Imam Syafi’i berkata: Dari Abu Hurairah RA diriwayatkan, “Gadai ditunggangi dan diperah”. Hal ini tidak dapat dipahami kecuali bahwa menunggang dan memerah untuk pemiliknya (yakni penggadai) dan bukan untuk penggadai, sebab yang berhak menunggang dan memerah hanyalah pemilik dzat harta itu, dan dzat harta berbeda dengan manfaatnya seperti menunggang dan memerah susunya.
Apabila seseorang menggadaikan budak, tempat tinggal, atau selain itu, maka hak menempati rumah, hasil sewa budak dan pelayanannya adalah untuk penggadai. Demikian pula manfaat-manfaat gadai lainnya, itu untuk penggadai dan tidak ada sedikitpun bagi penerima gadai.
Jika penerima gadai mempersyaratkan kepada penggadai bahwa ia akan menempati rumah yang digadaikan, pelayanan budak, manfaat gadai, atau apa saja dari manfaat gadai, maka syarat tersebut batal. Apabila seseorang mengutangkan 1000 Dirham kepada orang lain, lalu ia mempersyaratkan kepada pengutang untuk menggadaikan kepadanya sesuatu seraya mempersyaratkan bahwa ia akan mengambil manfaat harta yang digadaikan itu, maka syarat ini dianggap batal, karena ini merupakan tambahan pada harta yang diutangkan.
Sekiranya seseorang menjual sesuatu dengan harga 1000 Dirham, lalu penjual mempersyaratkan kepada pembeli agar menggadaikan kepadanya harta tertentu dan ia akan mengambil manfaat dari gadai itu, maka syarat dianggap rusak (batal) dan jual-beli juga rusak (batal). Karena, manfaat dari gadai ini harganya tidak diketahui secara pasti, sedangkan jual-beli tidak sah kecuali apa yang diketahui secara pasti.
Apabila seseorang menggadaikan sesuatu dengan syarat penerima gadai tidak boleh menjualnya saat utang telah jatuh tempo kecuali dengan harga sekian, atau penerima gadai tidak boleh menjualnya kecuali mencapai harga sekian atau lebih darinya, atau ia tidak boleh menjualnya bila pemilik harta yang digadaikan tidak berada di tempat, atau ia tidak boleh menjualnya kecuali diizinkan oleh si fulan atau menunggu si fulan datang, atau ia tidak boleh menjualnya kecuali dengan harga yang diridhai oleh penggadai, atau ia tidak boleh menjualnya jika penggadai telah meninggal dunia sebelum utang jatuh tempo, atau ia tidak boleh menjualnya setelah utang jatuh tempo kecuali pada orang tertentu, maka gadai dengan syarat-syarat seperti ini rusak (batal) dan tidak diperbolehkan. Gadai sah jika tidak ada halangan untuk menjualnya saat utang jatuh tempo.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menggadaikan hewan dengan syarat air susu dan hasilnya untuk pemiliknya, atau menggadaikan kebun dengan syarat buahnya untuk pemilik kebun, atau menggadaikan budak dengan syarat hasilnya untuk majikan, atau menggadaikan rumah dengan syarat hasil sewaannya untuk pemiliknya, maka gadai seperti ini sah, karena semua ini adalah untuk pemiliknya meski tidak dipersyaratkan dalam transaksi.