Imam Syafi’i berkata: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). ” (Qs. Al Hajj (22): 29)
Imam Syafi’i berkata: Kemungkinan yang dimaksud thawaf dalam ayat tersebut adalah thawaf Wada’, karena thawaf tersebut diperintahkan setelah perintah menghilangkan kotoran (mencukur rambut). Tapi bisa jadi yang dimaksud adalah thawaf yang dilakukan setelah meninggalkan Mina, yaitu setelah menggunting rambut dan memakai pakaian (yang bukan merupakan pakaian ihram) serta setelah memakai wewangian, dimana amalan-amalan ini disebut sebagai penghilang kotoran. Kemungkinan kedua ini lebih mendekati kebenaran, karena thawaf yang dilakukan setelah meninggalkan Mina adalah wajib bagi orang yang melakukan haji.
Imam Syafi’i berkata: Dari Ibnu Abbas, dia berkata, bahwa orang-orang menyelesaikan ibadah hajinya dengan cara masing-masing. Lalu Nabi SAW bersabda, “Janganlah kalian meninggalkan (Makkah) sebelum kalian mengakhiri ibadah haji kalian dengan cara thawaf diBaitullah. ” HR. Ibnu Majah, pembahasan tentang manasik, bab Dari Ibnu Thawus, dari bapaknya, dari IbnuAbbas, dia berkata. “Orang-orang disuruh untuk mengakhiri ibadah hajinya dengan cara thawaf di Baitullah, kecuali bagi perempuan yang sedang haid.”
Imam Syafi’i berkata: Kami juga berpendapat, bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kepada perempuan yang sedang haid untuk berangkat meninggalkan (Makkah) sebelum dia melakukan thawaf Wada’. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang tidak melakukan thawaf Wada’ hajinya tidak batal. Dalam ibadah haji terdapat amalan-amalan yang bermacam-macam. Ada beberapa hal yang apabila ditinggalkan, maka hajinya akan rusak; seperti ihram, berakal dan wukuf di Arafah. Apabila hal ini tidak ada pada diri seseorang, maka hajinya dianggap tidak sah.
Imam Syafi’i berkata: Di antara amalan-amalan haji itu ada amalan tertentu yang apabila ditinggalkan maka seseorang tidak bisa ber-tahallul dari ihramnya selama-lamanya, dan sepanjang hayatnya dia masih berkewajiban untuk melaksanakannya. Amalan tersebut yaitu thawaf di Baitullah dan sa’i antara Shafa dan Marwa, dimana orang yang sudah melaksanakan amalan ini berarti sudah ber-tahallul (sudah boleh melakukan hal-hal yang dilarang ketika ihram) kecuali bersetubuh dengan istrinya. Barangsiapa belum melaksanakan dua amalan ini, dan dia sudah kembali ke negerinya, maka saat itu dia masih belum boleh bersetubuh dengan istrinya sebelum dia kembali lagi ke Makkah untuk melaksanakan amal tersebut. Di antara amalan-amalan haji, ada amalan yang dibatasi oleh waktu; dan ketika waktunya sudah habis, maka seseorang tidak boleh melakukan amalan tersebut dan harus membayar fidyah. Amalan tersebut yaitu: bermalam di Muzdalifah, bermalam di Mina, dan melempar jumrah. “Di antara amalan-amalan haji itu, ada amalan yang apabila belum dilaksanakan, maka seseorang terkena dam. Tapi apabila dia kemudian mengamalkan amalan tersebut, dia tidak terkena dam. Amalan tersebut misalnya: Memulai ihram dari miqat dan thawaf Wada’. Wallahu a ’lam. Karena dua amalan tersebut merupakan amalan yang diperintahkan secara bersama-sama, sehingga menurut pendapat saya apabila dua amalan tersebut ditinggalkan, maka hukumnya sama, yaitu sama-sama wajib membayar fidyah. Hal ini diqiyaskan dengan amalan bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah dan bermalam di Mina, karena hal itu merupakan nusuk (amalan hajinya) yang telah ditinggalkan. Telah mengkhabarkan kepada kami dari Ibnu Abbas, bahwa dia berkata, “Barangsiapa lupa melaksanakan sesuatu dari nusuk-nya atau dia meninggalkan amal tersebut, maka dia harus membayar dam.”