Terhalang Oleh Sakit

Imam Syafi’i berkata: Allah Tabaraka wa Ta ’ala berfirman, “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kalian terhalang (terkepung oleh musuh atau karena sakit) maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat.” (Qs. A1 Baqarah (2): 196) Kemudian Rasulullah SAW menerangkan bahwa orang yang sedang berihram kemudian terhalang oleh musuh, maka dia boleh ber-tahallul. Saya melihat bahwa perintah Allah dalam ayat di atas “agar seseorang menyempurnakan haji dan umrahnya karena Allah ’’bersifat uraum, yaitu bagi siapa saja yang melaksanakan haji atau umrah, kecuali orang-orang yang dikecualikan oleh Allah (yaitu orang-orang yang mendapatkan udzur). Kemudian Rasulullah SAW menentukan dalam Sunnahnya bahwa orang yang terhalang oleh musuh boleh ber-tahallul. Menurut pendapat saya, orang yang sakit masuk ke dalam keumuman ayat tersebut.

Imam Syafi’i berkata: Dalam hal ini Ibnu Abbas berpendapat bahwa tidak ada halangan kecuali halangan yang datang dari musuh. Maksudnya adalah, bahwa orang yang berihram tidak boleh ber-tahallul apabila terhalang kecuali terhalang oleh musuh. Dari Salim bin Abdullah bin Umar, dari bapaknya (Ibnu Umar), dia berkata, “Barangsiapa terhalang untuk memasuki Baitullah (Makkah) dengan datangnya sakit, makadia tidak boleh ber-tahallul sebelum thawaf diBaitullah dan sa’i antara Shafa dan Marwa.”

Imam Syafi’i berkata: Dari Sulaiman binYasar, dia meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar dan Marwan bin Hakam serta Ibnu Jubair memberikan fatwa kepada Ibnu Harabah Al Mahjumi ketika jatuh pingsan di suatu jalan menuju ke Makkah, dan pada waktu ia dalam keadaan Tirmidzi, pembahasan tentang puasa, bab “Makruhnya Seorang Perempuan Berpuasa Tanpa Izin Suaminya”, ihram. Mereka memberi fatwa agar diberi obat dengan obat-obatan yang ada, kemudian membayar fidyah. Ketika sembuh, maka ia disuruh melaksanakan umrah kemudian ber-tahallul dari ihramnya, dan harus mengulang hajinya ditahun berikutnya serta harus menyembelih kurban.

Imam Syafi’i berkata: Dalam hal ini semua sakit adalah sama, baik yang menyebabkan hilangnya akal atau tidak. Jika sakit tersebut mengharuskan untuk minum obat tertentu, maka ia boleh diberi obat itu. Jika sakitnya menyebabkan hilang akal, maka dia harus membayar fidyah. Jika ada yang bertanya, ‘‘Bagaimana Anda menyuruh seseorang yang hilang akal untuk membayar fidyah, padahal kalam terangkat darinya (dia tidak dibebani beban kewajiban apapun)?” Kami jawab: InsyaAllah yang mengobatinya adalah orang yang berakal dan fidyah tersebutwajib, karena yang melakukan pengobatan tersebut adalah orang yang berakal. Biaya fidyah tersebut dibebankan kepada orang yang mengobati apabila yang mengobati bersedia melakukannya.Yang demikian itu karena pengobatan ini mempakan jinayah (tebusan hukuman) dari orang yang mengobati kepada orang yang diobati. Jika ada yang berkata, “Apabila orang yang sedang ihram hilang akalnya, kenapa Anda tidak berpendapat bahwa ia telah keluar dari ihramnya sebagaimana orang yang hilang akalnya dianggap telah keluar dari shalat?” Kami jawab: Insya Allah, inilah perbedaan antara shalat dengan haji. . Jika dia bertanya, “Di mana letak perbedaannya?” Kami jawab: Orang yang shalat harus suci dan juga harus berakal selama melakukan shalat tersebut. Sedangkan orang yang melaksanakan haji, dia boleh dalam keadaan junub, bahkan seluruh amalan haji boleh dilakukan oleh orang yang sedang haid kecuali thawaf di Baitullah. Jika dia bertanya lagi, “Kalau begitu, berapa lama sekurang-kurangnya seseorang melaksanakan haji dalam keadaan tidak hilang akal?” Kami jawab: Sekurang-kurangnya dalam 3 keadaan; yaitu dia harus berakal ketika memulai ihramnya, harus berakal ketika memasuki Arafah padawaktu yang telah ditentukan, dan harus berakal ketika thawaf di Baitullah berikut sa’i antara Shafa dan Marwa. Apabila 3 keadaan ini dilakukan dalam keadaan berakal, sementara perbuatan lain dilakukan dalam keadaan hilang akal atau diwakilkan oleh orang lain, maka dalam keadaan seperti ini hajinya sah, insya Allah.

Imam Syafl’i berkata: Orang Makkah yang melakukan ihram haji dari Makkah atau di luar Makkah yang memasuki Makkah dalam keadaan ihram, kemudian ber-tahallul lalu tinggal di Makkah menunggu datangnya hari haji, kemudian mereka sakit dan tertinggal dari haji, maka mereka harus thawaf di Baitullah dan sa’i antara Shafa dan Marwa, kemudian mencukur rambutnya atau memendekkannya. Jika mereka hendak melakukan haji (tidak ketinggalan), maka mereka harus keluar terlebih dahulu dari Tanah Haram ke Tanah Halal, karena mereka sama sekali tidak dalam keadaan umrah. Mereka telah keluar dari amalan haji walaupun dengan cara yang paling ringan, dimana ia tidak wukufdi Arafah, tidak bermalam di Mina dan tidak bermalam di Muzdalifah, tapi ia hanya thawaf dan sa’i serta menggunting rambut. Jika ada yang bertanya, “Bagaimana dengan atsar yang diriwayatkan dari Umar dalam masalah ini?” Saya jawab: Insya Allah riwayat tersebut sesuai dengan apa yang telah saya katakan, dimana ia berkata kepada penanya, “Perbuatlah olehmu seperti apa yang diperbuat orang yang umrah!” Dia tidak mengatakan, “Sesungguhnya engkau‘telah melakukan umrah”. Dia juga mengatakan kepada penanya tersebut, “Berhajilah lagi tahun depan dan sembelihlah kurban”. Seandainya ihramnya berubah menjadi ihram umrah, tentu ia tidak wajib melaksanakan haji dan ia telah menyelesaikan ihramnya. Perintah Umar kepada orang itu agar berhaji lagi di tahun depan adalah merupakan dalil (bukti) bahwa ihramnya itu merupakan ihram haji dan tidak berubah menjadi ihram umrah. Sebab seandainya ihram tersebut berubah menjadi ihram umrah, tentu dia tidak menyuruh agar orang tersebut tidak berhaji lagi ditahun depan sebagai qadha, karena tidak mungkin ia disurah mengqadha sesuatu yang’telah diubah. Akan tetapi ia menyuruh orang tersebut untuk mengqadha karena ketinggalan haji tersebut. Barangsiapa berihram haji kemudian terhalang oleh sakit, oleh akal, kesibukan, keterlambatan atau salah hitung, kemudian dia sembuh dari sakitnya dalam keadaan mampu mendatangi Baitul Haram, maka ia tidak boleh ber-tahallul dari ihramnya sebelum sampai di Baitul Haram. Jika ia berhasil menunaikan haji pada tahun itu, maka ia tidak boleh bertahallul sebelum memasuki hari nahar (10 Dzulhijjah). Tapi jika pada tahun itu dia tertinggal dan tidak bisa menunaikan ibadah haji, maka ia boleh ber-tahallul ketika sudah melakukan thawaf di Ka’bah serta sa’i antara Shafa dan Marwa dan menggunting rambut atau memendekkannya. Apabila seseorang berihram untuk haji, kemudian berhasil melaksanakan haji, maka tidak ada kewajiban baginya membayar denda apapun. Apabila dia berihram untuk haji tapi ia tertinggal dan tidak berhasil melaksanakan haji tersebut, maka ia boleh melaksanakan umrah dan harus berhaji lagi ditahun-tahun berikutnya, dan ia harus menyembelih hewan kurban yang mudah didapati. Apabila seseorang bemiat melaksanakan haji Qiran, kemudian ia berhasil menyelesaikan haji tersebut, maka ia telah berhasil melaksanakan haji dan umrah. Jika ia tertinggal dan tidak berhasil menyelesaikan hajinya, maka ia harus mengakhiri ihram hajinya dengan thawaf dan sa’i serta menggunting rambut atau memendekkannya. Ia hanya wajib mengulang ihram haji berikut ihram umrahnya, tidak lebih dari itu. Sebagaimana apabila ia ketinggalan shalat, puasa atau umrah, maka ia harus mengqadha ibadah-ibadah tersebut dan tidak lebih dari itu. Barangsiapa ketinggalan haji (dia datang setelah berlalunya wukuf di Arafah) kemudian tidak bermalam di Mina dan tidak melaksanakan amalan-amalan haji sedikit pun, maka ia telah keluar dari ibadah haji, baik haji Ifrad atau Qiran. Ia hanya mengerjakan ibadah umrah, dan harus mengulang haji tersebut di tahun berikutnya. Apabila seseorang mengundurkan pelaksanaan hajinya padahal saat itu ia sudah berkewajiban untuk menunaikan haji rukun Islam, kemudian ia melaksanakan haji tersebut beberapa tahun kemudian, maka ketika ia melaksanakan haji tersebut, berarti telah gugur kewajiban haji darinya (dia tidak dikenai kifarat). Penduduk Makkah yang berihram haji dari Makkah atau dari Tanah Halal yang merupakan miqat atau yang bukan, kemudian ia sakit atau hilang akalnya atau tertinggal melaksanakan haji dengan sebab-sebab tertentu, maka keadaannya adalah sama seperti orang yang bukan penduduk Makkah, tidak berbeda sama sekali, yaitu ia harus ber-tahallul dengan cara thawaf dan sa’i serta mencukur atau memendekkan rambutnya. Dia harus mengulang hajinya yang batal itu dan harus menyembelih hewan kurban yang mudah didapat seperti kambing.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *