Imam Syafi’i berkata: Allah Azza wa Jalla berfirman, “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum kurban sampai ditempat penyembelihannya. ” (Qs. Al Baqarah 624 — [2]: 196)
Imam Syafi’i berkata: Menurut zhahir ayat di atas, Allah menyuruh mereka untuk tidak mencukur rambut sebelum hewan-hewan kurban sampai di tempatnya. Allah juga memerintahkan kepada orang yang kepalanya sakit agar membayar fidyah yang sudah Allah tentukan. Allah berfirman, ‘‘Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagisiapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. ” (Qs. Al Baqarah (2): 196). Untuk pelanggaran-pelanggaran selain itu, dendanya adalah sama. Wallahu a ’lam. Seseorang yang terhalang oleh musuh tidak wajib mengqadha hajinya, karena Allah Ta ’ala tidak menyebutkan tentang kewajiban qadha ini setelah Allah memerintahkan kewajiban haji. Ketika terjadi peristiwa Hudaibiyah (peristiwa terhalangnya Rasulullah SAW bersama kaum muslimin oleh musuh, sehingga tidak bisa memasuki Makkah), Rasulullah SAW ada bersama beberapa sahabat yang nama-nama mereka tertulis dalam sejarah. Kemudian di tahun berikutnya, Rasulullah SAW melaksanakan umrah untuk mengqadha umrah yang gagal tersebut. Akan tetapi sebagian mereka tidak ikut bersama Nabi SAW untuk mengqadha umrahnya, padahal mereka tidak dalam keadaan darurat, baik dalam masalah badan atau masalah harta. Inilah yang saya ketahui. Seandainya mereka wajib mengqadha, tentu Rasulullah SAW akan menyuruh mereka. Sedangkan Hudaibiyah adalah suatu tempat yang sebagaiannya berada di Tanah Haram dan sebagiannya lagi berada di Tanah Halal. Menurut kami, penyembelihan hewan kurban itu dilakukan di Tanah Halal. Di Hudaibiyah juga terdapat masjid Rasulullah SAW yang dulunya merupakan tempat para sahabat berbai’at di bawah sebuah pohon. Dalam hal ini Allah menurunkan firmannya, “Sungguh Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon. ” (Qs. Al Fath (48): 18) Demikianlah pendapat kami, yaitu barangsiapa terhalang oleh musuh, baik ia terhalang di Tanah Halal atau di Tanah Haram, maka hendaklah ia menyembelih binatang kurban sekurang-kurangnya seekor kambing. Apabila mereka berjumlah 7 orang, maka boleh bagi mereka berserikat untuk menyembelih seekor unta atau seekor sapi, dengan cara patungan atau salah seorang di antara mereka yang membayar harganya kemudian memberikan bagian masing-masing kepada 6 orang sebelum binatang ternak tersebut disembelih. Tapi jika dia sudah menyembelih hewan tersebut, kemudian setelah itu dia memberikan bagiannya kepada yang 6 orang, maka sembelihan ini hanya sah bagi dirinya dan tidak sah bagi 6 orang lainnya. Jadi, tidak ada qadha bagi orang yang terhalang oleh musuh, apabila dia keluar dari ihramnya dalam posisi halangan tersebut ada di depannya. Jika dia keluar dari ihramnya karena musuh menghalangi di depannya, kemudian setelah itu musuh pergi sebelum ia meninggalkan tempat tersebut, dan ada harapan bagi mereka untuk sampai ke Baitullah dengan izin musuh atau karena musuh telah pergi dari Baitullah, maka dalam hal ini saya berpendapat bahwa lebih baik bagi mereka untuk tidak segera ber-tahallul. Tapi apabila mereka segera ber-tahallul dan tidak menunggu perginya musuh, maka hal itu diperbolehkan, insya Allah. Apabila orang yang terhalang tersebut menunda tahallul-nya karena suatu sebab, kemudian dia memerlukan sesuatu yang menyebabkan fidyah (seperti menutup kepala, mencukur rambut, dan lain-lain) karena sesuatu sebab, dan saat itu dia masih dalam keadaan ihram, maka dalam halini dia terkena fidyah. Yang demikian itu telah terjadi pada diri Ka’ab bin Ujrah ketika dia terhalang. Jika ada yang bertanya, “Apa maksud firman Allah ketika peristiwa Hudaibiyah, ‘Sampai binatang kurban itu tiba ditempatnya ’. ” Jawabnya adalah: Menurut Sunnah, tempat sampainya binatang kurban itu adalah waktu dimana binatang kurban tersebut disembelih (pada tanggal 10 Dzulhijjah). Adapun Rasulullah SAW menyembelih hewan kurbannya di Tanah Halal. Wallahu a lam. Jika ada yang bertanya, “Bagaimana dengan firman Allah tentang penyembelihan unta, ‘Kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atik (Baitullah) ’. ” (Qs. Al Hajj (22): 33) Maka jawabnya adalah:
Apabila seseorang mampu untuk menyembelih hewan kurbannya di Baitul Atik, maka itulah tempatnya. Sebagian orang berbeda pendapat dengan kami dalam masalah ini. Mereka berkata, “Orang yang terhalang oleh musuh atau orang yang sakit, hukumnya adalah sama yaitu wajib mengqadha hajinya, dan mereka boleh keluar dari ihramnya. Mereka mengatakan bahwa irnirah Nabi SAW yang dilakukan setelah beliau terhalang oleh musuh adalah umrah untuk mengqadha umrah sebelumnya yang gagal karena terhalang oleh musuh,maka umrah ini disebut dengan umrah qadha atau umrah qishash’
Imam Syafi’i berkata: Barangsiapa terhalang di suatu tempat, dia boleh meninggalkan tempat tersebut kemudian ber-tahallul. Ketika keadaanberubah menjadi aman, maka ia boleh meneruskan niatnya untuk keluar dari ihram, baik ia berada di tempat yang dekat atau jauh dari tempatia berada. Akan tetapi menurut pendapat saya; orang yang sudah keluar dari ihram, maka ia adalah orang yang bebas dan boleh pulang ke negerinya seperti orang yang tidak berihram sama sekali. Akan tetapi menurut pendapat saya, lebih baik baginya kembali ke tempat dimana ia terhalang, hal ini untuk mengakhiri ihramnya di sana, baik ia berada di tempat yang dekat atau jauh dari tempat tersebut. Hal di atas adalah bagi orang yang berada ditempat yang dekat dengan tempat ia berada. Adapun bagi orang yang berada ditempat yang jauh, maka dia akan mendapatkan pahala yang lebih besar apabila dia kembali ke tempat semula untuk mengakhiri ihramnya Seseorang yang terhalang kemudian boleh ber-tahallul dengan cara menyembelih dan menggunting rambut, kemudian dia menyembelih tapi belum menggunting rambut dan setelah itu musuh pergi (halangan sudah tidak ada) sedangkan dia belum menggunting rambut, maka dalam hal ini dia tidak boleh menggunting rambut untuk ber-tahallul, tapi dia harus menyempurnakan hajinya karena dia sudah tidak terhalang lagi. Insya Allah dia mendapatkan pahala dari sembelihan tersebut. Hal ini bagi orang yang berpendapat bahwa tahallul itu harus dengan menggunting rambut. Tapi bagi orang yang berpendapat bahwa tahallul itu cukup dengan menyembelih dan tidak perlu dengan mencukur rambut, maka dalam kasus tersebut ia sudah sempurna tahallul-nya dan tidak perlu menyempurnakan ihramnya. Barangsiapa terhalang dan ia membawa hewan kurban yang diniatkan untuk kurban sunah atau kurban wajib, maka ia harus menyembelih hewan kurban tersebut di tempat ia terhalang. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW yang menyembelih hewan kurbannya di Hudaibiyah, dimana sebelum terhalangbeliau telah menjadikan kurban tersebut sebagai kurban wajib. Seseorang yang harus ber-tahallul di Baitullah tapi kemudian terhalang, maka ia boleh bertahallul ditempat mana saja ia terhalang. Demikianpula hewan kurban boleh disembelih di tempat mana saja ia terhalang, termasuk hewan kurban yang harus disembelih sebagai dam (denda) atas halangan tersebut. Imam Syafi’i berkata: Jika seseorang wajib menyembelih hewan kurban, kemudian hewan kurban tersebuttidak ada pada dirinya, maka ia boleh mendapatkannya dengan cara membeli kemudian menyembelihnya. Begitu juga apabila ia wajib menyembelih hewan kurban sebelum itu, maka penyembelihan tadi bisa dianggap sebagai ganti. Apabila seseorang terhalang tapiia tidak mempunyai hewan kurban sebagai dam, maka ia boleh membeli hewan kurban kemudian disembelih lalu ia ber-tahallul. Begitu juga hewan yang ia peroleh dengan cara membeli, hibah atau dengan cara kepemilikan, semua itu boleh ia pakai sebagai hewan kurban. Apabila ia sanggup membeli hewan kurban, tapi hewan kurban tersebut tidak ada, atau karena sebab tidak sanggup membeli hewan kurban padahal dia terhalang, maka dalam hal ini ada dua pendapat: Pertama, ia tidak boleh ber-tahallul kecuali dengan cara menyembelih hewan kurban. Kedua, ia harus berusaha sekuat tenaga untuk mencari hewan kurban tersebut. Apabila ia tidak berhasil menemukannya, maka ia telah keluar dari kewajibannya, namun ia masih wajib menyembelih hewan kurban tersebut apabila berhasil mendapatkannya. Orang yang berpegang pada pendapat ini juga mengatakan bahwa orang tersebut boleh bertahallul di tempat itu, kemudian menyembelih hewan kurban setelah mendapatkannya. Apabila ia berhasil mendapatkannya di Makkah, maka ia juga harus menyembelihnya di Makkah. Jika tidak, maka ia boleh menyembelihnya di tempat manapun ia sanggup.
Imam Syafi’i berkata: Ada yang berpendapat bahwa orang yang terhalang harus menyembelih hewan kurban. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa apabila tidak sanggup, maka boleh diganti dengan makanan atau berpuasa. Jika ia tidak sanggup mendapatkan makanan, maka ia seperti orang yang tidak sanggup mendapatkan hewan kurban. Jika demikian, maka iaharus berpuasa. Iaberarti seperti orang yang tidak sanggup mendapatkan hewan kurban dantidak sanggup mendapatkan makanan. Jadi, seseorang boleh melakukan kifaratnya dengan denda apa saja yang dia sanggupi. Apabila yang terhalang adalah seorang budak yang telah diizinkan oleh tuannya untuk menunaikan haji dan budak tersebut tidak mempunyai harta sedikitpun, maka ia harus membayar denda dengan cara berpuasa. Adapun perhitungan puasa adalah sebagai berikut: Kambing kurban yang harus disembelih oleh orang yang terhalang diukur harganya dengan dirham emas, kemudian dirham emas tersebut diukur harganya dengan makanan, kemudian makanan tersebut dihitung berapa mud, kemudian budak tersebut harus berpuasa satu hari untuk satu mud makanan. Mengenai hal di atas ada dua pendapat: Pertama, budak tersebut boleh ber-tahallul sebelum dia berpuasa. Kedua, budak tersebut belum boleh ber-tahallul sebelum berpuasa. Apabila seorang laki-laki, seorang perempuan atau serombongan kaum muslimin terhalang oleh musuh yaitu kaum musyrikin, sebagaimana Rasulullah SAW dan para sahabat terhalang oleh kaum musyrikin pada peristiwa hudaibiyah, dan kaum muslimin tersebut mempunyai kekuatan untuk memerangi kaum musyrikin tersebut, atau kaum muslimin tidak mempunyai kekuatan, maka mereka boleh meninggalkan tempat tersebut, karena seseorang boleh meninggalkan peperangan bukan lari dari peperangan. Tapi mereka juga boleh memulai peperangan dengan kaum musyrikin itu. Jika mayoritas mereka menghendaki mundur, maka menurutku itu baik. Tapi jika mayoritas mereka menghendaki berperang, maka menurutku itu juga baik, lalu mereka membayar fidyah dan mempersiapkan senjata. Tapi jika yang menghalangi mereka bukan orang-orang musyrik, makamenurutku lebih baik mereka mundur dengan segala keadaan setelah mereka ber-tahallul karena halangan tersebut. Jika ada yang bertanya, “Kenapa Anda berpendapat bahwa terhalang oleh kaum muslimin (bukan kaum musyrikin) merupakan alasan dibolehkanny aber-tahallul, padahal Rasulullah SAW ber-tahallul karena terhalang oleh orang-orang musyrik?” Maka kami jawab: Allah membolehkan seseorang ber-tahallul karena terhalang, dan insya Allah hal ini berlaku secara mutlak, tidak dikhususkan hanya terhalang oleh orang-orang kafir. Telah mengkhabarkan kepada kami Malik dari Nafi’, dari Ibnu Umar, bahwasanya Ibnu Umar berangkat ke Makkah untuk melaksanakan umrah pada saat terjadinya fitnah (peperangan antara kaum muslimin). Lalu Ibnu Umar berkata, ‘Jika aku terhalang untuk memasuki Baitullah, maka kami akan melakukan seperti apayang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW’.”
Imam Syafi’i berkata: Maksud Ibnu Umar di atas adalah, “Kami akan ber-tahallul sebagaimana kami ber-tahallul bersama Rasulullah SAW pada peristiwa Hudaibiyyah.” Perkataan Ibnu Umar ini adalah seperti apa yang telah aku jelaskan, karena pada waktu itu di Makkah terdapat Ibnu Jubair dan para penduduk Syam (yang berperang melawan pemerintahan Bani Umayah di Madinah—peneij.). Ibnu Umar mengatakan hal tersebut sebagai rasa khawatir apabila mereka (Ibnu Jubair dan tentaranya) menghalanginya untuk masuk Makkah. Apabila sekelompok orang terhalang oleh musuh untuk memasuki Makkah, tapi mereka mendapatkan jalan lain yang aman dari musuh, maka menurut pendapat saya mereka wajib menempuh jalan lain itu apabila jalan tersebut betul-betul aman; dan tidak ada rukhsah (keringanan) bagi mereka untuk ber-tahallul ditempat itu, karena mereka telah mendapatkan jalan yang aman serta mampu untuk menuju Baitullah. Jikajalan tersebut berupa jalan laut, maka mereka tidak wajib mengarungi jalan itu (dengan memakai perahu), karena hal itu akan membahayakan mereka. Tapi apabila mereka tetap menempuh jalan laut, maka menurut pendapatku hal itu lebih baik bagi mereka. Apabila jalan aman yang mereka temukan adalah jalan darat, tapi mereka tidak sanggup dan tidak mampu menempuh jalan itu karena kelemahan fisik atau kurangnya perbekalan yang mereka bawa, maka pada saat itu mereka boleh ber-tahallul. Apabila mereka menemukan jalan darat yang aman tapi jalan tersebut cukup jauh, dan mereka sanggup menempuh perjalanan itu karena fisiknya kuat dan perbekalan cukup, tapi mereka sudah tertinggal dan terlambat untuk melaksanakan haji (sudah melewati haji), maka dalam hal ini mereka boleh ber-tahallul sebelum thawaf di Ka’bah serta sa’i antara Shafa dan Marwa, karena awal tahallul bagi orang yang haji adalah thawaf. Lalu apakah mereka wajib mengulang hajinya? Dalam hal ini ad dua pendapat: Pertama, mereka tidak wajib mengulang hajinya karena terhalang oleh musuh, dan mereka telah melakukan sesuatu yang diwajibkan kepada mereka semampu mereka, di antaranya yaitu thawaf. Mereka hanya wajib membayar dam berupa menyembelih hewan karena telah tertinggal hajinya, dan pendapat ini benar menurut kaidah qiyas. Kedua, mereka wajib mengulang hajinya, mereka juga wajib menyembelih hewan kurban. Mereka seperti orang yang tertinggal dari haji yang tidak disebabkan oleh musuh, kemudian mereka berhasil mencapai Makkah, tapi mereka terhalang untuk memasuki Arafah, maka mereka harus ber-tahallul dengan thawaf, sa’i, bercukur dan menyembelih kurban. Apabila mereka terhalang setelah wukuf di Arafah, kemudian tidak bisa bermalam di Muzdalifah dan Mina serta tidak bisa thawafdi Ka’bah, maka mereka harus menyembelih dan mencukur atau memendekkan rambutnya, kemudian ber-tahallul. Jika seseorang telah keluar dari ihram secara keseluruhan, maka ia berarti juga sudah keluar dari bagian bagiannya. Jika haji tersebut merupakan haji wajib, maka ia boleh bertahallul di situ kecuali perempuan yang meng-qadha haji wajibnya. Apabila haji tersebut bukan merupakan haji wajib, maka tidak perlu diqadha dengan sebab terhalang oleh musuh. Apabila seseorang menunda tahallul-nya sampai sanggup memasuki Ka’bah lalu thawaf dan membayar dam untuk meninggalkan Muzdalifah, membayar dam karena tidak melempar jumrah, serta membayar dam karena tidak bermalam di Mina, maka hal itu cukup dan sah sebagai haji-wajib apabila telah melaksanakan thawaf di Ka’bah. Karena orang boleh melakukan semua itu setelah ia terhalang kemudian membayar dam, maka hal itu sudah dianggap sah sebagai pelaksanaan haji rukun Islam. Demikian juga apabila seseorang membunuh binatang buruan, cukup baginya membayar fidyah (hajinya tidak batal). Sesungguhnya yang membatalkan haji (yang tidak bisa dibayar dengan denda) hanyalah bersetubuh dengan istrinya. Seseorang yang sedang berihram haji kemudian menyetubuhi istrinya sebelum ber-tahallul, maka hajinya batal dan ia wajib menyembelih seekor unta serta wajib mengulang hajinya yang telah batal itu. Tapi apabila mereka melakukan sesuatu yang terkena denda (bukan bersetubuh), maka hajinya tetap sah, namun ia harus membayar fidyah apabila belum bertahallul. Apabila sudah ber-tahallul, maka ia seperti orang yang tidak berihram dan bebas melakukan apa saja.