Riba dan Menjual Makanan dengan Makanan

Imam Syafi’i berkata: Dari Malik bin Aus bin Hadatsan An-Nashri, bahwasanya ia ingin menukar uang 100 Dinar. Lalu Malik bin Aus bin An Nashri berkata, “Tidak lama Kemudian, saya dipanggil oleh Thalhah bin Ubaidillah, maka kami pun saling menampakkan barang milik kami, hingga akhimya ia menjualnya kepada saya dan menukar emas yang berada di tangannya (dengan uang 100 Dinar milik saya). Setelah itu, ia berkata, ‘(Jangan ditukar terlebih dahulu) hingga bendahara saya yang perempuan atau laki-laki datang.”’

Imam Syafi’i berkata: Sebenamya saya merasa ragu setelah membaca hadits ini, sedangkan Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu sendiri telah mendengamya. Maka Umar bin Khaththab berkata, “Janganlah kamu berpisah hingga kamu mengambil barang tersebut darinya!”

Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Menukar emas dengan perak adalah riba, kecuali jika sama-sama ditukar secara kontan dan sama nilainya. Menukar gandum dengan gandum adalah riba, kecuali jika sama-sama ditukar secara kontan dansama nilainya. Menukar tamar dengan tamar adalah riba, kecuali jika sama-sama ditukar secara kontan dan sama nilainya. Menukar jelai dengan jelai adalah riba, kecuali jika sama-sama ditukarsecara kontan dam sama nilainya. ” Dari Ubadah bin Shamit bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wassallam bersabda. “Janganlah kalian menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,jelai dengan jelai, dan garam dengan garam kecuali dengan yang senilai harganya dan secara kontan. Kalian diperbolehkan menjual emas dengan perak, perak dengan emas. Juallah emas dengan perak, perak dengan emas, gandum dengan jelai, jelai dengan gandum, tamar dengan garam, dan garam dengan tamar secara kontan sesuai yang kalian inginkan. ”

Imam Syafi’i berkata: Pendapat inilah yang kami pegang dan juga sesuai dengan beberapa hadits tentang penukaran barang.

Imam Syafi’i berkata: Emas dan perak itu adalah dua benda yang berbeda sama sekali, karena kedua benda tersebut bisa menghargai segala sesuatu. Selain itu, makanan dan barafig lainnya tidak dapat diqiyaskan kepada keduanya.

Imam Syafi’i berkata: Maka, pengharaman penukaran dengan keduanya adalah dari jenis makanan (dilihat) daritakaran bahwa seluruhnya dimakan. Oleh karena itu, kita mendapatkan sesuatu yang dimakan apabila ditakar. Maka, makanan yang dimakan secara makna adalah timbangan bagi yang ditakar, karena keduanya sama-sama dimakan. Begitu pula halnyajika ia diminum, ditakar ataupun ditimbang, karena timbangan itu adalah sesuatu yang dijual dengan sepengetahuan si penjual dan si pembeli, sebagaimana halnya takaran itu diketahui pula oleh keduanya. Bahkan, timbangan itu lebih dapat diketahui karena keterpautan yang jauh dari takaran. Oleh sebab itu, apabila keduanya dimakan, diminum atau dijual dengan diketahui takaran dan timbangannya, maka keduanya mempunyai satu makna. Kemudian kita tetapkan satu hukum bagi keduanya. Tentunya kami tidak akan berbeda pendapat sedikitpun dengan hukum-hukumyang telah ditetapkan oleh Sunnah tentang sesuatu yang dapat dimakan ataupun yang lainnya. Setiap sesuatu yang diqiyaskan kepadanya adalah dalam maknanya, dan hukumnya pun adalah hukumnya pula, maka kami tidak akan berseberangan dengan hukum-hukum tersebut. Segala sesuatu yang diqiyaskan atasnya adalah dalam maknanya, dan baginya dihukumi seperti hukumnya; baik makanan, minuman, takaran. dan timbangan.

Demikian juga dalam maknanya menurut kita. Allah Maha Mengetahui setiap takaran danminuman yang dijual dengan bilangan, karena kita sering mendapatkan bahwa sesuatu ditimbang di suatu negeri, akan tetapi di negara lainjusteru tidak ditimbang. Oleh karena itu, kami telah menjadikan dua pokok bagi beberapa barang; pokokpertama yang dapatdimakan dimana di dalamnya terdapat riba dan pokok kedua adalah harta benda yang bukan untuk dimakan. Tidak ada riba pada tambahan terhadap sebagiannya atas sebagian yang lain. Maka, pokok pada sesuatu yang dapat dimakan dan diminum adalah jika ada sebagiannya dengan sebagian pokok pada dinar dengan dinar dan dirham dengan dirham.

Apabila ada dari suatu jenis dengan jenis lain, maka hal itu sama seperti dinar dengan dirham dan dirham dengan dinar yang tidak berbeda selain karena adanya sesuatu atau sebab lainnya. Sebab itu tidak akan ada pada dinar dan dirham dengan keadaan bagaimanapunjuga. Yang demikian itu disebabkan karena adanya sesuatuyang basah pada sesuatu yang kering, dan tentunya emas dan perak sama sekali tidak termasuk dalam hal ini. Begitulah kedudukan setiap makanan yang berbeda nama dan jenisnya. Namun tidak mengapa ada kelebihan pada sebagian atas sebagian yang lain asalkan dilakukan secara langsung.

Di antara dalil-dalil itu adalah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah memperhatikan bagian bawah (tumpukan) buah kurma basah (ruthab). Manakala ruthab itu berkurang beratnya (karena menjadi kurma kering [tamar]), maka tidak boleh dijual dengan tamar. Hal itu dikarenakan tamaritu berasal dari ruthab jika kekurangannya itu tidak dapat dibatasi. Selain itu, tidak diperbolehkan menjual tamar dengan tamar pula, kecuali yang senilai harganya. Selain itu, ada tambahan penjelasan tentang bagian bawah dari buah ruthab, dimana hal itu menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan menukar ruthab dengan tamar dengan sebab adanya perbedaan dua takaran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *