Zakat Perdagangan

Imam Syafi’i berkata: Dari Abu Amr bin Hammas bahwasanya bapaknya (Hammas) berkata, “Aku pemah memanggul beberapa kulit hewan, lalu aku bertemu dengan Umar bin Khaththab RA dan beliau bertanya kepadaku, ‘Wahai Hammas, apakah engkau sudah mengeluarkan zakat dari hartamu itu?’ Aku menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin, aku tidak mempunyai harta kecuali kulit yang akan aku samak yang sedang aku panggul ini’. Lalu Umar berkata, ‘Itulah hartamu, maka sekarang letakkanlah di sini’. Lalu aku meletakkan kulit-kulit tersebut di hadapan beliau, kemudian beliau menghitungnya dan temyata harta tersebut sudah wajib dizakati, lalu Umar mengeluarkan zakat dari hartaku itu.”

Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Barang-barang (selain emas dan perak) tidak wajib dizakati kecuali apabila barang-barang tersebut diperdagangkan.”
Imam Syafi’i berkata: Dari Zuraik bin Hakim, ia menceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepadanya yang berisi pernyataan: “Lihatlah orang-orang muslim yang berada dalam kekuasaanmu, ambillah (zakat) dari harta pemiagaan mereka; yaitu setiap 40 Dinar zakatnya adalah 1 Dinar (1/40 atau 2,5 %). Yang kurang dari itu, maka perhitungannya pun akan kurang (tetap dikeluarkan 1/40 nya). Apabila harta mereka kurang dari 20 Dinar (walaupun kekurangannya sedikit sekali, misalnya20 Dinar kurang 1/3 Dinar), makajangan diambil zakatnya sedikitpun.”

Imam Syafi’i berkata: Barang-barang (selain emas dan perak) yang tidak diperdagangkan, tidak wajib dizakati. Misalnya seseorang mempunyai beberapa rumah atau tempat pemandian (kolam renang), pakaian-pakaian atau mesin giling yang semuanya disewakan untuk mencari penghasilan, maka barang-barang tersebut tidak dikenai zakat. Yang dizakati adalah hasil penyewaan dari barang-barang tersebut, apabila hasilnya sudah mencapai haul (sudah 1 tahun berada dalam kepemilikannya). Begitu juga hasil dari penyewaan kantor, tidak dikenai zakat sebelum mencapai haul.

Imam Syafi’i berkata: Barangsiapa memiliki barang-barang tersebut dengan jalan warisan, hibah, wasiat atau dengan cara-cara lain yang bukan dengan cara membeli, atau ia sedang menunggu untuk menjual barang-barang tersebut (menunggu kapan lakunya), kemudian barang-barang tersebut mencapai haul, maka ia tidak wajib menzakati hartanya tersebut, karena ia tidak memperdagangkan barang-barang tersebut.
Imam Syafi’i berkata: Barangsiapa membeli barang-barang seperti di atas, yaitu barang-barang yang tidak wajib dizakati, dengan uang emas atau perak atau ditukar dengan barang lain (barter) kemudian barang-barang tersebut diperdagangkan, lalu barang-barang itu mencapai haul (sudah genap setahun dalam kepemilikannya), maka ia wajib mengeluarkan zakatnya dengan cara menaksir nilai seluruh barang dagangan tersebut dengan mata uang yang berlaku di negeri yang bersangkutan, misalnya dengan dinar emas atau dengan dirham perak, lalu dikeluarkanlah sesuai dengan ukuran yang harus dizakati (2,5 % dari seluruh barang dagangannya).

Imam Syafi’i berkata: Seandainya seseorang mempunyai barang- barang (selain emas dan perak) dan ia tidak bemiat untuk memperdagangkan barang-barang tersebut, kemudian setelah beijalan 6 bulan ia menjual barang- barang tersebut dengan uang dirham perak atau dinar emas, lalu perak atau emas tersebut berada di tangannya selama 6 bulan, maka pada saat itu ia belum wajib mengeluarkan zakat, karena emas atau perak tersebut baru berada di tangannya selama 6 bulan sehinggabelum wajib dizakati. Emas atau perak tersebut sama dengan emas dan perak pada umumnya, yaitu akan wajib dikeluarkan zakatnya apabila sudah mencapai haul. Dalam hal ini emas atau perak tersebut tidak dihitung haul-nya ketika masih berupa barang-barang seperti di atas, karena barang-barang tersebut tidak diniatkan untuk perniagaan.

Imam Syafi’i berkata: Seandainya ada seseorang yang membeli barang-barang (selain emas dan perak) yang tidak diniatkan untuk perdagangan, kemudian ketika barang-barang tersebut sudah mencapai haul atau hampir mencapai haul ia bemiat untuk memperdagangkannya, maka niat tersebut tidak menyebabkannya wajib mengeluarkan zakat sebelum ia mendapatkan hasil dari penjualan barang-barang tersebut dan sudah mencapai haul, karena orang yang membeli suatu barang yang tidak diniatkan untuk perdagangan, maka ia seperti orang yang memiliki barang-barang tersebut dengan tanpa pembelian, yaitu sama-sama tidak wajib dizakati.

Imam Syafi’i berkata: Seandainya ada orang yang membeli suatu barang dengan niat untuk diperdagangkan, kemudian sebelum barang-barang tersebut mencapai haul iaberubah niat untuk memakai sendiri barang-barang tersebut dan tidak ingin memperdagangkannya lagi, maka dalam keadaan seperti ini ia tidak wajib mengeluaikan zakat.

Imam Syafi’i berkata: Seandainya ada orang yang memiliki uang perak kurang dari 200 Dirham atau uang emas kurang dari 20 mitsqal (belum sampai nisab) dan dibelikan barang-barang untuk pemiagaan, lalu hasil dari pemiagaan tersebut temyata berkembang dan bisa mencapai nisab, maka cara penghitungan haul-nya. adalah dimulai dari hari dimana ia memiliki barang-barang yang sudah sampai nisabnya, bukan dimulai dari hari dimana ia memiliki dirham atau dinar di atas.

Imam Syafi’i berkata: Segala sesuatuyang diperdagangkan (selain emas dan perak) hukum atau aturannya adalah sama, termasuk perdagangan budak. Apabila seseorang membeli bitdak-budak untuk diperdagangkan, kemudian datang hari raya Idul Fitri dan budak-budak masih berada dalam kepemilikannya, maka ia hams mengeluarkan zakat fitrah untuk budak-budak tersebut, apabila budak-budak tersebut adalah orang muslim. Apabila budak-budak tersebut adalah orang musyrik (bukan orang muslim), maka ia tidak wajib membayar zakat fitrah untuk budak- budaknya. Ia hams mengeluarkan zakat budak tersebut apabila sudah sampai haul (apabila budak-budak tersebut sudah genap setahun dalam kepemilikannya).

Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menukarkan dirham perak dengan dinar emas atau dengan barang tertentu, atau ia menukarkan dinar emas dengan dirham perak atau dengan barang tertentu, dan hal itu ia maksudkan untuk perdagangan, maka barang-barang, emas atau perak yang sudah dibeli (hasil penukaran tersebut) tidak wajib dizakati sebelum mencapai haul, dihitung dari hari dimana ia memiliki barang tersebut. Misalnya seseorang memiliki uang emas 100 Dinar selama 11 bulan, kemudian dengan uang emas tersebut ia membeli 1000 Dirham, maka uang dirham tersebut tidak wajib dizakati sebelum mencapai haul, dihitung dari hari dimana ia memiliki dirham-dirham tersebut, karena zakat suatu harta adalah dari harta itu sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *