Abu Musa al-Asy‘ari, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, memiliki kisah hidup yang penuh dengan kebijaksanaan, keberanian, dan pengorbanan yang luar biasa. Sebagai seorang prajurit yang tangguh di medan perang dan seorang pemimpin yang bijaksana, Abu Musa al-Asy‘ari memainkan peran penting dalam membangun perdamaian dan mengajarkan nilai-nilai Islam kepada umat Muslim. Kisah hidupnya, dari perjalanan hijrahnya yang penuh tantangan hingga kontribusinya yang besar bagi umat Islam, terus menjadi teladan bagi generasi-generasi setelahnya.
Awal Perjalanan: Dari Yaman ke Madinah
Abu Musa al-Asy‘ari berasal dari Yaman. Ketika ia mendengar tentang Rasulullah yang mengajarkan tauhid dan ajaran Islam yang luhur, ia segera meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu di Madinah. Di sana, ia duduk di hadapan Rasulullah SAW, menerima petunjuk dan keimanan darinya. Abu Musa menjadi salah satu sahabat yang paling dekat dengan Nabi, mempelajari ajaran Islam secara langsung, dan kemudian menyebarkannya kembali ke Yaman setelah kembali dari Madinah.
Setelah penaklukan Khaibar, Abu Musa kembali ke Madinah dan kembali bersama lebih dari lima puluh orang dari Yaman yang telah diajarkannya Islam. Mereka dikenal sebagai “golongan Asy‘ari”, sebuah kelompok yang dihormati oleh Rasulullah, karena ketulusan hati mereka dan pengorbanan mereka dalam memperjuangkan Islam.
Kepemimpinan yang Membangun Perdamaian
Ketika Amirul Mu‘minin Umar bin Khattab mengangkat Abu Musa sebagai gubernur Bashrah, Abu Musa membawa misi yang lebih dari sekadar menjalankan pemerintahan. Dalam pidatonya yang terkenal, ia berkata: “Sesungguhnya Amirul Mu‘minin Umar telah mengirimku kepada kalian untuk mengajarkan Kitab Tuhan kalian dan Sunnah Nabi kalian, serta untuk membersihkan jalan hidup kalian.” Pernyataan ini menggambarkan tujuan utamanya: bukan hanya memimpin, tetapi juga membimbing umat Islam agar hidup sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.
Kebijakan-kebijakan Abu Musa di Bashrah mencerminkan keberanian dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan masalah umat. Abu Musa dikenal sebagai seorang pemimpin yang adil dan bijaksana, tidak hanya dalam hal pemerintahan, tetapi juga dalam hal hukum dan agama. Ia juga dikenal sebagai seorang ahli fiqh yang cerdas, dan salah satu dari empat orang yang dianggap paling berkompeten dalam memberikan fatwa pada masa itu, bersama Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Tsabit.
Keberanian di Medan Perang
Selain menjadi pemimpin yang bijaksana, Abu Musa juga dikenal sebagai seorang pejuang yang gagah berani di medan perang. Dalam peperangan melawan kekaisaran Persia, ia memimpin pasukannya dalam pertempuran yang hebat di kota Tustar, sebuah benteng terakhir yang dikuasai oleh Hurmuzan, panglima Persia. Abu Musa menggunakan kecerdikannya untuk meraih kemenangan dengan mengirimkan pasukan yang menyamar sebagai pedagang, sehingga berhasil mengecoh pasukan Persia dan membuka jalan untuk penaklukan kota tersebut.
Kemenangan ini menjadi bukti ketangguhan dan kecerdikan Abu Musa dalam menghadapi musuh. Namun, meskipun ia seorang pejuang yang tangguh, ia juga seorang yang penuh dengan kebijaksanaan dan kebaikan hati. Ia dikenal sebagai pribadi yang sangat menghormati perdamaian dan keadilan, bahkan jika itu berarti harus menghindari konflik antar sesama Muslim.
Prinsip Hidup: Kejujuran dan Pengorbanan
Salah satu nilai yang paling menonjol dalam diri Abu Musa adalah kejujuran dan pengorbanannya untuk Islam. Dalam perjuangan politik dan militer yang ia hadapi, Abu Musa selalu berusaha untuk bertindak dengan integritas dan kejujuran. Ketika terjadinya perselisihan antara Ali bin Abi Thalib dan Mu‘awiyah, Abu Musa diangkat sebagai salah satu hakim untuk menyelesaikan konflik tersebut melalui tahkim (penyelesaian sengketa). Meskipun ia tidak terlibat langsung dalam pertempuran antara kedua pihak, ia memilih untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara yang lebih damai, dengan menyerahkan urusan pemilihan khalifah kepada umat melalui musyawarah.
Namun, dalam pertemuan tahkim dengan Amr bin Ash yang mewakili Mu‘awiyah, Abu Musa menunjukkan kecerdikannya. Meskipun Amr berusaha memanipulasi situasi untuk menguntungkan pihaknya, Abu Musa tetap teguh pada prinsipnya, yaitu keadilan dan kedamaian bagi umat Islam. Pada akhirnya, meskipun tahkim ini tidak berhasil sepenuhnya mencapai tujuannya, ia tetap menunjukkan bahwa Abu Musa lebih memilih jalan damai dan kebenaran daripada mengikuti tipu daya politik.
Peninggalan dan Warisan
Abu Musa al-Asy‘ari tidak hanya dikenal sebagai seorang pemimpin dan pejuang, tetapi juga sebagai seorang yang sangat menghayati ajaran Al-Qur’an. Ia adalah seorang penghafal Al-Qur’an yang mendalam dan seorang ahli ibadah yang penuh ketekunan. Ia mengajarkan umat Islam untuk selalu mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, serta untuk beribadah dengan sepenuh hati.
Pada masa tuanya, Abu Musa menghabiskan banyak waktu untuk merenung dan berdoa. Ia dikenal karena ketulusannya dalam beribadah, serta keteguhannya dalam mematuhi perintah Allah. Pada saat-saat akhir hidupnya, ketika ajal mendekat, ia terus mengingatkan dirinya untuk selalu memohon keselamatan dari Allah, dan akhirnya meninggal dengan penuh ketenangan dan kerendahan hati.
Teladan Seorang Sahabat
Kisah hidup Abu Musa al-Asy‘ari adalah kisah tentang kebijaksanaan, keberanian, dan ketulusan. Ia bukan hanya seorang pejuang yang berani di medan perang, tetapi juga seorang pemimpin yang bijaksana dan penuh kasih sayang. Kejujuran dan pengorbanannya dalam menyelesaikan permasalahan umat, serta kesungguhannya dalam mengajarkan dan mengamalkan ajaran Islam, menjadikannya teladan bagi umat Islam hingga hari ini.
Abu Musa mengajarkan kita bahwa untuk mencapai kejayaan dalam hidup, baik di dunia maupun akhirat, kita harus berpegang pada prinsip kejujuran, perdamaian, dan pengorbanan. Seperti kata-kata yang selalu dipegang oleh Abu Musa, “Yang penting adalah ikhlas, kemudian biarlah terjadi apa yang akan terjadi.”
Ditulis oleh:
KH. Ahmad Ghozali Fadli, M.Pd.I
Pengasuh Pesantren Alam Bumi Al Qur’an, Wonosalam, Jombang

