Prioritas Ijtihad atas Taqlid

PEMBAHASAN mengenai prioritas ijtihad dan pembaruan atas pengulang-ulangan dan taqlid, berkaitan erat  dengan fiqh maksud dan tujuan syari’ah seperti yang telah kami bahas di muka, serta berkaitan pula dengan  masalah pemahaman dan hafalan.

Ilmu, menurut para ulama salaf umat ini, bukan sekadar pengetahuan tentang hukum, walaupun diperoleh dari  hasil taqlid kepada orang lain atau  mengutip perkataannya dengan tidak memiliki hujjah yang memuaskan. Dengan kata lain, dia mengetahui kebenaran melalu orang lain, dan mengikuti pendapat orang banyak yang tidak berdalil.

Ilmu, menurut mereka sekali lagi, ialah ilmu yang independen, yang disertai dengan hujjah, dan tidak perduli apakah ilmu ini disepakati oleh Zaid atau Amr. Ilmu ini tetap berjalan bersama dengan dalilnya ke manapun  ia  pergi. Dia berputar bersama kebenaran yang memuaskan di manapun berada.

Ibn al-Qayyim mengemukakan hujjah berkenaan dengan larangan dan celaan melakukan taqlid berdasarkan firman Allah SWT:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyei pengetahuan tentangnya…” (al-Isra’: 36)

Dia berkata, “Taqlid itu bukanlah pengetahuan yang disepakati oleh ahli ilmu pengetahuan itu.” Dalam I’lam al-Muwaqqi’in, ia menyebutkan lebih dari delapan puluh macam taqlid yang tidak benar, dan penolakannya terhadap syubhat yang dilakukan oleh para pelakunya.”19

Kalau kejumudan pada lahiriah nash dianggap tercela, sebagaimana yang dilakukan oleh pengikut mazhab Zhahiriyah lama dan baru, maka celaan juga patut dikenakan terhadap kejumudan terhadap apa yang dikatakan oleh para tokoh terdahulu, tanpa mempedulikan perkembangan yang terjadi antara zaman kita dan zaman mereka, keperluan kita dan keperluan mereka, pengetahuann kita dan pengetahuan mereka.  Saya kira, kalau mereka  sempat hidup pada zaman kita sekarang ini sehingga mereka dapat melihat apa yang kita  lihat, mereka hidup  seperti  kita hidup sekarang ini pada posisi mereka sebagai orang yang mampu melakukan ijtihad dan  berpandangan luas maka mereka akan banyak mengubah fatwa dan hasil ijtihad yang telah mereka lakukan.

Bagaimana tidak? Sahabat-sahabat mereka, yang  datang  sesudah periode mereka banyak yang telah melakukan  pengubahan, dikarenakan terjadinya perbedaan waktu dan zamannya,  walaupun sebenarnya jarak waktu antara kelompok pertama dan kelompok yang kedua tidak begitu jauh. Bagaimana tidak, para imam ahli ijtihad  itu sendiri telah banyak melakukan perubahan terhadap pendapat mereka ketika mereka masih  hidup, karena  mengikuti perubahan  ijtihad  yang baru mereka lakukan, bisa jadi karena pengaruh umur, kematangan, zaman, atau tempat mereka melakukan ijtihad?

Imam Syafi’i r.a. sebelum pindah dan menetap di Mesir dia telah mempunyai mazhab yang dikenal dengan “Qaul qadim” (pendapat  lama);  kemudian setelah dia menetap di Mesir, dia mempunyai mazhab baru yang dikenal  dengan “Qaul jadid” (pendapat baru). Hal ini terjadi karena dia baru melihat apa yang belum pernah dia lihat sebelumnya, dan dia baru mendengar apa yang belum dia dengar sebelum itu.

Imam Ahmad juga meriwayatkan bahwa dalam satu masalah dia mengeluarkan pandangan yang berbeda-beda. Hal ini tidak lain karena sesungguhnya fatwanya  dikeluarkan pada situasi dan kondisi yang berbeda.

Catatan Kaki:

19 Lihat I’lam al-Muwaqqi’in, juz 2, h. 168-260, cet. Al-Sa’adah Mesir, yang ditahqiq oleh Muhammad Muhyiddin Abd al-Hamid. ^

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *