Tentang Kaidah “Kita bantu-membantu dalam Masalah yang Kita Sepakati, dan Bersikap Toleransi dalam Masalah yang Kita Perselisihan”

Pertanyaan:

Saya sering membaca buku-buku Ustadz dan mendengar ceramah-ceramah Ustadz yang menyeru kepada kaidah  yang berbunyi: “Kita  bantu-membantu (bertolong-tolongan) dalam masalah yang kita sepakati, dan bersikap  toleran dalam masalah yang kita perselisihkan.”

Siapakah yang mencetuskan ungkapan seperti itu? Apakah ia mempunyai dalil syara’? Bagaimana kita harus bantu-membantu dengan ahli-ahli bid’ah dan para penyeleweng? Dan bagaimana kita harus toleran dengan orang yang menyelisihi kita dan bahkan menyelisihi nash Al-Qur’an dan As-Sunnah?

Bukankah kita dituntut untuk mengingkari dan menjauhinya, dan sebaliknya tidak bersikap toleran kepadanya? Bukankah Antara lain Qur’an mengatakan (yang artinya): “… jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul” (an-Nisa’: 59)? Mengapa  kita  tidak mengembalikannya saja kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan bukan malah menolerirnya? Adakah toleransi bagi si penentang nash?

Terus terang, masalah ini masih samar bagi kami. Karena itu kami membutuhkan penjelasan Ustadz, terutama dalil-dalilnya. Kami  yakin  Ustadz  mempunyai keahlian mengenai masalah ini sesuai dengan apa yang diberikan Allah kepada Ustadz. Semoga Allah memberi Ustadz pahala.

Jawaban:

Yang membuat kaidah atau ungkapan. Kita bantu-membantu (tolong menolong) mengenai apa yang kita sepakati   dan bersikap toleran dalam masalah yang kita perselisihkan adalah al-Allamah Sayyid Rasyid Ridha rahimahullah, pemimpin madrasah Salafiyyah al-Haditsah, pemimpin majalah al-Manar al-Islamiyyah yang terkenal itu,   pengarang tafsir, fatwa-fatwa, risalah-risalah, dan kitab-kitab yang mempunyai pengaruh besar terhadap dunia  Islam. Sebelum ini, beliau telah mencetuskan kaidah al-Manar  adz-Dzahabiyyah  yang maksudnya ialah “tolong-menolong sesama ahli kiblat” secara keseluruhan dalam menghadapi musuh-musuh Islam.

Beliau mencetuskan kaidah tersebut tidak sembarang, tetapi berdasarkan petunjuk Al-Qur’an, As-Sunnah,  bimbingan salaf salih, karena kondisi dan situasi, dan karena kebutuhan umat Islam untuk saling mendukung dan membantu dalam  menghadapi musuh mereka  yang banyak. Meskipun diantara mereka terjadi perselisihan dalam banyak hal, tetapi mereka bersatu  dalam menghadapi  musuh. Inilah yang diperingatkan dengan keras oleh Al-Qur’an, yaitu: orang-orang kafir tolong-menolong antara sesama mereka, sementara orang-orang Islam tidak mau saling menolong antara sesamanya. Allah berfirman:

“Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagõ sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.”(al Anfal 73)

Makna illaa taf’aluuhu (jika  kamu  tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu) ialah: jika kamu tidak saling melindungi dan saling membantu antara sebagian dengan sebagian lain sebagaimana yang dilakukan orang-orang kafir. Jika itu tidak dilakukan, niscaya akan terjadi kekacauan dan kerusakan  yang besar di muka bumi. Sebab, orang-orang kafir itu mempunyai sikap saling membantu, saling mendukung, dan saling  melindungi  yang sangat kuat diantara sesama mereka, terutama dalam menghadapi kaum muslimin yang  berpecah-pecah dan saling merendahkan sesamanya.

Karena itu, tidak ada cara lain bagi orang yang hendak memperbaiki Islam kecuali menyeru umat Islam untuk  bersatu padu  dan tolong-menolong dalam menghadapi kekuatan-kekuatan musuh Islam.

Apakah cendekiawan muslim yang melihat kerja sama dan persekongkolan Yahudi internasional, misionaris Barat, komunis dunia, dan keberhalaan Timur di luar dunia  Islam, dapat merajut kelompok-kelompok dalam dunia Islam  yang menyempal dari umat Islam?  Mampukah  mereka menyeru ahli kiblat untuk bersatu dalam satu barisan guna menghadapi kekuatan musuh yang memiliki senjata, kekayaan, strategi, dan program untuk menghancurkan umat  Islam, baik secara material maupun spiritual?

Begitulah, para muslih menyambut baik kaidah ini dan antusias untuk melaksanakannya. Yang paling mencolok untuk merealisasikan hal itu ialah al-Imam asy-Syahid Hasan al-Bana, sehingga banyak orang al-Ikhwan yang mengira bahwa beliaulah yang menelorkan kaidah ini.

Adapun masalah bagaimana kita akan tolong-menolong dengan ahli-ahli bid’ah dan para penyeleweng, maka sudah dikenal bahwa bid’ah itu bermacam-macam dan bertingkat-tingkat.  Ada bid’ah yang berat dan ada yang ringan, ada bid’ah yang menjadikan pelakunya kafir dan ada pula bid’ah yang tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari  agama Islam, meskipun kita menghukuminya bid’ah dan menyimpang.

Tidak ada larangan bagi kita untuk bantu-membantu dan bekerja sama dengan sebagian ahli bid’ah dalam hal-hal yang kita sepakati dari pokok-pokok agama dan kepentingan dunia, dalam menghadapi orang yang lebih berat bid’ahnya atau lebih jauh kesesatan dan penyimpangannya, sesuai dengan kaidah:”Irtikaabu akhaffidh dhararain” (memilih/melaksanakan yang lebih ringan mudaratnya).

Bukan hanya bid’ah, kafir pun bertingkat-tingkat, sehingga ada kekafiran dibawah kekafiran, sebagaimana pendapat yang diriwayatkan dari para sahabat dan tabi’in.  Dalam  hal  ini tidak ada larangan untuk bekerja sama dengan ahli kafir yang lebih kecil kekafirannya demi menolak bahaya kekafiran  yang lebih  besar. Bahkan  kadang-kadang kita perlu bekerja sama dengan sebagian orang kafir dan musyrik – meskipun kekafiran dan kemusyrikannya sudah nyata – demi menolak kekafiran yang lebih besar atau kekafirannya sangat membahayakan umat Islam.

Dalam permulaan surat ar-Rum dan sababun-nuzul-nya diindikasikan bahwa Al-Qur’an menganggap kaum  Nashara – meskipun mereka juga kafir menurut pandangannya (Al-Qur’an) lebih dekat kepada kaum muslim  daripada kaum Majusi penyembah api. Karena itu, kaum muslim merasa sedih ketika melihat kemenangan bangsa Persia yang majusi terhadap bangsa Rum Byzantium yang Nashara.  Adapun kaum musyrik bersikap sebaliknya, karena mereka melihat kaum majusi  lebih  dekat kepada aqidah mereka yang menyembah berhala.

Ketika itu turunlah Al-Qur’an yang memberikan kabar gembira kepada kaum muslim bahwa kondisi ini akan  berubah, dan kemenangan akan diraih bangsa Rum dalam beberapa tahun mendatang:

“…  Dan pada hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah …” (ar-Rum: 4-5)

Secara lebih lengkap Al-Qur’an mengatakan:

“Alif laam miim. Telah dikalahkan bangsa  Rumawi  di  negeri yang terdekat Dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah  (mereka  menang).  Dan pada hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang  yang  benman,  karena pertolongan  Allah. Dia menolong siapa yangdikehe ndaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (ar-Rum: 1-5)

Nabi saw pernah meminta bantuan kepada sebagian kaum musyrik Quraisy setelah Fathu Makkah, dalam  menghadapi musyrikin Hawazin, meskipun derajat kemusyrikan mereka sama. Hal itu beliau lakukan karena menurut pandangan beliau bahwa kaum musyrik Quraisy mempunyai hubungan nasab yang khusus dengan beliau. Disamping itu, suku Quraisy termasuk suku yang mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat,sehingga Shafwan bin Umayyah sebelum masuk Islam pernah mengatakan, “Sungguh saya lebih baik dihormati oleh seorang Quraisy daripada dihormati oleh seorang Hawazin.”

Bagi Ahlus Sunnah meski bagaimanapun mereka membid’ahkan golongan Muktazilah tidak ada alasan untuk  tidak memanfaatkan ilmu dan produk pemikiran golongan Muktazilah dalam beberapa hal yang mereka sepakati, sebagaimana tidak terhalangnya mereka untuk menolak pendapat Muktazilah yang mereka pandang bertentangan dengan kebenaran dan menyimpang dari Sunnah.

Contoh yang paling jelas ialah kitab Tafsir al-Kasysyaf karya al-Allamah az-Zamakhsyari, seorang Muktazilah yang terkenal. Dapat dikatakan hampir tidak ada seorang alim pun (dari kalangan Ahlus  Sunnah) yang menaruh  perhatian terhadap Al-Qur’an dan tafsirnya – yang tidak menggunakan rujukan Tafsir al-Kasysyaf ini, sebagaimana tampak dalam tafsir ar-Razi,  an-Nasafi, an-Nisaburi, al-Baidhawi,  Abi Su’ud, al-Alusi, dan lainnya.

Begitu pentingnya Tafsir al-Kasysyaf ini (bagi Ahlus-Sunnah) sehingga kita dapati orang-orang seperti al-Hafizh  Ibnu Hajar  mentakhrij  hadits-haditsnya  dalam kitab beliau yang berjudul Al-Kaafil asy-Syaaf fi Takhriji Ahaadiits al-Kasysyaaf.  Kita  jumpai pula al-Allamah Ibnul Munir yang menyusun kitab untuk mengomentari al-Kasysyaf ini, khususnya mengenai  masalah-masalah  yang diperselisihkan dengan judul al-Intishaaf min al-Kasysyaaf.

Imam Abu Hamid al-Ghazali, ketika menyerang ahli-ahli filsafat yang perkataan-perkataannya menjadi fitnah bagi banyak orang, pernah meminta bantuan kepada semua firqah Islam yang tidak sampai derajat kafir. Karena itu, beliau tidak menganggap sebagai halangan untuk menggunakan produk dan pola pikir Muktazilah dan lainnyayang sekiranya dapat digunakan untuk  menggugurkan  pendapat perkataan  ahli-ahli filsafat tersebut. Dan mengenai hal ini beliau berkata dalam mukadimah Tahafut al-Falasifah sebagai berikut:

“Hendaklah diketabui bahwa yang dimaksud ialah memberi peringatan kepada orang yang menganggap baik  terhadap ahli-ahli filsafat dan mengira bahwa jalan hidup mereka  itu bersih dari pertentangan, dengan menjelaskan bentuk-bentuk kesemerawutan (kerancuan) mereka. Karena itu, saya tidak mencampuri mereka untuk menuntut  dan mengingkari, bukan menyerukan dan menetapkan perkataan mereka.  Maka saya jelekkan keyakinan mereka dan saya tempatkan mereka dengan posisi yang berbeda-beda. Sekali waktu saya nyatakan  mereka bermazhab  Muktazilah, pada kali lain bermazhab Karamiyah, dan pada kali lain lagi bermazhab Waqifiyah. Saya tidak menetapkannya pada mazhab yang khusus, bahkan saya anggap semua firqah bersekutu untuk menentangnya,  karena semua firqah itu kadang-kadang bertentangan dengan paham kita dalam masalah-masalah tafshil (perincian, cabang), sedangkan mereka menentang ushuluddin (pokok-pokok agama). Karena itu, hendaklah kita menentang  mereka.  Dan ketika  menghadapi masalah-masalah berat, hilanglah kedengkian diantara sesama (dalam masalah-masalah kecil/cabang).”

Saudara penanya berkata, “Bagaimana kita bersikap toleran kepada orang yang menentang kita, yang nyata-nyata menyelisihi nash Al-Qur’an atau hadits Nabawi,  sedangkan Allah berfirman:

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan   Rasul (As-Sunnah).” (an-Nisa’: 59)

Menurut saya (Qardhawi),  saudara penanya ini  tidak mengetahui suatu perkara yang penting, yaitu bahwa nash-nash itu mempunyai perbedaan besar dilihat dari  segi tsubut (periwayatan) dan dilalah (petunjuk)-nya, yaitu ada  yang qath’i  dan ada yang zhanni. Diantara nash-nash itu ada yang qath’i tsubut seperti Al-Qur’an al-Karim dan  hadits-hadits mutawatir yang sedikit  jumlahnya  itu.  Sebagian  ulama menambahkannya dengan  hadits-hadits  Shahihain yang telah diterima umat Islam dan disambut oleh generasi yang berbeda-beda sehingga melahirkan  ilmu yang meyakinkan. Tetapi sebagian ulama lagi menentangnya, dan masing-masing mempunyai alasan:

Disamping itu,  ada nash yang zhanni  tsubut.  Misalnya, hadits-hadits  umumnya, baik yang sahih maupun hasan yang diriwayatkan dalam kitab-kitab sunan,  musnad, mu’jam, dan mushannaf yang bermacam-macam.

Pada taraf zhanniyyah ini derajat hadits itu bermacam-macam. Ada yang sahih, hasan, shahih lidzatihi dan hasan lidzatihi, serta ada pula yang shahih lighairihi dan hasan lighairihi, sesuai dengan sikap imam-imam dalam mensyaratkan penerimaan dan  pentashihan suatu hadits, ditinjau dari segi sanad atau matan, atau keduanya. Karena itu, ada orang yang menerima hadits mursal dan menjadikannya hujjah, ada yang menerimanya dengan  syarat-syarat tertentu,  dan ada yang menolaknya secara mutlak.

Kadang-kadang ada yang menganggap seorang rawi itu dapat dipercaya, tetapi yang lain menganggapnya dhaif. Ada pula yang menentukan beberapa syarat khusus dalam tema-tema tertentu yang dianggap memerlukan banyak    jalan periwayatannya, sehingga ia tidak menganggap cukup bila hanya diriwayatkan oleh satu orang. Hal ini  menyebabkan sebagian imam menerima sebagian hadits dan melahirkan beberapa hukum daripadanya, sedangkan  imam yang lain menolaknya karena dianggapnya tidak sah dan tidak memenuhi syarat sebagai hadits sahih. Atau ada alasan lain yang lebih kuat yang menentangnya, seperti praktek-praktek yang bertentangan dengannya.

Masalah di atas banyak contohnya dan sudah diketahui  oleh orang-orang yang mengkaji hadits-hadits ahkam, fiqih muqaran (perbandingan), dan flqih mazhabi. Mereka menulisnya dalam kitab-kitab mereka yang disertai dengan dalil-dalil untuk memperkuat mazhabnya dan menolak mazhab/orang yang bertentangan dengannya.

Sebagaimana perbedaan nash dari segi tsubut-nya, maka perbedaan nash dari segi dilalah lebih banyak lagi.

Diantara nash-nash itu ada yang qath’i dilalahnya atas hukum, yang tidak rnengandung kemungkinan lain dalam memahami dan menafsirkannya. Contohnya, dilalah nash yang memerintahkan shalat, zakat, puasa, serta haji  (yang menunjukkan wajibnya); dilalah nash yang melarang zina, riba, minum khamar, dan lain-lainnya (yang  menunjukkan keharamannya), dan dilalah nash-nash al-Qur’an dalam pembagian waris. Tetapi nash yang qath’i dilalahnya ini jumlahnya sedikit sekali.

Kemudian ada pula nash-nash yang zhanni dilalahnya, yakni mengandung banyak kemungkinan pengertian dalam memahami dan menafsirkannya.

Karena itu, ada sebagian ulama yang memahami suatu nash sebagai ‘aam (umum),  sedangkan yang lain  menganggapnya makhsus (khusus). Yang sebagian menganggapnya mutlak,  yang lain muqayyad. Yang sebagian menganggapnya hakiki, yang lain majazi. Yang sebagian menganggapnya mahkam (diberlakukan hukumnya), yang  lain mansukh. Yang sebagian menganggapnya wajib, yang lain tidak lebih dari mustahab. Atau yang sebagian  menganggap nash itu menunjukkan hukum haram, yang lain tidak lebih dari makruh.

Adapun kaidah-kaidah ushuliyyah yang kadang-kadang oleh sebagian orang dikira sudah mencukupi untuk menjadi tempat kembalinya segala persoalan, hingga setiap perbedaan dapat diselesaikandan setiap perselisihan dapat  diputuskan, ternyata dari beberapa segi masih diperselisihkan. Ada yang menetapkannya,  ada yang menafikannya, dan ada yang memilih diantara yang mutlak dan muqayyad.

Misalnya saja dilalah amr (petunjuk perintah). Apakah sighat amr (perintah) itu menunjukkan wajib? Atau mustahab? Atau boleh jadi wajib dan boleh jadi mustahab? Atau tidak menunjukkan suatu hukum pun kecuali jika disertai dengan qarinah (indikasi) tertentu?  Atau apakah hukum perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah itu berbeda?

Kurang lebih,  ada tujuh pendapat mengenai dilalah amr yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih,  yang  masing-masing mempunyai dalil dan argumentasi.

Misalnya mengenai hadits:

“Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot.” (HR Bukhari)

“Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan  mereka.” (HR Bukhari)

“Barangsiapa yang mempunyai kelebihan tempat kendaraan, maka hendaklah ia memberikannya kepada orang yang tidak mempunyai kendaraan.”

“Sebutlah  nama  Allah,  dan makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari apa yang dekat denganmu.” (HR Bukhari)

Apakah perintah-perintah dalam hadits di atas menunjukkan hukum wajib, mustahab, atau untuk membimbing saja? Atau masing-masing perintah  mempunyai  hukum  tersendiri  sesuai dengan petunjuk susunan kalimat dan indikasinya?

Demikian pula tentang dilalah nahyu (larangan). Apakah larangan itu menunjukkan hukum haram, makruh, atau  mungkin haram dan mungkin makruh, atau tidak menunjukkan suatu hukum kecuali jika disertai dengan qarinah  khusus? Atau apakah hukum yang dimunculkan oleh larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah itu berbeda?

Dalam masalah ini juga ada tujuh pendapat sebagaimana yang dimuat dalam kitab-kitab ushul fiqih.

Disamping itu,  juga terdapat perbedaan pendapat mengenai ‘aam dan khash, mutlaq dan muqayyad, mantuq dan  mafhum, muhkam dan mansukh, dan sebagainya.

Karena itu, kadang-kadang ada masalah yang dari segi prinsip telah disepakati, tetapi dari segi pelaksanaan diperselisihkan. Kadang-kadang keduanya telah sepakat tentang boleh dan adanya nasakh, namun berbeda  pendapat dalam nash tertentu. Apakah dia mansukh atau tidak?

Contohnya, hadits: “Telah  berbuka orang yang membekam dan yang dibekam”1 dan hadits tentang jatuhnya talak  tiga yang diucapkan  sekaligus dengan dihitung sebagai talak satu saja pada zaman Rasulullah saw., Abu Bakar, dan  pada permulaan kekuasaan Umar.

Kadang-kadang kedua belah pihak telah  sepakat bahwa ada sebagian perkataan dan perbuatan dari Nabi saw.  dalam kapasitasnya sebagai imam dan pemimpin  umat  yang tidak termasuk tasyri’ umum yang abadi bagi umat, tetapi  kedua pihak berbeda pendapat mengenai  perkataan atau perbuatan tertentu, apakah termasuk kedalam bab ini ataukah tidak.

Misalnya apa yang disebutkan Imam al-Qarafi  dalam kitabnya Al-Faruq dan Al-Ahkam mengenai sabda Nabi saw.:

“Barangsiapa membunuh seseorang (kafir), maka ia berhak atas barangnya (pakaiannya, senjatanya, kendaraannya).”

“Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati,  maka  tanah itu untuknya.”

Apakah datangnya hadits ini  sebagai  tabligh dari Allah sehingga ia merupakan tasyri’ umum yang abadi?  Ataukah datang dari beliau saw. dalam kapasitasnya sebagai pemimpin umat dan kepala negara serta sebagai  panglima  tertinggi dalam peperangan, sehingga hukum yang dikandungnya tidak dapat dilaksanakan kecuali jika ada ketetapan dari  panglima atau penguasa?

Para fuqaha berbeda pendapat tentang mekanismenya, karena itu mereka juga berbeda pendapat mengenai hukumnya.

Adakalanya kedua pihak sepakat bahwa diantara sabda dan tindakan Rasulullah saw.  itu ada yang tidak termasuk bab tasyri’ agama yang bersifat ta’abbudi, melainkan merupakan urusan dunia yang diserahkan kepada kemampuan dan usaha manusia. Misalnya,  sabda beliau yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahih:

“Kamu lebih mengerti tentang urusan duniamu.”

Namun,  mereka berbeda pendapat tentang perkataan dan tindakan tertentu, apakah ia termasuk urusan dunia yang kita tidak diwajibkan mengikutinya, ataukah termasuk urusan agama yang kita tidak boleh keluar daripadanya.  Misalnya, yang berkenaan dengan beberapa masalah medis  yang disebutkan dalam beberapa hadits, yang oleh  Imam ad-Dahlawi  dianggap sebagai urusan dunia, sementara oleh yang lain dianggapnya sebagai urusan agama dan syara’ yang wajib dipatuhi.

Ada pula sebab terpenting yang memicu terjadinya perbedaan pendapat dalam menafsirkan dan memahami nash,  yaitu perbedaan antara madrasah “azh-Zhawahir” dan madrasah “al-Maqashid,” yakni lembaga pendidikan yang berpegang pada zhahir nash dan terikat dengan bunyi teks dalam memahaminya, serta  embaga pendidikan yang mementingkan kandungan nash, jiwa, dan maksud/tujuannya. Begitu pentingnya maka  sehingga kadang-kadang ia keluar dari zhahir dan harfiyah nash, demi mewujudkan apa yang dipandangnya sebagai maksud dan tujuan nash.

Kedua madrasah (lembaga pendidikan)  ini senantiasa ada didalam kehidupan dalam segala urusan. Bahkan dalam  hukum atau undang-undang wadh’iyyah (buatan manusia) juga kita dapati para pemberi penjelasan berbeda pendapat antara yang satu dan  yang lain. Ada yang menekankan bunyi teks dan ada yang menitikberatkan pada kandungannya, atau antara pihak yang mempersempit dan memperluas.

Islam – sebagai  agama  waqi’i (realistis) – memberi kelapangan kepada kedua madrasah itu dan tidak menganggap salah satunya keluar dari Islam, meskipun Madrasah “al-Maqashid” itulah menurut pendapat kami  yang mengungkapkan hakikat Islam, dengan syarat tidak mengabaikan nash-nash juz’iyyah secara keseluruhan.

Dalam sunnah Rasul saw sendiri terdapat sesuatu  yang mendukung diterimanya perbedaan pendapat semacam ini dalam suatu peristiwa yang terkenal, yaitu peristiwa shalat asar di Bani Quraizhah, setelah usai perang Ahzab.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata:

Rasulullah saw. bersabda pada hari perang Ahzab:

“Jangan sekali-kali seseorang melakukan shalat asar  kecuali di (perkampungan) Bani Quraizhah.”

Sebagian mereka mendapatkan waktu ashar ditengah perjalanan. Lalu mereka berkata, “Kami tidak akan  shalat  asar  kecuali setelah  kami  datang  di Bani Quraizhah.” Dan sebagian lagi berkata, “Kami akan melakukan shalat asar, karena bukan  itu yang  dimaksudkan  Rasulullah  saw. terhadap kita.” Kemudian peristiwa itu dilaporkan kepada Rasulullah saw., maka beliau tidak mencela salah satunya.”

