Imam Syafi’i berkata: Allah berfirman, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (Qs. At-Taubah (9): 29)
Pada ayat tadi telah dijelaskan bahwa mereka, yang diwajibkan oleh Allah untuk diperangi sehingga memberikan jizyah, adalah orang yang telah terbukti dewasa dan mereka meninggalkan agama Allah. Mereka tetap pada apa yang mereka dapati (ikuti) dari bapak-bapaknya, dari Ahli Kitab.
Imam Syafi’i berkata: Dijelaskan oleh Rasulullah seperti makna dalam Kitabullah, bahwa Rasulullah mengambil jizyah dari orang-orang yang sudah bermimpi (tanda baligh), bukan dari yang belum dewasa dan tidak juga dari kaum wanita. Rasulullah memerintahkan untuk tidak membunuh kaum wanita ahlul harb (orang-orang yang boleh diperangi). Jizyah tidak diambil dari laki-laki yang belum baligh, perempuan dan dari orang yang terganggu akalnya, dari sisi bahwa ia tidak menganut agama. Juga tidak ada jizyah bagi budak, karena ia tidak mempunyai harta yang dapat diberikan. Tetapi orang yang terganggu akalnya beberapa hari, kemudian ia sembuh, atau ia gila kemudian waras, maka jizyah boleh diambil darinya, karena mereka termasuk orang yang diwajibkan jizyah ketika dalam keadaan sembuh.
Apabila diadakan perdamaian dengan mereka, dengan syarat bahwa anak-anak dan kaum perempuan mereka akan membayar jizyah selain yang dikenakan pada dirinya sendiri dari harta kaum lelakinya, maka hal itu adalah boleh. Apabila mereka mensyaratkan membayar jizyah dari harta kaum wanita atau anak-anak kecil mereka, maka mereka tidak boleh melakukan itu. Apabila wanita itu berkata, “Saya membayar jizyah sesudah mengetahuinya”, maka dapat diterima jizyah darinya. Apabila wanita itu tidak mau memberinya padahal ia telah mensyaratkan akan memberinya, maka jizyahnya tidak diharuskan dengan syarat itu selama dia menetap di negerinya.
Demikian juga jika wanita itu berniaga dengan hartanya, maka ia tidak harus membayar jizyah kecuali dengan kehendaknya sendiri, tetapi ia dilarang masuk ke negeri Hijaz. Jika ia mengatakan, “Saya akan masuk Hijaz untuk sesuatu yang diambil dari saya”, dan ia telah mengharuskan dirinya atas sesuatu itu, maka itu dibolehkan, karena ia tidak boleh memasuki Hijaz.