Pembinaan Sebelum Jihad

Inilah yang menjadikan para pembaharu pada hari ini menyerukan wajibnya mendahulukan pendidikan daripada peperangan,mendahulukan pembentukan pribadi  daripada  menduduki  pos-pos yang penting.

Yang kami maksudkan dengan pendidikan dan pembentukan di sini ialah membina manusia  mu’min,  yang dapat  mengemban  misi da’wah;  bertanggung  jawab  menyebarkan  risalah Islam; tidak kikir terhadapharta benda; tidak sayang kepada jiwanya  dalam melakukan  perjuangan  di jalan Allah. Pada saat yang sama dia merupakan contoh hidup yang dapat menerapkan nilai-nilai agama dalam  dirinya, sekaligus menarik orang lain untuk melakukan hal yang sama. Dalam  dirinya orang melihat  Islam yang benar-benar hidup.

Pembinaan dan pendidikan manusia seperti itu merupakan tuntutan manusia sepanjang zaman,  khususnya apabila kita hendak membuat landasan bagi agama yang baru, atau umat baru yang mempunyai misi yang baru. Ketika ada suatu agama yang sedang melemah, kemudian umatnya dihinggapi dengan kerapuhan, maka agama ini memerlukan suasana baru, dan umatnya perlu dihidupkan. Maka tidak ada jalan bagi agama itu kecuali melakukan pembaruan, menghidupkan  dan  memperbaiki umatnya. Yaitu mendidik generasi baru untuk mencapai tujuan yang hendak dicapainya.

Pembinaan  dan  pembentukan  manusia  seperti  itu,  merupakan gambaran  yang  paling  tepat bagi generasi mu’min yang hendak mengemban panji perbaikan dan kebangkitan. Usaha seperti  itu harus mendahului perjuangan bersenjata untuk mengubah suatu masyarakat dan mendirikan negara.

Oleh karena itu, tugas penting yang dilakukan  oleh  Al-Qur’an pada  masa  Makkah  selama tiga belas tahun adalah membina manusia, mendidik generasi baru  dengan  pendidikan  keimanan, akhlak,  dan  akal  pikirannya  secara  sempurna. Teladan yang paling sempurna bagi generasi baru ini adalah Rasulullah saw.

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…” (al-Ahzab: 21)

Tugas utama al-Qur’an pada  periode  Makkah  ialah  menanamkan aqidah,  Sifat-sifat  yang baik, akhlak yang mulia; menanamkan pandangan hidup yang  sehat,  pemikiran  yang  benar;  menolak keyakinan-keyakinan  Jahiliyah, sifat-sifat buruk yang merusak pemikiran manusia dan  perilakunya;  serta  menjalin  hubungan yang  kuat  antara  manusia  dan  tuhannya dengan jalinan yang tidak dapat dipisahkan.

“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya). (Yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.” (al-Muzzzammil: 1-5)

Pembinaan yang mendalam pada ‘sekolah’ malam, sekolah al-Qur’an  adalah untuk  mempersiapkan  penerimaan ‘perkataan yang berat’ yang ditunggu tunggu olehnya.  Ungkapan  berat  di sini tidak lain adalah berat dari segi tanggung jawabnya.

Kemudian ayat-ayat al-Qur’an turun dengan cara seperti itu, menanamkan aqidah dan konsep-konsep;  menanamkan nilai-nilai dan sifat-sifat mulia; menyucikan akal dan hati dari kotoran-kotoran Jahiliyah; mendidiknya di atas makna-makna iman. Pekerjaan yang menuntut kesabaran, keteguhan, ketegaran, pengorbanan dalam membela kebenaran dan  melawan  kebatilan, dalam  membersihkan  akal  pikiran  dari  penipuan  yang  buta terhadap para nenek moyang, pemimpin dan pembesar yang  sesat. Pendidikan seperti ini mesti dilakukan sebelum turunnya satu ayat yang memerintahkan  peperangan bersenjata, pertumpahan darah terhadap orang-orang musyrik dan para penyembah Taghut.

Bahkan para sahabat  datang kepada Nabi  saw  mengadukan kepadanya bahwa di antara mereka ada yang dipukul, dan dilukai oleh  orang-orang  musyrik. Para sahabat menuntut kepada Nabi saw untuk mengangkat  senjata  sebagai  usaha  membela  diri, memerangi  musuh  mereka  dan  musuh agama mereka. Akan tetapi Nabi saw berkata kepada mereka, sebagaimana dikisakkan oleh al-Qur’an:

“… Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembabyang…” (an-Nisa’: 77)

Jawaban itu bukan berarti melecehkan perjuangan bersenjata, yang merupakan  puncak  pengabdian  dalam Islam. Akan tetapi jawaban itu ada kaitannya dengan pelbagai pemberian prioritas; khususnya   prioritas  terhadap  pendidikan  dan  pembentukan pribadi Muslim.

Di antara pendidikan yang baik yaitu menyiapkan jiwa-jiwa yang sanggup berperang ketika tiba masanya untuk itu, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Muzzammil:

“…Dia mengetahui balnva akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah…” (al-Muzzammil: 20)

Perjuangan yang terakhir ialah perjuangan bersenjata, berjuang dengan pedang dan tombak. Sedangkan perjuangan dengan da’wah dan memberikan penjelasan kepada manusia, dan  perjuangan dengan al-Qur’an adalah perjuangan yang harus dilakukan sejak hari pertama. Dalam surat  al-Furqan  –yang  tergolong  surat Makkiyah– Allah SWT berfirman kepada Rasulullah saw:

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur’an dengan jihad yang besar” (al-Furqan: 52)

Begitu pula berjihad dalam kesabaran dan  keteguhan, serta mempertahankan  diri  ketika menerima siksaan dari orang-orang kafir ketika  berda’wah  di jalan Allah. Begitulah yang disebutkan pada awal surat al-Ankabut:

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput (dan azab) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu. Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dan semesta alam.” (al-Ankabut: 2-6)

Pendidikan yang sedang kita bincangkan adalah  termasuk  jenis pendidikan ini, yakni berjihad di jalan Allah.

Imam Ibn  al-Qayyim  menyebutkan  dalam  al-Hady  al-Nabawi, terdapat tiga belas tingkatan  jihad.  Empat tingkatan jihad yang berkaitan dengan jihad terhadap hawa nafsu, dua tingkatan jihad terhadap setan, tiga tingkatan jihad kepada pelaku kezaliman, bid’ah, dan kemungkaran,  dan  empat  tingkatan lainnyajihad terhadap  orang-orang  kafir,  dan  jihad  dengan hati, lidah,  dan harta  benda. Jihad yang mesti ditempatkan pada urutan yang terakhir ialah jihad dengan jiwa dan tangan kita.”

Dia melanjutkan, “Karena jihad yang paling utama itu adalah mengatakan sesuatu yang benar di hadapan suasana yang sangat keras; seperti mengucapkan kebenaran dihadapan orang yang ditakutkan siksaannya, maka dalam hal ini Rasulullah saw menduduki tempat jihad yang tertinggi dan paling sempurna.”

Karena  jihad terhadap musuh-musuh Allah merupakan bagian dari jihad seorang hamba terhadap hawa nafsunya dalam meniti  jalan Allah; sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw,

“Orang yang sebenanya berjihad ialah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya dalam meniti ketaatan terhadap Allah. Dan orang yang sebenanya berhijrah ialah orang yang berhijrah dari apa yang dilarang oleh-Nya.” 1

Maka sesungguhnya jihad terhadap hawa nafsu harus  didahulukan daripada jihad terhadap musuh Islam. Karena sesungguhnya orang yang belum berjihad  melawan  hawa  nafsunya  terlebih  dahulu untuk mengerjakan apa yang diperintahkan kepadanya, dan meninggalkan apa yang dilarang baginya, serta memeranginya di jalan Allah,  maka  dia  tidak boleh melakukan jihad terhadap musuh yang ada di luar dirinya. Bagaimana  mungkin  dia  dapat melawan  musuh dari luar, pada saat yang sama musuh dari dalam dirinya masih menguasainya dan  tidak  dia  perangi  di  jalan Allah  SWT? Sehingga tidak mungkin ia keluar melawan musuhnya, sebelum dia memerangi musuh yang berada di dalam dirinya.

Dengan adanya dua musuh ini, seorang hamba  diuji  untuk melawannya.Dan di antara kedua musuh ini masih ada musuh yang ketiga, yang tidak mungkin baginya untuk memerangi kedua musuh itu  kecuali dengan  melakukan  perang terlebih dahulu kepada musuh yang ketiga ini. Musuh  ini  berdiri  menghalangi hamba Allah untuk melakukan peperangan terhadap kedua musuh itu. Dia selalu menggoda hamba Allah dan menggambarkan  bahwa  kedua musuh  itu begitu berat baginya, karena dengan memerangi kedua musuh itu manusia akan meninggalkan perkara-perkara yang lezat dan  enak. Sesungguhnya manusia tidak akan dapat memerangi kedua musuh itu kecuali dia telah  mengalahkan musuh yang ketiga. Perang terhadap musuh yang ketiga ini merupakan dasar bagi peperangan terhadap musuh yang pertama dan kedua.  Musuh yang ketiga itu adalah setan. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuhmu …” (Fathir: 6).

Perintah untuk menjadikan setan sebagai musuh merupakan peringatan bahwa kita harus mempergunakan segala kekuatan kita untuk memeranginya. Seakan-akan dia adalah musuh yang  tidak ada hentinya,  dan  tidak  ada  seorang  hambapun  yang boleh melalaikan perang terhadapnya.

Itulah tiga musuh yang harus diperangi oleh  manusia.  Kaum Muslimin  telah  diuji untuk memerangi ketiga musuh itu karena ketiga-tiganya telah menguasai diri mereka sebagai ujian  dari Allah  SWT…  sebagian  orang  di  antara  mereka  diciptakan sebagai ujian atas sebagian yang lain, untuk menguji  siapakah yang  betul-betul  membela  Rasulullah  saw  dan siapakah yang termasuk dalam kelompok yang membela setan.

Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar betul-betul berjuang,  sebagaimana mereka diperintahkan agar betul-betul  bertaqwa  kepada-Nya.  Taqwa  yang  benar   ialah mentaati Allah SWT dan tidak bermaksiat kepada-Nya, ingat kepada-Nya dan tidak melupakan, bersyukur kepada-Nya dan tidak mengingkari-Nya. Dan jihad yang benar ialah berjihad terhadap hawa nafsunya, untuk  menyerahkan  hati,  lidah,  dan  seluruh anggota  tubuhnya  kepada  Allah.  Semua  untuk Allah dan demi Allah, bukan untuk dirinya dan demi  dirinya  sendiri.  Orang mu’min  yang benar ialah orang yang memerangi setan dan mendustakan janji-janji yang diberikan     olehnya, mengingkarinya, dan menentang larangannya. Sesungguhnya, setan memberikan janji  dan  harapan  yang  palsu,  menipu  manusia, menyuruh kepada perbuatan keji, dan melarangnya untuk bertaqwa kepada Allah  SWT,  melarangnya  menjaga  kesucian  diri,  dan melarang untuk beriman kepada-Nya. Oleh karena itu, perangilah setan, dustakan segala janjinya, dan jangan turuti perintahnya. Sehingga dengan demikian akan tumbuh kekuatan untuk melakukan peperangan terhadap musuh-musuh Allah SWT yang berada  di luar dirinya, dengan hati, lidah, tangan, dan harta kekayaannya, untuk menegakkan kalimat Allah yang Maha Tinggi.

Ibn al-Qayyim berkata, “Jika perkara itu telah dipahami,  maka sesungguhnya  jihad itu memiliki  empat  tingkatan:  Jihad terhadap hawa nafsu,  jihad  terhadap  setan,  jihad  terhadap orang-orang kafir, dan jihad terhadap orang-orang munafiq.”

Sementara jihad terhadap diri sendiri, musuh yang ada di dalam diri manusia itu juga memiliki empat tingkatan:

Pertama, berjihad  terhadap  diri  sendiri  untuk  mengajarkan petunjuk  kepadanya,  petunjuk agama yang benar yang tidak ada kemenangan, kebahagian hidup di dunia dan di  akhirat  kecuali dengannya. Kalau manusia tidak mengetahui petunjuk tersebut, maka dia akan mengalami kesengsaraan hidup  di  dunia  dan  di akhirat

Kedua,  berjihad  terhadapnya untuk  melaksanakan petunjuk tersebut setelah diketahuinya. Jika  tidak,  maka pengetahuan yang  dimilikinya  hanya  akan berwujud ilmu pengetahuan tanpa amal. Kalaupun ilmu itu tidak  membahayakannya,  tetapi  pasti tidak bermanfaat baginya.

Ketiga, berjuang terhadap diri sendiri untuk mengajak orang lain kepada petunjuk tersebut,  mengajari orang yang belum mengetahuinya. Jika tidak, maka dia akan termasuk orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang diturunkan oleh Allah SWT. Ilmunya tidak  bermanfaat,  dan  tidak  akan menyelamatkannya dari azab Allah SWT.

Keempat, berjuang  dengan  penuh  kesabaran  dalam  menghadapi berbagai  kesulitan  dalam mengajak orang lain kepada petunjuk Allah SWT. Dia bertahan terhadap berbagai kesulitan itu karena Allah SWT.

Apabila empat tingkatan jihad ini telah dapat dilalui dengan sempurna, maka dia akan menjadi manusia rabbani. Para ulama salaf  sepakat bahwasanya orang yang memiliki ilmu pengetahuan tidak berhak untuk disebut sebagai manusia rabbani sampai dia mengetahui kebenaran,   mengamalkannya,  dan  mengajarkannya kepada orang lain. Oleh sebab itu, orang yang  mempunyai  ilmu pengetahuan, mengamalkannya, dan mengajarkannya kepada orang lain dapat disebut  sebagai  orang  yang  mulia  di  kerajaan langit.

Adapun berjuang melawan setan itu ada dua tingkatan.

Pertama, berjihad untuk menolak berbagai  bentuk  syubhat  dan keraguan  yang  mengotori  iman agar tidak sampai kepada hamba Allah SWT.

Kedua, berjihad untuk menolak berbagai kehendak  yang  merusak dan  nafsu syahwat agar tidak sampai kepada mereka. Jihad yang pertama harus dilakukan dengan keyakinan, dan jihad yang kedua harus dilawan dengan kesabaran. Allah SWT berfirman:

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (as-Sajdah: 24)

Sedangkan berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq  juga ada  empat  tingkatan: dengan hati, dengan lidah, dengan harta benda, dan dengan jiwa. Jihad melawan  orang-orang  kafir  itu khusus dilakukan dengan tangan, sedangkan  jihad  melawan orang-orang munafiq dilakukan dengan lidah.

Adapun jihad terhadap pelaku kezaliman, bid’ah, dan kemungkaran ada tiga tingkatan: Dengan tangan apabila mampu melakukannya. Jika tidak, maka berjihad dengan lidah. Dan bila tingkatan  yang  kedua  ini juga tidak mampu dia lakukan, maka harus berjuang dengan hati. Itulah tiga belas tingkatan  dalam melakukan jihad.2 Dalam sebuah hadits disebutkan:

“Barangsiapa meninggal dunia tidak pernah berjihad, dan tidak pernah berniat untuk berjihad, maka dia akan meninggal dunia di atas kemunafiqan.” 3

Tidak diragukan lagi bahwa enam  tingkat  yang  pertama  dalam jihad  di atas termasuk ke dalam kategori pendidikan yang kita maksudkan dalam pembahasan ini. Tingkatan yang pertama ialah berjihad melawan diri sendiri dan berjuang melawan setan.

Catatan kaki:

1 Diriwayatkan oleh Ahmad, 6: 21, dari Fudhalah bin ‘Ubaid dengan lafal, “Orang yang berhijrah ialah orang yang berhijrah dari kesalahan dan dosa-dosa.” yang di-shahih-kan oleh Ibn Hibban (al-Ihsan. 4862); al-Hakim, 1: 11; yang di-shahih-kan olehnya sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh Bukhari dan Muslim. yang juga disepakati oleh adz-Dzahabi. ^

2 Lihatlah Zad al-Ma’ad, 3:5-11, cet. Mu’assasah ar-Risalah, yang ditahqiq oleh Syu’aib al-Arnauth.  ^

3 Diriwayatkan oleh Muslim dalam al-Imarah (1910) dari Abu Hurairah r.a.  ^

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *