Imam Syafi’i berkata: Allah Tabarakawa Ta’ala berfirman, “Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, ‘Hai Anakku. (Qs. Huud (11): 42) Allah berfirman pula, “Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar. ” (Qs. Al An‘aam (6): 74) Maka, Ibrahim pun dikaitkan dengan ayahnya, padahal ayahnya itu seorang kafir. Begitu juga anaknya Nabi Nuh yang dikaitkan dengan ayahnya, padahal anaknya itu kafir. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda.
“Mengapa orang-orang membuat syarat-syarat yang tidak ada dalam Kitab Allah? Syarat apa saja yang tidak ada dalam Kitab Allah, maka itu batal walaupun ada seratus persyaratan, yang ditetapkan oleh Allah adalah lebih benar dan syaratnya lebih dipercaya. Sesungguhnya perwalian itu bagi orang yang memerdekakan.”
Maka, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah bahwa perwalian adalah bagi orang yang memerdekakan. Al Kitab dan Sunnah menunjukkan bahwa perwalian itu baru ada dengan adanya perbuatan lebih dahulu dan orang yang memerdekakan, sebagaimana keturunan (nasab) ada karena adanya orang yang melahirkan lebih dahulu dari bapak. Jika seseorang tidak memerdekakan orang lain, maka ia tidak boleh dikaitkan dengannya dalam perwalian; danjika berbuat demikian, maka termasuk dalam ikatan yang zhalim. Adalah zhalim jika perwalian orang yang tidak ia merdekakan dikaitkan kepada dirinya, sementara sabda Rasulullah menunjukkan bahwa perwalian adalah bagi orang yang memerdekakan.
Hal itu jelas di dalam sabdanya, .
“Sesungguhnya perwalian bagi yang memerdekakan. ” Maka, tidaklah ada perwalian selain untuk orang yang memerdekakan.