Sifat Larangan Allah dan Rasul-Nya

Tanya: jelaskan kepadaku esensi larangan Allah SWT dan Rasul- Nya!

Jawab: larangan Allah SWT terbagi menjadi dua kategori:

pertama, sesuatu yang dilarang itu diharamkan, dan ia tidak menjadi halal kecuali karena alasan yang ditunjukkan Allah SWT di dalam Kitab-Nya atau melalui lisan Nabi-Nya.

Apabila Rasulullah SAW melarang sesuatu, maka yang dilarang hukumnya haram. Tidak ada arti lain dari larangan tersebut selain pengharaman, kecuali larangan tersebut dimaksudkan untuk makna tertentu, sebagaimana telah saya jelaskan.

Tanya: jelaskan apa yang ada bicarakan pertama kali ini dengan mengajukan contoh yang menunjukkan hal yang semakna dengannya.

Jawab: semua wanita diharamkan kemaluannya, kecuali dengan salah satu dari dua alasan: nikah dan kepemilikan hamba sahaya. Kedua alasan ini diizinkan Allah SWT. Lalu Rasulullah SAW menetapkan tata cara nikah yang membuat halal kemaluan yang tadinya diharamkan. Beliau menetapkan wali dan saksi-saksi, serta kerelaan dari mempelai wanita yang berstatus janda. Ketetapan beliau mengenai kerelaan mempelai wanita tersebut menjadi dalil bahwa pernikahan juga harus dengan kerelaan mempelai pria. Tidak ada perbedaan di antara keduanya.

Apabila pernikahan telah mencakup 4 hal, yaitu kerelaaan mempelai wanita yang berstatus janda, pria yang dinikahkan, wali yang menikahkan wanita, dan saksi-saksi, maka pernikahan sah, kecuali dalam kondisi-kondisi yang akan saya jelaskan.

Apabila pernikahan itu tidak dilengkapi dengan salah satunya, maka pernikahan itu tidak sah, karena tidak dijalankan sesuai ketetapan Rasulullah SAW yang menjadikan pernikahan sah.

Seandainya mempelai pria menyebutkan mahar, maka itu lebih aku sukai. Namun pernikahan tidak rusak lantaran tidak disebutkannya mahar, karena Allah telah menetapkan pernikahan dalam Kitab-Nya tanpa menyebutkan mahar. Hal ini telah dijelaskan dalam kitab lain.

Dalam hal ini, wanita terhormat dan wanita rendah sama saja, karena masing-masing sama dalam perkara halal dan haram, hak dan kewajiban, serta hadd.

Kondisi-kondisi diperbolehkannya nikah selama terpenuhi rukun- rukunnya itu terbatas pada kondisi-kondisi yang pernikahan tidak dilarang di dalamnya. Jika pernikahan diakadkan dengan adanya kondisi-kondisi ini, maka pernikahan tersebut batal, karena adanya larangan Allah SWT di dalam Kitab-Nya, dan melalui lisan Nabi-Nya, tentang larangan menikah pada kondisi-kondisi tertentu.

Misalnya, seorang laki-laki menikahi saudara perempuan istrinya, padahal Allah SWT telah melarang memadu keduanya. Atau seorang laki-laki menikah dengan istri kelima, padahal Allah SWT membatasi dengan empat istri. Nabi SAW menjelaskan bahwa pembatasan empat istri oleh Allah SWT mengindikasikan  larangan untuk memadu istri lebih dari empat. Atau seorang laki- laki menikah dengan bibi istrinya, sedangkan Nabi SAW telah melarang hal tersebut. Atau seorang laki-laki menikahi seorang perempuan pada masa iddah-nya. Semua pernikahan tersebut tidak sah, karena akadnya telah dilarang, dan hal ini tidak diperselisihkan oleh seorang ulama pun.

Sama seperti Nabi SAW melarang nikah syighar, nikah mut‟ah dan menikahi mahramnya atau dinikahi mahramnya.

Oleh karena itu, kami membatalkan semua bentuk pernikahan dalam kondisi-kondisi tersebut, dengan alasan yang sama ketika kami membatalkan nikah yang dilarang dan telah dijelaskan sebelumnya.

Sementara itu orang menentang pendapat kami dalam masalah ini, dan hal itu telah dijelaskan dalam kitab lain.123

Sama seperti ketika seorang laki-laki menikahi seorang wanita tanpa izinnya, meskipun setelah itu ia memberi izin. Pernikahan demikian tidak sah, karena akad terselenggara dalam keadaan terlarang.

Sama seperti larangan Rasulullah SAW terhadap jual beli gharar (ada unsur tipuan), jual beli kurma basah dengan kurma kering kecuali dalam arriyah, serta jual beli lainnya yang dilarang Rasulullah SAW. Itu karena pada prinsipnya harta setiap orang diharamkan bagi orang lain kecuali dengan cara menjadikannya halal. Jual beli yang membuat harta menjadi halal itu adalah jual beli yang tidak dilarang oleh Rasulullah SAW. Jual beli yang dilarang Rasulullah SAW tidak menghalalkan harta seseorang bagi saudaranya. Perbuatan maksiat dalam bentuk jual beli yang dilarang juga tidak menghalalkan sesuatu yang haram, dan sesuatu itu tidak menjadi halal kecuali dengan jual beli yang bukan maksiat. Hal ini termasuk kategori pengetahuan umum.

Tanya: jelaskan perbuatan mubah namun seseorang dilarang melakukannya, padahal larangan ini tidak seperti larangan yang Anda sebutkan sebelumnya?

Jawab: hal itu, insya Allah. Seperti larangan Rasulullah SAW terhadap seseorang untuk memakai shama, mengenakan pakaian satu potong sehingga bisa memperlihatkan auratnya. Nabi SAW juga memerintahkan seorang pelayan untuk makan makanan yang ada di depannya, dan melarangnya makan dari bagian tengah piring. Diriwayatkan pula – meski tidak setegas sebelumnya- bahwa beliau melarang seseorang makan dua kurma sekaligus, menguliti kurma, serta melarang musafir tidur dan istirahat pada akhir malam di atas jalan.

Pakaian mubah bagi orang yang memakainya. Makanan itu mubah bagi orang yang memakannya, bahkan ia bisa makan semaunya. Tanahpun mubah jika tanah Allah SWT (masih milik umum) beliau dikuasai oleh seorang manusia. Manusia hanya dilarang melakukan sebagiannya, dan diperintahkan untuk melakukan apa-apa yang tidak dilarang.

Riwayat menunjukkan bahwa memakai shama dan pakaian longgar dan terbuka itu dilarang Rasulullah SAW, karena bisa memperlihatkan aurat yang seharusnya ditutupi dengan pakaian. Jadi yang dilarang beliau adalah membuka aurat, bukan memakai pakaian tersebut. Sebaliknya, beliau memerintahkan untuk memakai pakaian, sebagaimana beliau memerintahkan untuk menutup aurat.

Beliau memerintahkan kepada seorang pelayan agar makan makanan yang ada di depannya, serta tidak memakan dari bagian atas makanan, meskipun ia boleh makan makanan yang ada di depannya dan semua makanan. Larangan beliau ini merupakan pelajaran kesantunan dalam memakan makanan yang ada di depannya, karena membuatnya lebih baik di mata teman makannya, serta lebih jauh dari cara makan yang buruk dan serakah. Beliau memerintahkannya agar tidak makan dari bagian tengahnya karena berkah diturunkan pada bagian tengah makanan, beliau juga ingin agar pelayan tersebut  tetap diberkahi dengan turunnya berkah pada bagian tengah makanan tersebut. Ia dibolehkan untuk memakan bagian tengahnya apabila ia telah makan makanan di sekelilingnya.

Rasulullah SAW membolehkan pejalan kaki lewat di jalanan, karena tidak ada manusia yang memilikinya dan berhak menghalangi orang lain untuk lewat. Yang dilarang beliau adalah satu sisi tertentu yang sesuai dengan pandangan beliau terhadapnya. Beliau bersabda:

karena jalan itu menjadi tempat berlindungnya serangga dan tempat lewatnya ular.”124

Beliau melarang tidur di jalan sesuai dengan pandangan beliau sendiri, bukan karena perbuatan ini diharamkan. Tetapi terkadang hal itu dilarang apabila jalannya sempit dan sering dilalui orang, karena apabila ia tidur di jalan pada waktu

tersebut, maka ia menghalangi hak orang lain untuk melewati jalan itu.

Tanya: apa perbedaan antara bentuk larangan-larangan ini dengan bentuk yang pertama?

Jawab: orang yang telah yakin dengan argumen pasti akan tahu bahwa Nabi SAW melarang perbuatan yang telah kami jelaskan tadi. Orang yang melakukan perbuatan terlarang – padahal ia mengetahui larangan tersebut – berarti telah bermaksiat, maka ia hendaknya memohon ampun kepada Allah SWT dan tidak mengulanginya.

Tanya: orang ini berbuat maksiat, dan orang yang Anda sebutkan dalam masalah pernikahan serta jual beli juga berbuat maksiat. Bagaimana Anda membedakan kondisi keduanya?

Jawab: saya tidak membedakan dalam masalah maksiat, karena saya menganggap keduanya telah berbuat maksiat. Namun, sebagian maksiat lebih besar daripada sebagian yang lain.

Tanya: bagaimana Anda tidak mengharamkan cara berpakaian, cara makan, dan cara memanfaatkan jalanan di atas karena maksiatnya, sementara Anda mengharamkan pernikahan dan jual beli yang dijelaskan sebelumnya?

Jawab: yang pertama diperintahkan melakukan sesuatu yang mubah dan halal baginya, sehingga saya menghalalkan apa yang halal baginya, dan mengharamkan apa yang haram baginya. Apa yang diharamkan baginya itu berbeda dengan apa yang dihalalkan. Maksiatnya dalam perkara yang mubah tidak membuat perkara mubah itu menjadi haram dalam kondisi apa pun, tetapi maksiat itu yang diharamkan.

Tanya: apa contohnya?

Jawab: ada seorang laki-laki memiliki istri dan budak perempuan. Ia dilarang menyetubuhi keduanya dalam keadaan haid dan puasa. Seandainya ia melakukannya, maka persetubuhan tersebut tidak halal baginya dalam kedua kondisi tersebut. Namun, keduanya tidak diharamkan sama sekali diluar kondisi itu, karena pada prinsipnya kedua wanita itu mubah dan halal baginya.

Pada prinsipnya, harta seseorang diharamkan bagi orang lain, kecuali dengan muamalah yang sah, yang membuat harta itu halal baginya. Kemaluan wanita itu diharamkan, kecuali dengan pernikahan dan kepemilikan sahaya yang menjadikannya mubah. Apabila dilakukan akad nikah atau jual beli secara terlarang, maka yang diharamkan itu tidak menjadi halal dengan jalan yang diharamkan. Ia tetap pada keharamannya sebagaimana dilakukan upaya dengannya Allah SWT menghalalkannya di dalam Kitab-Nya atau melalui lisan Nabi-Nya, atau menurut ijma umat Islam, atau dengan hal yang semakna.

Sebelumnya saya telah membuat contoh tentang larangan yang tidak dimaksudkan untuk mengharamkan dengan adanya dalil- dalil. Jadi saya tidak perlu mengulangnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *