Santri, Integritas dan Profesionalisme

Oleh: Ahmad Ghozali Fadli

Ketika kita membicarakan kemerdekaan, sering kali imajinasi kita dibawa pada kisah-kisah heroik: pertempuran bersenjata, pekikan “Merdeka!”, dan pengorbanan jiwa para pejuang. Namun, ada satu kekuatan yang sejak dulu ikut menyemai kemerdekaan bangsa ini, meski tak selalu tercatat dalam buku sejarah secara gamblang: santri. Mereka bukan hanya murid-murid pesantren yang tekun mengaji, tetapi juga penggerak sosial, penjaga nilai moral, dan kini dituntut tampil sebagai profesional di berbagai lini kehidupan bangsa.

Sejarah telah mencatat, peran santri dalam perjuangan kemerdekaan tidak bisa dipandang sebelah mata. Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dipelopori Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, misalnya, menjadi pemicu lahirnya semangat perlawanan rakyat yang meletus dalam Pertempuran Surabaya. Saat itu, pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan agama, tetapi juga basis perlawanan dan tempat lahirnya keberanian. Namun perjuangan santri tidak berhenti di masa lalu. Hari ini, peran itu harus diterjemahkan ulang sesuai konteks zaman.

Kemerdekaan yang kita nikmati kini bukan lagi soal mengusir penjajah asing, melainkan bagaimana kita membebaskan bangsa dari kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, dan ketertinggalan. Di titik inilah, nilai-nilai santri menjadi sangat relevan. Pesantren sejak lama mengajarkan keikhlasan, kesederhanaan, disiplin, kerja sama, dan tanggung jawab. Nilai-nilai ini adalah fondasi utama integritas. Dan integritas inilah yang saat ini paling dibutuhkan Indonesia—di tengah derasnya arus pragmatisme politik, korupsi birokrasi, dan krisis keteladanan publik.

Namun integritas saja tidak cukup. Dunia modern menuntut kita untuk kompeten, cakap, dan unggul. Karena itu, santri masa kini tidak bisa hanya menjadi simbol moral, tetapi juga harus tampil profesional. Mereka harus hadir sebagai dokter yang ahli di bidangnya, pengusaha yang inovatif, guru yang inspiratif, birokrat yang bersih, bahkan politisi yang berani memperjuangkan kepentingan rakyat dengan jujur. Profesionalisme yang lahir dari basis spiritual dan integritas akan menjadi kombinasi ideal untuk membawa bangsa ini melompat lebih jauh.

Di sinilah letak tantangan sekaligus peluang bagi santri. Pesantren harus terus bertransformasi. Bukan dengan meninggalkan akar tradisi, melainkan dengan memperluas cakrawala. Kurikulum pesantren perlu memberi ruang bagi literasi digital, kewirausahaan, ilmu pengetahuan modern, dan keterampilan profesional. Dengan begitu, santri tidak hanya mampu membaca kitab kuning, tetapi juga membaca tantangan zaman. Mereka bisa menulis opini di koran, mendirikan startup, mengembangkan pertanian modern, atau mengisi ruang-ruang strategis kebangsaan.

Santri juga punya keunggulan yang tidak dimiliki semua orang: mereka terbiasa hidup sederhana, terbiasa bekerja kolektif, dan terbiasa berpikir dengan perspektif nilai. Dalam dunia yang semakin individualistis, nilai-nilai ini adalah modal sosial yang sangat mahal. Santri bisa menjadi penyeimbang dalam pusaran globalisasi, menawarkan wajah Islam yang moderat, inklusif, dan selaras dengan budaya Nusantara.

Kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata para pendahulu kita, kini harus diisi dengan kerja nyata. Bukan sekadar jargon, bukan pula sekadar perayaan tahunan. Di era kompetisi global, bangsa ini membutuhkan sosok yang berintegritas sekaligus profesional. Dan di sinilah santri punya peran strategis: menjaga agar pembangunan tidak kehilangan arah moral, sekaligus memastikan bahwa nilai tidak kalah oleh kepentingan sesaat.

Kemerdekaan bukan hanya tentang lepas dari penjajahan, tetapi juga tentang membangun masa depan yang lebih bermartabat. Maka, santri tidak boleh hanya menjadi pengisi kemerdekaan, tetapi harus menjadi penentu arah. Dengan integritas sebagai kompas, dan profesionalisme sebagai kendaraan, santri siap mengantar Indonesia menuju kemajuan yang berkeadilan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *