Pertemuan Penuh Makna bersama Syekh Awad


Warisan Ilmu dan Cinta

Surabaya — Sabtu (24/5), usai melaksanakan khidmah dalam Musyawarah Idarah Jam’iyah Thariqah al-Mu‘tabarah se-Jombang, kami menerima voice note dari salah satu ulama besar dunia Islam, Syekh Awad Karim Utsman Al-Aqly. Dalam pesan suaranya, beliau menyampaikan permohonan maaf karena tidak dapat singgah ke Pesantren Alam Bumi Al-Qur’an, disebabkan padatnya agenda dakwah beliau di Indonesia.

Syekh Awad, yang bergelar Musnid, adalah ulama besar asal Sudan yang telah meriwayatkan ribuan sanad hadits muttashil hingga sampai kepada Rasulullah SAW. Dari sisi nasab, beliau merupakan keturunan Abu Yazid Aqil bin Abdul Muthallib, saudara tertua dari Abdullah, ayah Nabi Muhammad SAW.

Pertemuan Mendadak, Tapi Penuh Keberkahan

Setelah mendengar pesan tersebut, kami menghubungi pendamping beliau untuk memastikan kabar. Alhamdulillah, beliau bersedia menerima kunjungan kami malam itu juga, sekitar pukul 23.00 WIB, di hotel tempat beliau menginap di kawasan Surabaya. Tanpa menunggu lama, kami langsung berangkat selepas shalat Isya menggunakan sepeda motor.

Sesampainya di kamar 409, kami langsung diajak berdiskusi hangat. Banyak hal yang kami bahas, terutama seputar kondisi umat Islam di Indonesia. Menurut beliau, salah satu tantangan terbesar dakwah hari ini bukan semata-mata perbedaan pemahaman agama, melainkan dominasi cara hidup duniawi yang melunturkan kekhusyukan hati.

“Pengaruh luar telah banyak membentuk gaya hidup umat. Bukan hanya dari sisi pakaian, tetapi cara berpikir. Jika hati tidak dijaga, maka keras dan lalai itu akan menjadi penyakitnya,” ujar beliau.

Syekh Awad kemudian menekankan pentingnya tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dalam kehidupan seorang Muslim. Ia mengingatkan bahwa para ulama terdahulu sangat menjaga kebersihan hati. Sebagaimana dikatakan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah:

“Hati yang hidup akan merasa resah jika jauh dari Allah, sedangkan hati yang mati akan tenang dalam maksiat.”
(Madarijus Salikin)

Menghaturkan Karya untuk Dinilai Sang Guru

Dalam kesempatan tersebut, kami juga menyampaikan beberapa karya kami kepada beliau. Pertama, Kitab Iman: Tafsir Al-Ghazali, yang membahas secara mendalam konsep iman, takwa, ihsan, ikhlas, ketaatan, ridha, mahabbah, tawakal, syukur, dan sabar. Syekh Awad sangat mengapresiasi karya tersebut. Beliau mengatakan, “Menulis tentang keimanan bukan sekadar merangkai ayat, tetapi menyelami samudra makna dan menghimpunnya dalam satu sistematika.”

Kami lanjutkan dengan memperkenalkan Allamanil Qur’an Juz 30, sebuah metode tematik dalam memahami Al-Qur’an. Dalam kitab ini, setiap surat dibagi menjadi beberapa subtema, diperkuat dengan intisari ayat, indikator pemahaman, dan penguatan makna. Kitab ketiga yang kami sodorkan adalah Uktubuu: Pedoman Imla’ Dasar, buku imla’ yang dirancang khusus untuk pembelajaran bahasa Arab sejak huruf hingga kalimat yang indah. Syekh Awad tampak sangat terkesan dengan metode pembelajaran ini, yang menurut beliau “unik dan bermanfaat bagi generasi baru.”

Wajah beliau memancarkan senyum yang meneduhkan, dan hati kami dipenuhi kebahagiaan. Benarlah kata Imam al-Ghazali:

“Jika engkau melihat gurumu ridha padamu, maka sesungguhnya Allah sedang menurunkan ridha-Nya kepadamu.”
(Ihya’ ‘Ulumuddin)

Ijazah Sholawat Basyairul Khoirot: Warisan Spiritualitas

Menjelang akhir pertemuan, kami memohon ijazah wirid dari beliau. Awalnya belum ada tanggapan. Namun ketika kami menyampaikan bahwa kami membaca Sholawat Basyairul Khoirot setiap usai Subuh, beliau tersenyum dan berkata bahwa beliau memiliki sanad sholawat tersebut. Seketika itu pula, beliau mengijazahkan sholawat tersebut kepada kami.

Sebelumnya, kami telah menerima ijazah yang sama dari Syekh Muhammad Fadhil al-Jailani, cucu ke-25 dari Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Maka, pertemuan malam itu seolah menjadi penguat spiritual atas warisan keberkahan para wali Allah yang terus mengalir melalui sanad dan silsilah ruhani.

Penutup

Pertemuan malam itu memang singkat, namun penuh makna. Ada pelajaran adab, ilmu, akhlak, dan keberkahan yang sulit diukur dengan kata-kata. Dan yang paling membekas adalah satu kalimat yang seakan menutup seluruh percakapan:

“Tiada kebahagiaan melebihi senangnya seorang murid saat melihat gurunya tersenyum bahagia.”

Semoga Allah panjangkan usia Syekh Awad Karim Utsman Al-Aqly, dan menjadikan pertemuan singkat ini sebagai penyambung silsilah ilmu dan cahaya para salafus shalih.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *