim.
Dari Uqbah bin ‘Amir r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Orang mu’min itu adalah saudaranya orang mu’min, maka tidak halallah kalau ia menjual atas jualan saudaranya itu dan jangan pula melamar atas lamaran saudaranya, sehingga saudaranya ini meninggalkan lamarannya misalnya mengurungkan atau memberi nya izin.” (Riwayat Muslim)