Al-Allamah Ibnul Qayyim berkata di dalam kitabnya Zadul Ma’ad sebagai berikut:

“Para fuqaha berbeda pendapat: manakah yang benar. Satu golongan mengatakan, ‘Orang yang mengakhirkan  (menunda) shalatnya itulah yang benar. Seandainya kami bersama mereka, niscaya kami juga mengakhirkannya sebagaimana yang mereka lakukan, dan tidaklah kami melakukan shalat kecuali di kampung Bani Quraizhah demi  melaksanakan perintahnya (Rasul), dan meninggalkan takwil yang bertentangan dengan zhahir.’

Golongan lain berkata, ‘Bahkan orang-orang yang melakukanshalat di tengah perjalanan pada waktunya itulah yang mendapatkan keunggulan. Mereka berbahagia mendapatkan tiga keutamaan sekaligus, yakni bersegera  melaksanakan perintah Rasul untuk keluar, bersegera mendapatkan keridhaan Allah dengan melakukan shalat  pada waktunya, dan bersegera menjumpai kaum yang dituju.’

Dengan demikian, mereka memperoleh keutamaan jihad, keutamaan shalat pada waktunya, mengerti apa yang dikehendaki, dan mereka lebih pandai daripada yang lain. Apalagi shalatnya itu adalah shalat asar  yang merupakan shalat wustha berdasarkan nash Rasulullah saw. yang sahih dan sharih (jelas). Nash seperti itu tidak dapat ditolak dan disangkal lagi. Ia merupakan sunnah yang datang menyuruh manusia untuk memeliharanya, bersegera   kepadanya, dan melaksanakan pada awal waktunya. Barangsiapa meninggalkannya, ia akan rugi seperti ia  kehilangan anak istrinya (keluarganya) dan hartanya.3 Jadi, hal ini merupakan perintah yang tidak diterapkan pada amalan lain.

Adapun orang-orang  yang mengakhirkannya, mungkin saja dimaafkan atau diberi satu pahala karena berpegang teguh pada zhahir nash dan bermaksud mejalankan perintah. Namun, tidak bisa dikatakan mereka benar dan orang yang bersegera melakukan shalat serta jihad itu salah. Mereka yang melaksanakan shalat di tengah jalan, berarti  telah menghimpun antara beberapa dalil dan mendapatkan dua keutamaan. Kalau mereka mendapatkan dua pahala, maka yang lain pun mendapatkan pahala. Mudah-mudahan  Allah meridhai mereka.”4

Maksud dari semua penjelasan itu ialah: bahwa orang yang menentang kita dalam masalah yang ada nashnya (yang  qath’i tsubut dan dilalah-nya), maka ia tidak boleh kita tolerir sama sekali.  Sebab, masalah-masalah qath’iyyah   (yang didasarkan pada dalil-dalil qath’ tsubut dan dilalah-nya) bukanlah lapangan ijtihad, karena sesungguhnya  lapangan ijtihad hanyalah dalam masalah-masalah zhanniyyah (yang didasarkan pada dalil zhanni).

Membuka pintu ijtihad untuk masalah-masalah qath’iyyah berarti membuka pintu kejahatan dan fitnah atas umat. Hal itu tidak ada yang mengetahui akibatnya kecuali  Allah, karena qath’iyyat itulah yang menjadi tempat kembaliketika terjadi pertentangan dan perselisihan. Apabila masalah qath’iyyah  ini menjadi ajang pertentangan dan perselisihan, maka sudah tidak ada lagi ditangan kita ini sesuatu yang kita jadikan tempat berhukum dan kita jadikan sandaran.

Telah saya peringatkan dalam beberapa kitab saya bahwa diantara fitnah dan pemikiran yang sangat  membahayakan kehidupan agama dan peradaban kita ialah memutarbalikkan masalah-masalah qath’iyyah sebagai zhanniyyah dan perkara-perkara (dalil-dalil) yang muhkam sebagai mutasyabihah

Bahkan adakalanya menentang sebagian masalah qath’iyyah  itu termasuk  kafir  yang  terang-terangan,  yaitu  bila  sampai mengenai apa yang dinamakan oleh ulama-ulama kita dengan istilah “al-ma’lum minad-din bidh-dharurah”  (yang  sudah diketahui dari agama  dengan  pasti).  Maksudnya, apa yang telah disepakati hukumnya  oleh umat Islam, dan sama-sama diketahui oleh orang pandai dan orang awam, seperti fardunya zakat  dan  puasa,  haramnya riba dan minum  khamar, dan lain-lain yang merupakan ketentuan Dinul Islam yang pasti.

Adapun terhadap orang  yang  berbeda  pendapat  dengan  kita mengenai  nash yang zhanni – karena satu atau beberapa sebab – kita perlu bersikap toleran meskipun kita tidak sependapat dengan  mereka Mengenai sebab-sebab itu telah saya sebutkan atau bisa juga melihat uraian Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam  kitabnya Raf’ul-Malam ‘an Aimmatil-A’lam. Dalam kitab ini beliau menyebutkan sepuluh sebab  atau alasan, namun beliau  tidak  menggunakan  nash  atau  hadits tertentu. Ini menunjukkan keluhuran ilmu dan kesadaran beliau r.a..

Begitulah seharusnya  sikap  kita,  yaitu   sikap   tasamuh (toleran)  terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita selama mereka mempunyai sandaran  yang  mereka  jadikan pegangan  dan  mereka merasa mantap dengannya, walaupun kita berbeda pendapat dengan  mereka  dalam  mentarjih  apa  yang mereka tarjihkan.

Betapa banyak pendapat yang pada mulanya dianggap lemah, ditinggalkan, atau dianggap aneh, ganjil, kemudian  menjadi kuat  setelah Allah menyediakan untuknya orang yang menolongnya, menguatkannya, dan mempopulerkannya. Salah satu contoh  dapat kita lihat dengan jelas pendapat-pendapat Imam Ibnu Taimiyah, khususnya  dalam  masalah-masalah  talak  dan yang  berhubungan  dengannya. Banyak ulama muslimin dan ahli fatwa yang menyukai  fatwa-fatwa beliau  dan  menjadikannya acuan (padahal sebelumnya pendapat itu tertolak). Dengan fatwa-fatwanya itu Allah  menyelamatkan  keluarga  muslimah dari kehancuran dan keruntuhan. Dan  dalam waktu dekat menjadi contoh bagi pendapat-pendapat yang dianggap aneh dan menyimpang dari kebenaran,  termasuk dalam kerajaan Arab Saudi.

Akhirnya, segala puji kepunyaan Allah, Tuhan semesta alam.

 

Catatan:

1 Maksudnya: batal puasa orang yang membekam dan dibekam. (penj.). ^

2 Diriwayatkan oleh Bukhari dalam “Kitab al-Maghazi,” bab  “Marji’in Nabiyyi minal Ahzab wa Makhrajihi ila Bani Quraizhah” (Fathul Bari: 4119). Diriwayatkan juga oleh Muslim dalam bab “al-Jihad” (1770) dan shalatnya dikatakan shalat zuhur. Hadits ini juga diriwayatkan dari jalan Ka’ab bin Malik dan Aisyah yang mengatakan bahwa shalatnya adalah shalat asar, sebagaimana disebutkan dalam Fat-hul Bari, 7: 408-409. ^

3 Diriwayatkan oleh Bukhari (2: 26, 53) dari hadits Buraidah: “Barangsiapa yang meninggalkan shalat asar, maka gugurlah amalannya.” Dan diriwayatkan oleh Muslim (626) dari hadits Ibnu Umar: “Barangsiapa tidak melakukan shalat asar, maka seakan-akan dia kehilangan keluarga dan hartanya.” Ini  juga disebutkan dalam Bukhari (4:24) ^

4 Zadul Ma’ad, 3: 131. ^

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *