Imam Syafi’i berkata: Buah yang dapat dijual itu ada dua macam; buah yang ada zakatnya dan buah yang tidak ada zakatnya. Adapun buah yang tidak ada zakatnya, maka penjualannya diperbolehkan. Tidak ada halangan baginya, karena semuanya itu diserahkan kepada pembelinya. Sementara buah yang dikenakan zakat padanya, maka penjualannya menjadi sah jika penjualnya mengatakan, “Saya jual kelebihan dari zakat buah kebun saya ini kepada Anda, dan zakatnya adalah sepersepuluh atau seperduapuluh.Jika buah tersebut disiram dengan cara memercikkan air, maka ia seakan akan menjual sembilan persepuluh bauhnya dan seperduapuluh buahnya.”
Imam Syafi’i berkata:Jika seseorang menjual buah kebunnya dan ia bersikap diam terhadap apa yang telah saya terangkan tentang macam-macam zakat dan berapa kadamya, maka dalam ini ada dua pendapat. Pendapat pertama, pembeli dapat memilih untuk mengambil buah yang telah melewati zakat dengan harga semuanya sembilan persepuluh semua atau sembilan persepuluh dan seperduapuluh semua atau jual-beli itu dikembalikan. Hal itu dikarenakan semua yang dibeli belum diserahkan kepadanya. Pendapat kedua,jika ia menghendaki, ia dapat mengambil kelebihan dari zakat dengan semua harga. Jika ia menghendaki pula, ia dapat meninggalkannya. Ar-Rabi‘ berkata, “
Imam Syafi’i dalam hal ini mempunyai pendapat yang ketiga, yaitu semua jual-beli itu batal dari sisi orang’itu menjual sesuatu yang dimiliki dan juga yang tidak dimiliki. Manakala akad jual-beli itu menghimpun jual-beli yang haram dan yang halal, maka secara akad tersebut menjadi batal.” Ar-Rabi‘ menceritakan kepada kami bahwasanya ia telah berkata, “
Imam Syafi’i pernah menceritakan kepada kami (sebuah hadits) dari Ibnu Juraij bahwasanya Atha’ berkata, ‘Jika Anda menjual buah Anda tanpa menyebutkan zakat dan penjualan Anda, maka artinya adalah bahwa zakat itu ditanggung pembeli.’” Ibnu Juraij berkata, “Zakat buah itu ditanggung pemilik kebun.” Atha’ berkata, “Zakat tersebut ditanggung pembeli.”
Imam Syafi’i berkata: Ada pendapat lain mengenai hal ini, yaitu apabila buah itu telah wajib untuk dizakati namun dijual oleh pemiliknya, maka zakat itu ada pada buah tersebut, sementara pembeli dapat memilih antara mengambil buah yang bukan zakat atau mengembalikan penjualan, karena penjual berarti telah menjual harta miliknya dan milik orang miskin.
Imam Syafi’i berkata: Apabila penjual menyebut zakat kepada pembeli dan keduanya telah sama-sama mengetahui, tetapi kepala kampung telah berbuat zhalim kepadanya dengan mengambil lebih banyak dari zakat, maka kepala kampung itu dapat dikategorikan sebagai perampas zakat. Pendapat tentangnya adalah seperti pendapat orang yang merampas (perampas). Maka orang yang belum mengurangi harga sesuai dengan kadar penyakit/ kerusakan padanya akan berkata, “Ini adalah orang yang telah berbuat zhalim terhadap hartanya.” Dengan demikian, penjual tersebut tidak berdosa karena berbuat aniaya kepada orang lain. Selain itu, ia telah menerima apa yang dibelinya. Barangsiapa mengurangi harga barang yang dijual sesuai dengan kadar penyakit atau kerusakan padanya, maka apa yang akan diterimanya tidak sempurna. Sama juga baginya untuk mengurangi kadar yang malampaui batas atasnya dan diberikan hak memilih, baik menolak atau menerima penjualan dengan harga yang ditetapkan, karena ia belum menyerahkan kepadanya sebagaimana yang semestinya dijual.