Imam Syafi’i berkata: Tidak ada syuf’ah pada sumur kecuali seseorang memiliki tanah kosong yang memungkinkan untuk dibagi. Jika sumur tersebut luas dan memungkinkan untuk dibagi, maka sumur itu dibagi menjadi dua dengan masing-masing ada mata airnya. Sedangkan jalan, karena ia tidak bisa dimiliki, maka tidak ada syuf’ah padanya. Sedangkan pekarangan rumah yang ada di antara suatu kaum, yang memungkinkan untuk dibagikan dan kaum tersebut sudah memiliki jalan sendiri menuju ke rumah mereka, apabila sebagian darinya dijual, maka syuf’ah dalam hal ini diperbolehkan.
Imam Syafi’i berkata: Jika seseorang menjual suatu bagian dari rumah, dengan syarat penjual dan pembeli memiliki khiyar (pilihan) dan hak syuf’ah tidak ada pada keduanya hingga barang itu diserahkan oleh penjual kepada pembeli, dan jika khiyar ada pada pembeli saja tanpa ada pada penjual, maka hak syuf’ah telah lepas dari penjual itu dengan kemauannya sendiri dan menjadikan khiyar ada pada pembeli. Dalam hal ini pembeli itu mempunyai hak syuf’ah.
Imam Syafi’i berkata: Setiap orang yang mempunyai bagian dari rumah dan rumah itu dapat diambil manfaat, lalu rumah itu menjadi milik seseorang yang dimilikinya dari pemilik sebelumnya, maka orang yang mempunyai hak atas rumah itu dapat meminta haknya dari rumah itu berupa tanah dan semua yang dihasilkan keduanya semenjak hari ditetapkan hak itu untuknya, yaitu hari para saksi memberikan persaksiannya bahwa rumah itu memang miliknya.
Imam Syafi’i berkata: Jika seseorang memiliki bagian dari suatu rumah, dan pemilik bagian yang lain meninggal dunia saat dia tidak ada, lalu para ahli warisnya menjual rumah tersebut sebelum atau sesudah pembagian, dalam hal ini ada syuf’ah (bagi orang yang tidak ada itu), dan hak syufah ini tidak lepas darinya karena pembagian itu, karena ia adalah sekutu mereka (para ahli waris sekutunya) yang tidak dapat dibagi. Al qiradh1
Imam Syafi’i berkata: Jika seseorang membayarkan suatu harta kepada orang lain sebagai qiradh, dan orang itu (pemilik harta) memasukkan budaknya bersama harta itu, ia juga mensyaratkan bahwa keuntungan dibagi di antara dirinya dan orang yang mengelola harta dan budak, maka apa yang menjadi bagian budaknya menjadi miliknya sendiri, bukan milik budak. Apa yang dimiliki oleh seorang budak hanyalah kepemilikan yang disandarkan kepadanya dan budak itu sebenamya bukan pemilik yang sah. Maka, pemilik harta itu sama saja dengan mensyaratkan bahwa 2/3 dari keuntungan adalah miliknya dan yang 1/3 adalah milik muqaridh (yang dipinjami atau yang mengolah harta).