Imam Syafi’i berkata: Dari Nafi’, dari Ibnu Umar, “Bahwasanya Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah bulan Ramadhan kepada manusia (kaum muslimin), yaitu satu sha’ tamar atau satu sha’ sya’ir (gandum).”
Imam Syafi’i berkata: Sesungguhnya Abu Sa’id Al Khudri berkata,
“Di zaman Nabi SAW kami mengeluarkan zakat fitrah berupa makanan pokok satu sha’, yaitu satu sha ’ keju (susu kering) atau satu sha ’ zabit (anggur kering), atau satu sha ’ tamar (kurma kering) atau satu sha ’ gandum. Demikianlah kami mengeluarkan zakat fitrah, sampai pada suatu hari Muawiyah datangberhaji atau beramrah, lalu ia berkhuthbah di hadapan kaum muslimin. Di antara isi khuthbahnya adalah, ‘ Aku berpendapat bahwa dua mud samrah yang berasal dari negeri Syam adalah sebanding dengan satu sha ’ tamar. Maka, kaum muslimin mengikuti apa yang diucapkan oleh Muawiyah tersebut.”
Imam Syafi’i berkata: Biji gandum tidak dikeluarkan zakatnya kecuali satu sha’saja.
Imam Syafi’i berkata: Menurut Sunnah Rasulullah SAW, zakat fitrah adalah berupa makanan pokok atau makanan yang biasa dimakan oleh seseorang.
Imam Syafi’i berkata: Makanan yang harus dikeluarkan sebagai zakat fitrah adalah makanan yang paling sering dimakan oleh seseorang. Jika seseorang mendapat pinjaman (berupa makanan) dari orang lain, kemudian pinjaman tersebut habis (pada malam satu Syawal), maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah. Apabila keesokan harinya ia temyata mendapatkan makanan yang bisa dipakai untuk membayar zakat, maka dalam hal ini ia tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah, karena waktunya sudah berlalu. Walaupun dalam hal ini aku lebih cenderung berpendapat bahwa ia lebih baik mengeluarkan zakat fitrah pada saat itu.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menjual budak tapi jual- beli tersebut tidak sah, maka yang wajib membayar zakat fitrah dari budak tersebut adalah si penjual, karena budak tersebut masih dianggap sebagai budak milik si penjual. Begitu juga apabila seseorang menyewakan budaknya kepada orang lain atau budaknya dirampas oleh orang lain, maka si pemilik budaklah yang wajib mengeluarkan zakat fitrah dari budak tersebut, karena budak tersebut masih berada dalam kepemilikannya.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menjual budak kepada orang lain dengan khiyar (pilihan untuk meneruskan jual-beli atau membatalkannya), lalu terlihat hilal bulan Syawal sebelum ia memutuskan memilih antara dua pilihan tersebut, maka dalam hal ini yang wajib mengeluarkan zakat fitrah dari budak tersebut adalah si pembeli, karena ia sudah memiliki budak tersebut ketika terjadi akad awal. Apabila yang menentukan khiyar adalah si pembeli, maka pembeli wajib mengeluarkan zakat fitrah budak tersebut apabila ia memutuskan untuk melanjutkan akad jual-beli. Tapi apabila ia memutuskan untuk membatalkan akad jual-beli, maka yang wajib mengeluarkan zakat fitrah adalah si penjual.
Namun dalam hal ini ada pendapat yang lain, yaitu zakat fitrah budak tersebut menjadi kewajiban si penjual, karena budak tersebut belum sempuma kepemilikannya di tangan si pembeli kecuali setelah pembeli menentukan pilihannya atau ketika sudah habis masa khiyar-nya.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menyewa seorang perempuan untuk menyusui anaknya, maka orang tersebut tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah dari perempuan yang menyusui anaknya tersebut.
Imam Syafi’i berkata: Dalam hal zakat fitrah ini, yang dikeluarkan oleh penduduk desa sama dengan yang dikeluarkan oleh penduduk kota, karena Nabi SAW tidak pernah mengkhususkan seseorang atau suatu kaum dalam kaum muslimin. Apabila seseorang mengeluarkan zakat fitrah berupa keju, maka menurut pendapatku ia tidak wajib mengulang zakatnya (dengan makanan pokok lain). Kecuali apabila keju tersebut bukan merupakan makanan pokoknya sehari-hari, maka ia harus mengulang zakatnya (mengganti dengan makanan pokok yang biasa dimakan).
Imam Syafi’i berkata: Dalam hal quthniyyah (jenis dari kacang), setahu saya ini bukan merupakan makanan pokok, maka tidak boleh mengeluarkan zakat dari jenis kacang ini. Adapun apabila suatu kaum (sekelompok orang) makanan pokoknya adalah kacang-kacangan, maka ia boleh mengeluarkan zakat berupa kacang tersebut, karena zakat diambil dari makanan yang biasa dimakan sehari-hari.
Imam Syafi’i berkata: Apabila makanan pokok seseorang adalah gandum, maka ia tidak boleh mengeluarkan zakat dari dirinya berupa ‘A sha ’ gandum dan ‘A sha’ biji gandum (hinthah), karena tidak boleh mengeluarkan zakat untuk satu orang kecuali dengan satu jenis makanan (tidak boleh dengan dua atau tiga jenis makanan yang dicampur, yang apabila digabungkan jumlahnya menjadi satu sha.
Apabila makanan pokok seseorang adalah gandum (berikut orang- orang yang berada dalam tanggungannya), maka ia boleh menzakati sebagian tanggungannya dengan gandum sementara sebagiannya lagi dengan hinthah (biji gandum), karena hinthah tersebut lebih baik jenisnya daripada gandum.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang mengeluarkan zakat fitrahnya berupa tamar (kurma kering), maka ia harus mengeluarkan jenis tamar yang pertengahan (yang rata-rata). Tapi apabila ia mengeluarkan tamar dari jenis yang paling baik, maka menurut pendapat hal ini adalah lebih baik baginya. Yang jelas, ia tidak boleh membayar zakat fitrahnya dengan tamar, hinthah, sya’ir dan lain-lain yang rusak atau busuk (berulat). Ia harus mengeluarkan zakat fitrah dengan barang yang bagus dan tidak rusak (busuk). Seseorang dibolehkan mengeluarkan zakat fitrah berupa makanan yang sudah lama (dipetik), asalkan makanan tersebut belum rusak belum berubahrasa dan warnanya sehingga makanan tersebut tidak disebut (digolongkan) ke dalam makanan yang rusak