Di Madinah, di tengah suku Bani Salamah yang terpandang, berdirilah seorang bangsawan terhormat: Amr bin Jamuh. Ia adalah pemimpin yang dihormati, kaya, dan disegani kaumnya. Di rumahnya berdiri berhala bernama Manaf, simbol kekuasaan dan tradisi yang diwarisi turun-temurun. Tetapi siapa sangka, lelaki yang awalnya setia pada berhalanya itu, kelak akan menutup hidupnya dengan salah satu kesyahidan paling indah dalam sejarah Islam.
Dari Penghinaan Berhala ke Cahaya Tauhid
Putranya, Mu‘adz bin Amr, lebih dulu memeluk Islam bersama sahabatnya, Mu‘adz bin Jabal. Dengan keberanian pemuda beriman, mereka menjadikan berhala ayahnya sebagai bahan ejekan: dibuang ke tempat kotoran, dicemari, bahkan diikat bersama bangkai anjing. Awalnya Amr murka, namun akalnya mulai terbuka: jika benar berhala itu memiliki kekuatan, mengapa ia tak mampu membela dirinya?
Hingga akhirnya, hati Amr tersentuh. Ia menyucikan diri, merapikan pakaian, lalu berjalan dengan dada tegak menuju Rasulullah SAW untuk berbaiat. Sejak itu, ia berubah total: dari bangsawan pemuja berhala menjadi mu’min dermawan yang menyerahkan seluruh harta, jiwa, dan raganya untuk Islam. Rasulullah bahkan bersabda kepada Bani Salamah: “Pemimpin kalian adalah si putih keriting, Amr bin Jamuh.”
Kerinduan pada Syahid
Namun ada satu hal yang membebani hatinya: cacat di kakinya membuatnya pincang. Syariat membebaskannya dari kewajiban berperang. Tetapi jiwanya memberontak. “Ya Rasulullah, aku berharap dengan kepincanganku ini aku bisa melompat ke dalam surga!” pintanya penuh kerinduan.
Di Perang Badar ia dilarang. Namun ketika Perang Uhud tiba, ia tak terbendung lagi. Meski putra-putranya mencoba menahannya, ia tetap berangkat, membawa pedang dan semangat yang membara. Kepada Allah ia berdoa lirih: “Ya Allah, berilah aku kesempatan syahid. Jangan kembalikan aku kepada keluargaku.”
Berjingkat ke Surga
Hari itu Uhud bergemuruh. Amr bin Jamuh, dengan kaki pincangnya, maju ke barisan depan bersama keempat putranya. Ia melompat, berjingkat, mengayunkan pedang. Setiap tebasan adalah doa, setiap langkah pincangnya adalah kerinduan akan surga. Hingga satu sabetan pedang musuh menjatuhkannya. Doanya terkabul. Ia gugur syahid, bersama iparnya Abdullah bin Amr bin Haram—dua sahabat yang hidupnya bersaudara, wafat pun dimakamkan bersama dalam satu liang.
Rasulullah SAW bersabda, “Tanamkan mereka berdua dalam satu makam, karena mereka bersaudara dalam hidup dan mati.”
Keabadian Para Syuhada
Empat puluh enam tahun kemudian, banjir besar menggali kembali pekuburan Uhud. Jasad para syuhada dipindahkan. Orang-orang terperanjat: tubuh Amr bin Jamuh dan Abdullah bin Amr masih utuh, seakan baru saja tidur. Senyuman masih menghiasi bibir mereka, tanda ridha dan kemenangan. Tanah tak mampu melapukkan jasad mereka, sebab jiwa yang suci telah melampaui kefanaan dunia.
Warisan Kepahlawanan
Amr bin Jamuh adalah simbol keteguhan iman. Dari bangsawan penyembah berhala menjadi syuhada yang berjingkat menuju surga, kisahnya adalah pelajaran bahwa setiap hati bisa disentuh cahaya Allah, setiap cacat bisa menjadi kemuliaan jika dipersembahkan di jalan-Nya.
Ia tidak hanya hidup sebagai pemimpin dermawan, tetapi wafat sebagai pahlawan sejati. Dan hingga kini, kisahnya bergaung sebagai seruan abadi: bahwa keimanan, pengorbanan, dan kerinduan pada Allah-lah yang membuat manusia benar-benar mulia.
Ditulis oleh:
KH. Ahmad Ghozali Fadli, M.Pd.I
Pengasuh Pesantren Alam Bumi Al Qur’an, Wonosalam. Jombang, Jawa Timur

