Madinah pagi itu berguncang. Debu sahara membumbung tinggi, menyelimuti ufuk hingga seakan matahari pun bersembunyi di baliknya. Orang-orang keluar dari rumah mereka, menyangka angin ribut akan melanda kota. Namun di balik tirai debu, terdengar derap langkah unta, gemuruh roda, dan suara hiruk pikuk manusia.
Tak lama kemudian, muncullah kafilah dagang raksasa: tujuh ratus kendaraan penuh muatan yang berjejer panjang, memasuki kota dengan megah. Jalan-jalan Madinah dipadati manusia; anak-anak berlarian, kaum wanita menengok dari balik pintu, dan para lelaki takjub menyaksikan kekayaan yang seakan tak bertepi.
“Itu kafilah Abdurrahman bin Auf dari Syam!” seru mereka.
Berita pun sampai ke rumah Ummul Mu’minin Aisyah r.a. Beliau tersenyum getir dan berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Kulihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan perlahan-lahan.”
Surga… tetapi dengan langkah tertahan. Sebuah kabar gembira, namun sekaligus peringatan.
Mendengar ucapan ini, Abdurrahman bin Auf bergegas menemui Aisyah. Air matanya menitik, hatinya terguncang oleh sabda Nabi yang tak pernah ia lupakan. Lalu, tanpa menunggu lama, ia mengangkat tangan ke langit dan berseru:
“Jadikanlah engkau saksi, wahai Ummul Mu’minin… seluruh kafilah ini, dengan muatannya, kendaraannya, dan perlengkapannya, kuserahkan di jalan Allah!”
Dan dibagikannya tujuh ratus kendaraan itu beserta isinya kepada penduduk Madinah dan sekitarnya.
Saudagar yang Tidak Diperbudak Kekayaan
Sejak awal, Abdurrahman bin Auf adalah lelaki yang unik. Ia termasuk delapan orang pertama yang masuk Islam melalui dakwah Abu Bakar ash-Shiddiq. Bersama para perintis awal lainnya—Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah—ia membaiat Rasulullah, lalu menanggung penganiayaan Quraisy. Ia hijrah ke Habasyah, kembali ke Mekah, lalu hijrah lagi ke Madinah.
Di Madinah, Rasulullah mempersaudarakannya dengan Sa’ad bin Rabi’, seorang bangsawan Anshar. Sa’ad, dengan kemurahan luar biasa, menawarkan separuh hartanya, bahkan bersedia menceraikan salah satu istrinya untuk diberikan kepada Abdurrahman. Namun jawaban Ibnu Auf singkat, tegas, dan penuh wibawa:
“Semoga Allah memberkahi engkau, keluargamu, dan hartamu. Tunjukkan saja padaku di mana pasar.”
Dan dari pasar itulah ia membangun kejayaan dagangnya. Tangannya bagaikan magnet rezeki. Ia berkata suatu kali: “Sungguh kulihat diriku, seandainya aku mengangkat batu, pasti kutemukan di bawahnya emas dan perak.”
Namun emas dan perak itu tak pernah mengikat hatinya. Baginya, kekayaan hanyalah titipan dan sarana untuk meraih ridha Allah.
Derma yang Menggetarkan Bumi
Sejarah mencatat derma Abdurrahman bagaikan lautan yang tak pernah surut.
-
Ia pernah menyumbangkan 500 ekor kuda untuk jihad.
-
Pada kesempatan lain, ia menyerahkan 1.500 unta lengkap dengan perlengkapannya.
-
Ia menjual tanah seharga 40.000 dinar, lalu membagikannya kepada fakir miskin, keluarga, bahkan istri-istri Nabi.
-
Menjelang wafat, ia mewasiatkan 50.000 dinar untuk jalan Allah, dan memberikan 400 dinar kepada setiap sahabat yang ikut Perang Badar dan masih hidup—bahkan Utsman bin Affan, sahabat yang kaya raya, ikut menerimanya.
Tak heran jika orang berkata: “Seluruh penduduk Madinah berserikat dengan Abdurrahman bin Auf pada hartanya. Sepertiga dipinjamkan, sepertiga dipakai melunasi hutang mereka, sepertiga lagi dibagikan kepada mereka.”
Tangis Sang Miliarder
Namun, di balik semua itu, ada kerendahan hati yang membuat orang-orang gemetar. Suatu hari ketika ia hendak berbuka puasa, makanan mewah tersaji di hadapannya. Tiba-tiba ia menangis. Orang-orang bertanya mengapa.
Ia menjawab, “Mush’ab bin Umair gugur syahid, padahal ia lebih mulia dariku. Ia hanya dikafani selembar kain, bahkan kepalanya tertutup maka kakinya terbuka, jika kakinya tertutup maka kepalanya terbuka. Hamzah pun gugur syahid, jauh lebih mulia dariku. Sementara aku… dunia telah dibentangkan untukku. Aku takut pahala kebaikanku sudah didahulukan di dunia ini.”
Tangisannya menggema, membuat hati para sahabat bergetar.
Jejak di Perang dan Politik
Jangan sangka ia hanya seorang saudagar. Di Perang Uhud, tubuhnya penuh luka: dua puluh goresan pedang dan tombak, sebagian membuatnya pincang sepanjang hidup. Beberapa giginya rontok, meninggalkan bekas cadel ketika ia berbicara. Luka-luka itu adalah medali kehormatan, tanda kesetiaan pada Rasulullah.
Ketika Umar bin Khattab wafat, ia menunjuk enam orang untuk memilih khalifah pengganti. Banyak yang menginginkan Abdurrahman bin Auf sendiri menjadi khalifah. Namun ia menolak dengan tegas: “Demi Allah, lebih baik kalian tusukkan pedang ke leherku daripada aku menerima jabatan itu.”
Ia memilih menjadi penentu suara, dan dengan kebijaksanaannya, ia menetapkan Utsman bin Affan sebagai khalifah. Imam Ali bahkan berkata kepadanya: “Engkau adalah orang yang dipercaya penduduk langit dan penduduk bumi.”
Detik-detik Perpisahan
Pada tahun ke-32 Hijriah, Abdurrahman bin Auf berbaring di ranjang sakit. Ummul Mu’minin Aisyah menawarkan agar ia dimakamkan di samping Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar. Namun dengan kerendahan hati ia menolak, memilih dimakamkan dekat sahabat lamanya, Utsman bin Madh’un.
Air matanya menetes, bibirnya bergetar mengucap, “Aku khawatir dipisahkan dari sahabat-sahabatku karena kekayaanku yang melimpah…”
Namun sakinah turun menyelimutinya. Senyum tipis menghiasi wajahnya, seakan ia mendengar bisikan lembut janji Allah:
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah… bagi mereka pahala di sisi Tuhan mereka. Tiada ketakutan atas mereka, dan tiada pula kesedihan.”
Itulah Abdurrahman bin Auf r.a., saudagar agung yang hatinya lebih lapang dari kafilahnya, dan imannya lebih berharga daripada emas peraknya. Ia masuk surga—benar, dengan perlahan-lahan—tetapi kepastian baginya adalah surga, sebagaimana janji Rasulullah.
Sungguh, ia adalah teladan bagaimana kekayaan tak harus menjerat manusia, tetapi bisa menjadi tangga menuju ridha Allah.
Ditulis oleh:
KH. Ahmad Ghozali Fadli, M.Pd.I
Pengasuh Pesantren Alam Bumi Al Qur’an, Wonosalam. Jombang, Jawa Timur

