Rangkuman tentang apa-apa yang boleh Digadaikan dan yang Tidak

Imam Syafi’i berkata: Harta gadai yang diserahterimakan dari penggadai dan penerima gadai yang sah, terbagi menjadi tiga kelompok; sah, memiliki cacat, dan rusak.
Harta gadai yang sah adalah semua harta gadai yang dimiliki penuh oleh penggadai, dan harta gadai itu tidak memikul tanggungan atas suatu kejahatan dimana korban kejahatan lebih terhak terhadapnya daripada pemiliknya hingga hak korban itu dipenuhi.

Harta gadai itu tidak pula terkait dengan hak orang lain, seperti sedang digadaikan, disewa, dijual, atau budak yang terikat perjanjian untuk membebaskan dirinya (mukatab), atau budak yang dijanjikan akan dibebaskan sepeninggal majikan (mudabbar), atau budak yang telah melahirkan anak majikan (ummul walad), dan tidak pula terdapat padanya hak orang lain dimana ia lebih berhak daripada majikan daripada budak hingga berakhir pada masa tertentu. Jika seseorang menggadaikan harta miliknya yang memenuhi syarat- syarat di atas, lalu penerima gadai telah menerimanya, maka inilah gadai yang sah, yang tidak ada cacat padanya.

Harta gadai yang cacat adalah seperti seseorang yang memiliki budak (laki-laki atau perempuan) atau rumah, lalu si budak melakukan suatu kejahatan terhadap seseorang, baik sengaja atau tidak, atau keduanya melakukan kejahatan terhadap harta manusia, lalu korban atau walinya belum mendapatkan kompensasi atas kejahatan itu hingga si budak digadaikan oleh majikannya dan diterima oleh si penerima gadai. Jika kejahatan terbukti sebelum terjadi transaksi gadai, atau penggadai dan penerima gadai mengakuinya, maka gadai dapat dibatalkan.

Apabila seseorang menggadaikan budak (laki-laki atau perempuan) lalu diterima oleh penggadai, kemudian penggadai mengakui bahwa si budak telah melakukan kejahatan sebelum digadaikan, dan penerima gadai mengklaim tidak mengetahuinya, maka dalam masalah ini ada duapendapat; salah satunya bahwa yang menjadi pedoman adalah perkataan penggadai, karena ia mengakui adanya tanggungan pada diri si budak. Namun penggadai tidak terbebas dari tanggung jawab utang atas penerima gadai. Ada pula yang mengatakan bahwa penerima gadai disuruh bersumpah bahwa ia tidak mengetahui kejahatan si budak sebelum terjadi transaksi gadai.

Apabila penggadai bersumpah dan mengingkari atau tidak mengakui kejahatan si budak sebelum digadaikan, maka pendapat tentang pengakuan penggadai bahwa budaknya telah melakukan kejahatan sebelum digadaikan terbagi menjadi dua pendapat:

Pertama, sesungguhnya si budak tetap berstatus gadai dan tidak diambil sesuatu pun dari hartanya meski ia berkecukupan, sebab ia hanya mengakui adanya hak pada sesuatu untuk dua orang. Salah satunya dari segi kejahatan dan yang lainnya dari segi gadai. Jika terlepas dari gadai, maka kejahatan itu tetap menjadi tanggungan si budak berdasarkan pengakuan majikannya bila kejahatan itu tidak disengaja, atau kejahatan disengaja namun tidak berlaku padanya hukum qishash. Tapi bila berlaku qishash padanya, maka pengakuan si majikan tentang kejahatan si budak dapat diterima selama si budak sendiri tidak mengakuinya.

Kedua, Apabila majikan (penggadai) berkecukupan, maka diambil dari hartanya kadar (bagian) yang lebih sedikit dari harga si budak atau dari denda kejahatan, lalu harta ini diserahkan kepada korban, sebab si majikan mengakui adanya tanggungan pada diri budaknya yang tidak dapat dipenuhi akibat perbuatannya menggadaikan si budak.
Jika seseorang menggadaikan budak dan telah diterima oleh penerima gadai, kemudian penggadai mengakui bahwa budak itu telah ia merdekakan, maka hal ini lebih besar daripada pengakuannya bahwa si budak melakukan kejahatan. Dalam kasus ini jika majikan berkecukupan, maka diambil dari hartanya dengan ukuran yang sama seperti harga si budak lalu dijadikan sebagai gadai. Adapun jika majikan tidak berkecukupan atau penggadai mengingkari, maka si budak dapat dijual sesuai kadar utang. Bila ada sisanya, maka yang tersisa itu dibebaskan.

Jika seseorang menggadaikan budak wanita dan telah diterima oleh penerima gadai, kemudian penggadai mengakui telah mencampurinya sebelum digadaikan, dan jika wanita itu tidak melahirkan anak, maka ia tetap berstatus gadai sebagaimana adanya. Namun bila ia melahirkan anak dan telah ada bukti bahwa si majikan mencampurinya sebelum digadaikan, maka ia telah keluar dari status gadai. Akan tetapi bila majikan mengaku telah mencampurinya sebelum digadaikan, lalu wanita budak tersebut melahirkan kurang dari 6 bulan sejak digadaikan, maka itu adalah anak si majikan dan si budak wanita keluar dari status gadai.

Imam Syafi’i berkata: Adapun jika si wanita melahirkan anak 6 bulan atau lebih sejak digadaikan, lalu penggadai mengaku telah mencampurinya, maka pengakuan ini sama seperti pengakuan majikan bahwa ia telah memerdekakannya atau lebih lemah, dan si wanita tetap berstatus gadai sebagaimana adanya. Ia tidak boleh dijual hingga melahirkan, dan anaknya berstatus merdeka berdasarkan pengakuan si penggadai. Lalu kapanpun wanita ini dimiliki oleh penggadai, maka ia menjadi ummul walad bagi penggadai tersebut. Sekiranya penerima gadai tidak mengakui dalam semua perkara tersebut dan tidak pula mengingkari, maka dapat dikatakan kepadanya, “Jika engkau mengingkari dan bersumpah, maka harta gadai itu kami jadikan dalam kekuasaanmu. Tapi bila engkau tidak mau bersumpah, niscaya kami memerintahkan penggadai bersumpah atas pengakuannya lalu harta gadai kami keluarkan dari kekuasaanmu, baik karena telah dimerdekakan atau karena statusnya yang berubah menjadi ummul walad  wanita budak yang melahirkan anak majikannya).”

Imam Syafi’i berkata: Jika seseorang menggadaikan seorang budak (laki-laki dan perempuan) yang keluar (murtad) dari Islam dan telah diterima oleh penerima gadai, maka gadai ini sah. Si budak dapat disuruh bertaubat, Jika tidak mau, ia dapat dibunuh atas dasar murtad. Demikian pula bila si budak menyamun dan membunuh, maka ia dapat dibunuh; dan jika membunuh, maka tangannya dapat dipotong. Begitu juga apabila si budak melakukan kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman tertentu (had), maka had ini harus ditegakkan. Pada semua keadaan ini si budak tetap berstatus gadai, baik hukuman dibatalkan atasnya atau dibekukan karena sebab-sebab tertentu, sebab ini adalah hak Allah Ta ’ala dan bukan hak manusia.

Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menggadaikan budak miliknya yang telah ia merdekakan sejak setahun atau lebih, maka gadai ini dapat dibatalkan, karena si budak telah merdeka. Hal ini berlaku pada budak yang dijanjikan akan merdeka setelah majikannya meninggal dunia (mudabbar). Gadai pada kondisi ini tidak diperbolehkan bagaimanapun keadaannya. Apabila seseorang menggadaikan budak yang ia beli dengan cara yang tidak sah, maka gadai dinyatakan batal, karena penggadai tidak memiliki apa yang ia gadaikan.

Jika seseorang menggadaikan jus manis, maka gadai ini sah selama jus itu masih sebagaimana keadaannya (belum berubah). Jika keadaannya telah berubah, seperti menjadi cuka atau yang sepertinya namun tidak memabukkan meskipun banyak, maka gadai tetap sah; statusnya tidak berubah dikarenakan perubahan pada barang yang digadaikan. Adapun bila jus tersebut berubah menjadi khamer dan tidak halal dijual, maka gadai ini batal karena telah menjadi barang haram yang tidak halal diperjualbelikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *