Tanya: Dari mana Anda mengatakan bahwa qiyas (analogi) digunakan untuk masalah yang tidak dijelaskan oleh Al Qur’an, Sunnah dan Ijma? Apakah qiyas itu merupakan nash khabar yang mengikat?
Jawab: Apabila qiyas merupakan nash Al Qur’an dan Sunnah, maka setiap sesuatu yang merupakan nash Al Qur’an kita sebut sebagai hukum Allah SWT, dan setiap sesuatu yang merupakan nash Sunnah kita sebut sebagai hukum Rasulullah SAW. Kita tidak menyebutnya qiyas.
Tanya: jadi, apa itu qiyas? Apakah ijtihad? Atau ada bedanya? Jawab: qiyas dan ijtihad adalah dua kata yang bermakna satu. Tanya: di mana persamaan keduanya?
Jawab: setiap persoalan yang dihadapi seorang muslim pasti ada hukumnya, atau petunjuk mengenai penyelesaian yang benar. Jika ada hukum definitif di dalamnya, maka ia wajib mengikutinya. Apabila tidak ada, maka dicarilah dalil yang menunjukkan kebenaran di dalamnya dengan cara ijtihad. Ijtihad itulah yang disebut qiyas.
Tanya; saat melakukan qiyas, apakah mereka yakin bahwa mereka telah menemukan kebenaran di sisi Allah SWT? Apakah mereka mempunyai kelonggaran untuk berbeda pendapat dalam qiyas? Apakah pada setiap perkara mereka dibebani dengan satu jalan? Atau dengan jelas yang berbeda-beda? Apa argumen bahwa mereka hanya boleh melakukan qiyas terhadap perkara lahir, bukan perkara batin? Bukankah mereka bisa berbeda pendapat? Apakah setiap taklif berkaitan dengan diri mereka dan yang berkaitan dengan selain mereka itu berbeda-beda? Siapa yang boleh berijtihad dan menggunakan qiyas dalam perkara dirinya saja, bukan perkara orang lain? Siapa yang boleh melakukan qiyas dalam perkara dirinya dan orang lain?
Jawab: ada banyak macam ilmu. Diantaranya ada yang diyakini secara lahir dan batin, ada pula yang diyakini secara lahir saja. Ilmu yang diyakini secara lahir batin adalah nash hukum Allah SWT atau Sunnah Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh khalayak kepada khalayak. Dengan kedua cara inilah sesuatu yang halal dinyatakan halal, dan yang haram dinyatakan haram. Menurut kami, setiap orang tidak harus mengetahuinya.
Sedangkan ilmu khusus adalah Sunnah dalam bentuk khabar dari kalangan tertentu yang hanya diketahui oleh para ulama, serta tidak dibebankan kepada selain mereka. Ilmu semacam ini ada pada para ulama, atau pada sebagian mereka, berdasarkan kejujuran orang tertentu yang menyampaikan khabar dari Rasulullah SAW. Inilah yang wajib dipegang oleh ulama, dan inilah kebenaran secara lahir. Seperti hukuman mati yang dijatuhkan berdasarkan dua orang saksi. Dijatuhkannya hukuman mati ini memang benar secara lahir, tetapi bisa jadi kedua saksi itu melakukan kekeliruan.
Ada pula yang disebut Ilmu Ijma. Ada pula yang disebut ilmu ijtihad dengan qiyas sebagai usaha untuk menepati kebenaran. Jadi, ilmu tersebut benar secara lahir bagi orang yang melakukan qiyasnya, bukan bagi ulama pada umumnya. Tidak ada yang mengetahui perkara gaib di dalamnya selain Allah SWT.
Apabila pengetahuan dicari dengan qiyas secara benar, maka kebanyakan orang-orang yang melakukan qiyas itu menyepakati satu pendapat, walaupun terkadang mereka berbeda pendapat.
Qiyas ada 2 macam:
- Mengqiyaskan sesuatu dengan perkara pokok karena keduanya memiliki alasan yang sama, sehingga qiyas di dalamnya tidak
- Mengqiyaskan sesuatu dengan beberapa perkara pokok krn keduanya memiliki keserupaan, sehingga ia diletakkan pada yang paling tepat atau yang paling banyak keserupaannya. Terkadang para pelaku qiyas berbeda pendapat dalam kasus
Tanya: berikan kepadaku satu penjelasan agar saya tahu bahwa pengetahuan itu ada 2 macam. Yang diketahui secara lahir dan batin, dan yang hanya diketahui secara lahir saja. Usahakan agar penjelasan ini bisa saya mengerti dengan mudah.
Jawab: menurut Anda, jika kita berada di Masjidil Haram dan melihat Ka‟bah, apakah kita dibebani untuk menghadap Ka‟bah secara yakin?
Tanya: Ya
Jawab: kita juga diwajibkan shalat, zakat, haji dan lain-lain. Menurut Anda apakah kita dibebani untuk menjalankan kewajiban kita secara yakin?
Tanya: Ya
Jawab: ketika kita diwajibkan mendera pelaku zina sebanyak 100 kali, mendera orang yang menuduh zina tanpa saksi sebanyak 80 kali, menghukum mati orang yang kafir (murtad) sesudah masuk Islam, serta memotong tangan orang yang mencuri, apakah kita dibebani untuk melakukan semua ini berdasarkan kesaksian orang yang kita yakini secara pasti bahwa kesaksiannya dapat kita terima?
Tanya: Ya
Jawab: apakah sama antara kewajiban yang dibebankan kepada diri kita dengan orang lain, jika pada kenyataannya kita mengetahui sesuatu tentang diri kita, yang tidak diketahui oleh orang lain, sementara kita tidak mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan orang lain sebagaimana pengetahuan kita tentang diri kita sendiri?
Tanya: Ya
Jawab: apakah kita dibebani untuk menghadap kiblat ke Baitullah dimanapun kita berada?
Tanya: Ya
Jawab: menurut Anda, apakah kita meyakini bahwa kita telah tepat dalam menghadap Baitullah?
Tanya: bila kondisinya yang saya lihat saat Anda menghadap kiblat, maka itu tidak tepat. Tetapi, Anda telah melaksanakan apa yang telah dibebankan atau diperintahkan kepada kalian.
Jawab: bukankah taklif (beban kewajiban) dalam menemukan sesuatu yang tidak terlihat, berbeda dengan taklif dalam menemukan sesuatu yang terlihat.
Tanya: benar
Jawab: bukankah kita juga dibebani untuk menerima keadilan seseorang melalui sifatnya yang tampak oleh kita? Bukankah kita melaksanakan akad nikah dan pewarisan sesuai keislamannya yang tampak oleh kita?
Tanya: benar
Jawab: tetapi, bukankah dimungkinkan secara batin ia tidak adil?
Tanya: mungkin saja, tetapi kalian tidak dibebani urusannya selain yang bersifat lahir.
Jawab: bukankah halal bagi kita untuk menikahkannya dengan wanita muslimah, memberinya warisan dari mayit yang muslim, memperkenankan kesaksiannya, serta diharamkan darahnya bagi kita menurut sifat-sifat lahirnya? Bagi orang lain yang mengetahui bahwa dia orang kafir, bukankah ia wajib membunuhnya, melarangnya menikah dengan wanita muslimah, tidak mendapat warisan, serta tidak mendapatkan hak-hak lainnya?
Tanya: benar
Jawab: berkaitan dengan satu oleh, ada satu kewajiban yang berbeda menurut batas pengetahuan kita dan pengetahuan orang lain.
Tanya: benar. Kalian pun telah menjalankan kewajiban sesuai batas pengetahuannya.
Jawab: demikianlah, saya telah menjelaskan kepada Anda tentang sesuai yang tidak ada nash hukum yang mengikat,melainkan kita diminta untuk melakukan ijtihad qiyas. Kami hanya dibebani untuk menemukan apa yang benar menurut kita.
Tanya: apakah Anda pernah menetapkan satu perkara dengan cara yang berbeda-beda?
Jawab: pernah, yaitu jika sebabnya berbeda-beda.
Tanya: sebutkan diantaranya?
Jawab: jika seseorang mengaku di hadapanku bahwa ia punya kewajiban kepada Allah SWT atau orang lain, maka aku akan menetapkan hukum berdasarkan pengakuannya. Namun jika ia tidak mengaku, maka aku akan menetapkan menurut bukti yang ada. Bila tidak ada bukti maka ia harus bersumpah dan membuktikan sumpahnya, dan bila ia menolak, maka saya akan menyuruh lawannya untuk bersumpah, dan saya akan menetapkan hukum sesuai sumpah lawannya. Hal ini dimaklumi karena pengakuan seseorang terhadap darinya sendiri yang memperlihatkan sifat iri hati dan tamak lebih kuat daripada kesaksian orang lain, karena ia bisa membuat kesalahan atau kebohongan. Kesaksian orang adil lebih mendekati kebenaran daripada penolakannya untuk bersumpah dan sumpah lawannya yang tidak adil. Jadi, oleh tersebut ditetapkan hukumnya sesuai sebab-sebab yang sebagiannya lebih kuat daripada sebagian yang lain.
Tanya: memang demikian semua perkara ini. Hanya saja apabila seseorang menolak bersumpah, maka kita memberikan hak kepada lawannya berdasarkan penolakannya itu.
Jawab: Anda telah memberikan hak secara lebih besar daripada yang kami berikan.
Tanya: benar. Tetapi saya berbeda dengan Anda dalam perkara dasarnya (bukti-bukti) yang Anda ambil.
Jawab: bukankah faktor terkuat untuk memberikan hak kepada pendakwa adalah pengakuan terdakwa? Barangkali ia mengakui pernah mengambil hak seorang muslim karena lupa atau keliru, sehingga dengan pengakuan itu saya menetapkan hukum.
Tanya: benar. Tetapi Anda tidak dibebani apa pun selain hal tersebut.
Jawab:tidakkah Anda lihat bahwa saya dibebani untuk mencari kebenaran dengan dua cara?
- Dengan mengetahui secara lahir dan batin
- Dengan mengetahui secara lahirnya
Tanya: benar, tetapi apakah Anda menemukan argumen dalam Al Qur’an dan Sunnah yang dapat menguatkannya?
Jawab: ya, yaitu taklif, yang saya jelaskan kepada Anda tentang kiblat, serta taklif yang berkaitan dengan diri saya dan orang lain.
Allah SWT berfirman:
وَلَا يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهٖٓ اِلَّا بِمَا شَاۤءَۚ
dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Baqarah [2]: 255)
Allah SWT berfirman kepada Nabi-Nya:
يَسۡــٴَــلُوۡنَكَ عَنِ السَّاعَةِ اَيَّانَ مُرۡسٰٮهَا
فِيۡمَ اَنۡتَ مِنۡ ذِكۡرٰٮهَاؕ
(orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya? siapakah kamu (maka) dapat menyebutkan (waktunya)? kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya). (QS. An Naziat [79]: 42-44)
Sufyan mengabarkan dari Az-Zuhri, dari Urwah, ia berkata:
Rasulullah SAW senantiasa bertanya tentang hari kiamat, sampai Allah SWT menurunkan wahyu kepada beliau, ? siapakah kamu (maka) dapat menyebutkan (waktunya)?‟ beliau pun berhenti bertanya tentang hari kiamat.165
Allah SWT berfirman:
قُلْ لَّا يَعْلَمُ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ الْغَيْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗ
Katakanlah: “tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah. (QS. An-Naml [27]: 65)
اِنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗ عِلْمُ السَّاعَةِۚ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَۚ وَيَعْلَمُ مَا فِى الْاَرْحَامِۗ وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًاۗ وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌۢ بِاَيِّ اَرْضٍ تَمُوْتُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Luqman [31]: 34)
Jadi, manusia diwajibkan mengemukakan pendapat dan bertindak sesuai dengan yang diperintahkan tanpa melampaui batas. Namun mereka tidak dapat memberikan pahala sendiri, dan hanya Allah SWT yang dapat memberi pahala balasan. Kami memohon kepada Allah SWT semoga memberi kita balasan pahala yang banyak atas kewajiban-kewajiban kita kepada-Nya.