Usaid bin Hudlair: Singa Anshar yang Tunduk pada Cahaya Qur’an

Nama Usaid bin Hudlair radhiyallahu ‘anhu tercatat dalam tinta emas sejarah Islam sebagai seorang pemimpin Anshar yang gagah, bangsawan yang disegani, dan sahabat Nabi ﷺ yang penuh keimanan serta kebijaksanaan.

Warisan Kemuliaan Keluarga

Ia mewarisi darah kepemimpinan dari ayahnya, Hudlairul Kata‘ib—pemimpin Aus, seorang bangsawan Arab jahiliyah, hulubalang perkasa yang tersohor. Seorang penyair bahkan pernah menggambarkannya:

“Andai maut mau menghindar dari orang perkasa, niscaya ia akan membiarkan Hudlair hidup…”

Dari sosok ayah itulah, Usaid memperoleh martabat tinggi dan kehormatan di Madinah. Ia dikenal sebagai pemimpin sekaligus pemanah ulung. Namun, kemuliaan sejatinya baru tampak ketika cahaya Islam menyinari jiwanya.

Pertemuan dengan Mush‘ab bin Umair

Ketika Rasulullah ﷺ mengutus Mush‘ab bin Umair ke Madinah untuk berdakwah, Usaid bersama sahabatnya, Sa‘ad bin Muadz, awalnya merasa terganggu. Mereka melihat agama baru itu sebagai ancaman bagi tradisi Aus dan Khazraj. Dengan penuh amarah, Usaid mendatangi majelis Mush‘ab yang tengah mengajarkan Islam.

Namun, kecerdasannya membuat ia menahan diri. Mush‘ab berkata dengan tenang:

“Duduklah sejenak, dengarkan. Jika engkau suka, ambillah. Jika tidak, kami hentikan.”

Usaid pun menancapkan tombaknya, duduk, dan mendengar ayat-ayat Al-Qur’an dibacakan. Seketika hatinya luluh. Cahaya iman tampak pada wajahnya bahkan sebelum ia mengucapkan syahadat. Ia lalu mandi, bersuci, dan menyatakan keislamannya dengan penuh keteguhan.

Kecerdikan Membawa Sa‘ad bin Muadz kepada Islam

Usaid tidak ingin terburu-buru mengajak Sa‘ad secara langsung. Ia tahu, sahabatnya itu keras pendirian. Maka, ia menyusun siasat:

“Wahai Sa‘ad, Bani Haritsah hendak membunuh As‘ad bin Zurarah, padahal ia anak bibimu!”

Dengan marah, Sa‘ad bergegas mendatangi majelis Mush‘ab. Tetapi bukan keributan yang ia dapati, melainkan ketenangan, bacaan Qur’an, dan cahaya iman. Maka, Sa‘ad pun masuk Islam, menjadi salah satu tokoh besar penopang dakwah Nabi ﷺ. Semua itu berkat kecerdikan dan keluhuran hati Usaid.

Sahabat yang Dikenal Bijaksana

Usaid dijuluki Al-Kamil (yang sempurna), sebagaimana ayahnya dahulu, karena kejernihan pikiran dan kebijaksanaannya. Ia kerap menjadi penengah konflik. Bahkan pada hari Saqifah, setelah wafat Rasulullah ﷺ, ketika kaum Anshar berdebat tentang siapa yang paling berhak menjadi khalifah, Usaid menenangkan mereka dengan kata-katanya yang jernih:

“Rasulullah berasal dari kaum Muhajirin. Maka khalifah pun sewajarnya dari Muhajirin. Kita, kaum Anshar, cukup menjadi pembela mereka.”

Kalimat itu menyejukkan hati, meredakan pertentangan, dan mengokohkan persatuan umat.

Suara yang Didengar Malaikat

Keistimewaan lain dari Usaid adalah bacaan Qur’annya yang indah. Para sahabat merasakan keteduhan luar biasa ketika ia membaca. Bahkan Rasulullah ﷺ bersabda bahwa malaikat turun khusus untuk mendengarkan lantunannya.

Wafatnya Singa Anshar

Pada bulan Sya‘ban tahun 20 Hijriah, Usaid bin Hudlair dipanggil Allah. Amirul Mu’minin Umar bin Khattab sendiri memikul jenazahnya di atas bahunya. Ia dimakamkan di Baqi‘, disertai air mata para sahabat yang mengenang keteguhan iman, kebijaksanaan, dan pengorbanannya.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda tentang dirinya:

“Sebaik-baik laki-laki adalah Usaid bin Hudlair.”

Penutup

Usaid bin Hudlair adalah teladan bagaimana kecerdasan, keberanian, dan kedudukan tinggi tidak berarti tanpa iman. Dengan cahaya Qur’an, ia berubah dari seorang bangsawan jahiliyah menjadi sahabat mulia yang membela Islam dengan jiwa dan raganya.

Ditulis oleh:
KH. Ahmad Ghozali Fadli, M.Pd.I
Pengasuh Pesantren Alam Bumi Al Qur’an, Wonosalam. Jombang, Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *