Prioritas Dalam Perkara Yang Dilarang

Pada bab terdahulu kami telah  membahas  mengenai  perbedaan tingkat   dalam  perkara-perkara  yang  diperintahkan,  dari perkara yang  mustahab  hingga  perkara  yang  wajib,  fardu kifayah,  fardu  ain, dan tingkatan fardu ‘ain. Pada bab ini kami  juga  hendak  menguraikan   perbedaan   tingkat   pada perkara-perkara    yang    dilarang,   karena   sesungguhnya perkara-perkara yang dilarang tidak berada pada tingkat yang sama. Ia juga memiliki berbagai tingkat yang sangat berbeda. Yang paling tinggi ialah kufur kepada  Allah  SWT  dan  yang paling  rendah  ialah perkara yang makruh tanzihi, atau yang dikatakan dengan khilaf al-awla (bila kita  meninggalkannya, maka hal ini adalah lebih baik).

Kekufuran  terhadap  Allah  SWT  juga bertingkat-tingkat dan berbeda antara satu dengan yang lainnya.

KUFUR ATHEIS

Yang dimaksudkan dengan kufur atheis  ialah  yang  pelakunya tidak  percaya  bahwa alam semesta ini mempunyai Tuhan, yang mempunyai malaikat, kitab-kitab  suci,  rasul  yang  memberi kabar  gembira  dan  peringatan,  serta tidak percaya kepada adanya akhirat di mana manusia akan diberi balasan  terhadap apa  yang  telah  mereka  kerjakan di dunia ini, baik berupa kebaikan maupun keburukan, Mereka tidak mengakui  ketuhanan, kenabian,  kerasulan,  dan  pahala  di akhirat kelak, Bahkan mereka adalah sebagaimana pendahulu mereka yang dikatakan di dalam al-Qur’an:

“Dan  tentu  mereka  akan mengatakan (pula): ‘Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja,  dan  kita  sekali-kali  tidak akan dibangkitkan.'” (al-An’am: 29)

Atau   sebagaimana  yang  diungkapkan  oleh  sebagian  orang atheis:  “Hidup  ini  hanyalah  lahir  dari  rahim  kemudian ditelan oleh tanah, dan tidak ada apa-apa lagi selepas itu.”

Inilah  bentuk  kekufuran orang-orang materialis pada setiap zaman. Dan itulah yang menjadi dasar  pemikiran  orang-orang komunis yang telah tercabut akar-akarnya dan yang menetapkan dalam undang-undang dasar negara mereka: “Tuhan  tidak  ada, dan hidup ini hanya materi saja.”

Agama   menurut   pandangan  mereka  hanyalah  sesuatu  yang diada-adakan, dan ketuhanan adalah omong kosong belaka.  Dan oleh  karena  itu ada ucapan tokoh filosof materialisme yang ingkar terhadap  Tuhan,  dan  sangat  terkenal  di  kalangan mereka: “Tidaklah benar bahwa sesungguhnya Allah menciptakan manusia. Yang benar ialah bahwa sesungguhnya manusialah yang menciptakan Allah.”

Ucapan  ini merupakan kesesatan yang sangat jauh, yang tidak dapat diterima oleh logika akal sehat, logika fitrah, logika ilmu  pengetahuan,  logika alam semesta, logika sejarah, dan juga logika wahyu  yang  didasarkan  pada  bukti-bukti  yang sangat pasti mengenai keberadaan-Nya.

Allah SWT berfirman:

“…     Barangsiapa     yang     kafir     kepada    Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari  kemudian,  maka  sesungguhnya  orang  itu  telah sesat sejauh jauhnya.” (an-Nisa’: 136)

Inilah tingkat kekufuran yang paling tinggi.

KUFUR SYIRIK

Di bawah tingkat  kekufuran  di  atas  ialah  kufur  syirik, seperti  kemusyrikan  yang  dilakukan  oleh  orang Arab pada zaman Jahiliyah. Dahulu mereka percaya tentang adanya Tuhan, yang  menciptakan  langit,  bumi,  dan  manusia,  serta yang memberikan rizki, kehidupan,  dan  kematian  kepada  mereka. Akan  tetapi,  di  samping  adanya pernyataan tentang adanya Tuhan itu -yang disebut  dengan  tauhid  rububiyyah,  mereka juga  mempersekutukan  Allah-  yang  disebut  dengan  tauhid ilahiyyah, dengan menyembah tuhan-tuhan yang lain, baik yang berada  di  bumi  maupun  yang  berada  di langit. Allah SWT berfirman:

“Dan sungguh jika kamu  tanyakan  kepada  mereka:  ‘Siapakah yang  menciplakan  langit  dan  bumi?,’  niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha  Perkasa  lagi Maha Mengetahui.” (az-Zukhruf: 9)

“Dan   sesungguhrrya   jika  kamu  tanyakan  kepada  mereka. ‘Siapakah yang menjadikan langit dan  bumi  dan  menundukkan matahari   dan   bulan?   n   Tentu  mereka  akan  menjawab: ‘Allah.’…'” (al-Ankabut: 61)

“Katakanlah: ‘Siapakah  yang  memberi  rizki  kepadamu  dari langit  dan  bumi,  atau  siapakah  yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang  mengeluarkan yang  hidup  dari  yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’  Maka mereka  akan  menjawab:  ‘Allah.’  Maka katakanlah: ‘Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya).'” (Yunus: 31)

Mereka percaya kepada adanya Pencipta,  Pemberi  Rizki,  dan Pengatur  alam  semesta.  Akan tetapi mereka masih menyembah tuhan-tuhan yang lain berupa pohon,  batu,  barang  tambang, dan lain-lain, dengan mengatakan:

“…  Kami  tidak  menyembah  mereka melainkan supaya mereka mendekatkan  kami   kepada   Allah   sedekat-dekatnya   …” (az-Zumar: 3)

“Dan  mereka  menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat  mendatangkan  kemudaratan  kepada  mereka  dan  tidak (pula)  manfaat,  dan  mereka  berkata,  ‘Mereka  itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.'” … (Yunus: 18)

Bentuk   kemusyrikan   seperti   ini   bermacam-macam.   Ada kemusyrikan   Arab  penyembah  berhala;  kemusyrikan  Majusi Persia yang mengatakan ada dua macam tuhan, yaitu tuhan baik atau  tuhan  cahaya,  dan  tuhan  buruk  atau  tuhan  gelap; kemusyrikan Hindu dan  Budha,  dan  para  penyembah  berhala lainnya  yang  masih  mewarnai pikiran ratusan juta orang di Asia dan Afrika; yang merupakan jenis kekufuran yang  paling banyak pengikutnya.

Kemusyrikan  itu  ialah  tempat  tumbuhnya  berbagai  bentuk khurafat, dan bersemayam pelbagai kebathilan, yang sekaligus merupakan   kejatuhan  martabat  manusia.  Di  mana  manusia menyembah benda yang dia ciptakan sendiri, benda yang  tidak dapat  berkhidmat  kepada dirinya, yang akhirnya manusia itu sendiri yang berkhidmat kepada benda ciptaannya, dan  bahkan menjadi  hambanya,  tunduk  dan  taat  kepadanya.  Allah SWT berfirman:

“… Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah,  maka adalah  ia  seolah-olah  jatuh dari langit dan disambar oleh burung,  atau  diterbangkan  angin  ke  tempat  yang  jauh.” (al-Hajj: 31)

KEKUFURAN AHLI KITAB

Di  bawah kekufuran di atas adalah kekufuran ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Kekufuran mereka  ialah  karena mereka  mendustakan kerasulan Muhammad saw, yang diutus oleh Allah SWT untuk menyampaikan risalah-Nya yang terakhir,  dan diberi   kitab   suci  yang  abadi,  yang  dalam  satu  segi membenarkan Taurat  dan  Injil,  dan  dari  segi  yang  lain melakukan  perbaikan  ajaran  yang terdapat pada kedua kitab suci  tersebut.  Sehubungan  dengan  hal  ini,   Allah   SWT berfirman:

Dan  Kami  telah  turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran,   membenarkan   apa   yang   sebelumnya,    yaitu kitab-kitab  (yang  diturunkan  sebelumnya)  dan  batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka  menurut  apa  yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka  dengan  meninggalkan  kebenaran yang telah datang kepadamu …” (al-Ma’idah: 48)

Di  antara  ajaran  yang  dibawa  oleh  Muhammad  saw  ialah membenarkan   konsep   ketuhanan,   karena   banyak   sekali penyelewengan  yang  telah  mereka  lakukan  terhadap ajaran kitab suci dan keyakinan mereka. Sehingga penyelewengan  itu membuat  keruh  ajaran yang tadinya jernih, dan mengeluarkan mereka dari kemurnian tauhid yang dibawa oleh Ibrahim, bapak para  nabi.  Kitab taurat mereka beri muatan makna inkarnasi dan penyerupaan Allah dengan seseorang dari mereka, sehingga Allah  dianggap sebagai salah seorang dari kalangan manusia, yang mempunyai rasa  takut,  iri  hati,  cemburu,  dan  juga bertengkar    dengan   manusia   dan   dikalahkan   olehnya, sebagaimana yang dilakukan oleh orang Israil  …  Begitulah penyelewengan  itu  mereka  lakukan  terhadap lembaran kitab Taurat.

Hal yang serupa juga dilakukan terhadap aqidah Nasrani yaitu dengan  masuknya  konsep  Trinitas,  pengaruh keyakinan Roma kepada  agama  ini,  setelah  masuknya  raja  Konstantinopel Imperium  Romawi  ke  dalam  agama Nasrani. Kasus ini justru menguntungkan negaranya, dan  merugikan  agamanya,  sehingga sebagian  ulama  kita  mengatakan:  “Sesungguhnya Roma tidak diwarnai oleh Nasrani, tetapi justru Nasrani  yang  diwarnai oleh Roma.”

Sesungguhnya  orang  Yahudi  dan  Nasrani  meski digolongkan kepada orang-orang kafir -karena mereka  mendustakan  ajaran Islam, dan kenabian Muhammad saw- mereka menempati kedudukan khusus  dalam  tingkat  kekufuran   ini,   sehingga   mereka dikatakan sebagai “Ahli Kitab Samawi.” Mereka beriman kepada sejumlah tuhan, rasul yang  diutus  dari  langit,  dan  juga percaya  kepada  balasan  di  akhirat kelak. Atas dasar itu, mereka adalah orang yang paling dekat dengan  kaum  Muslimin daripada  yang  lain.  Al-Qur’an  membolehkan  kaum Muslimin untuk memakan makanan mereka dan melakukan pernikahan dengan mereka:

“…  Makanan  (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula bagi mereka). Dan   dihalalkan   mengawini   wanita-wanita   yang  menjaga kehormatan  di  antara  wanita-wanita   yang   beriman   dan wanita-wanita  yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu…” (al-Ma’idah: 5)

Surat yang sama  pula,  yakni  surat  al-Ma’idah,  berbicara tentang   kekufuran   orang-orang   Nasrani   karena  mereka mengatakan:

“… sesungguhnya Allah ialah al-Masih  putera  Maryam  …” (Surat al-Ma’idah, 72)

“…  bahwasanya  Allah  salah  seorang  dari yang tiga …”(Surat al-Ma’idah, 73)

Oleh  karena  itu,  tidak  benar  orang   yang   mengatakan: “Sesungguhnya  orang-orang  Nasrani  pada  hari  ini berbeda dengan orang-orang  Nasrani  ketika  al-Qur’an  diturunkan.” Karena  kita  semua  telah  tahu  bahwa ajaran agama Nasrani telah  terkristalisasi   dan   dikenal   pasti   batas-batas keyakinannya   sejak  adanya  ‘Seminar  Nicea’  yang  sangat terkenal pada tahun 325 M.

Pada era Makkah, para sahabapun  mengetahui  kedekatan  para ahli    kitab   -khususnya   orang-orang   Nasrani-   kepada orang-orang Roma. Para ahli kitab ini  begitu  sedih  dengan kekalahan   orang-orang   Nasrani  dari  Bizantium  terhadap orang-orang Persia, yang Majusi. Dan pada  masa  yang  sama, para  penyembah  berhala  dari  kaum  musyrik  Makkah sangat bergembira dengan kemenangan yang diraih oleh orang  Persia. Kedua golongan ini diketahui kepada siapa mereka lebih dekat dan kepada siapa mereka lebih  jauh.  Kekalahan  orang-orang Roma ini disebutkan dalam awal surat ar-Rum sebagai berikut:

“Alif  Lam  Mim.  Telah  dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang).  Dan  di  hari  (kemenangan  bangsa Rumawi)  itu  bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah …” (ar-Rum: 1-5)

Begitulah kaidah penting  yang  diletakkan  di  depan  kita, untuk  memberikan  pertimbangan  dan  pengambilan  keputusan dalam bergaul dengan  orang-orang  non-Islam.  Secara  umum, ahli kitab, adalah lebih dekat kepada kaum Muslimin daripada pengikut faham atheis dan paganisme, selama tidak ada faktor yang  menjadikan  ahli kitab sebagai musuh yang paling keras dan  paling  dengki  dengan   kaum   Muslimin;   sebagaimana peristiwa  yang  sedang  terjadi  di  Serbia  dan  apa  yang dilakukan oleh orang Yahudi.

Ditegaskan bahwa di antara orang-orang kafir  itu  ada  yang dapat  menjaga  kedamaian  dengan  kaum  Muslimin, sehingga mereka dapat kita perlakukan secara damai. Dan ada  pula  di antara   mereka  yang  suka  menyerang  dan  memerangi  kaum Muslimin, sehingga kita harus memerangi  mereka  sebagaimana mereka  telah memerangi kita. Ada pula di antara mereka yang hanya sekadar kafir saja, ada yang kafir dan zalim, ada yang kafir  dan  menghalangi  jalannya  agama Allah. Semua bentuk kekufuran  ini  ada   hukumnya   masingmasing.   Allah   SWT berfirman:

“Allah  tiada  melarang  kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap  orang-orang  yang  tiada  memerangimu  karena agama   dan   (tidak  pula)  mengusir  kamu  dari  negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang  berlaku  adil. Sesungguhnya  Allah  hanya  melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi  kamu  karena  agama  dan mengusir  kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka  mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Mumtahanah: 8-9)

Tepatnya, sesungguhnya orang-orang  ahli  dzimmah  mempunyai hak  untuk bertempat tinggal karena mereka termasuk penduduk “Dar  al-Islam.”  Kita  mempunyai  hak  dan  kewajiban  atas mereka,   dan   sebaliknya  mereka  juga  memiliki  hak  dan kewajiban  atas  kita,  kecuali  perbedaan-perbedaan   dalam ajaran  agama.  Mereka  tidak  diwajibkan  untuk  melepaskan identitas agama mereka, dan begitu pula kaum Muslimin.

KEKUFURAN ORANG MURTAD

Para ulama sepakat bahwa bentuk kekufuran yang paling  buruk ialah kemurtadan (ar-riddah); yaitu keluarnya seseorang dari Islam setelah dia mendapatkan petunjuk dari Allah SWT.

Kufur setelah Islam adalah lebih buruk daripada  kufur  yang asli.  Musuh-musuh  Islam  akan tetap berusaha dengan sekuat
tenaga untuk mengembalikan  kekufuran  kepada  para  pemeluk Islam. Allah SWT berfirman:

“…  Mereka  tidak  henti-hentinya  memerangi  kamu  sampai mereka  (dapat)  mengembalikan  kamu  dari  agamamu  (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup…” (al-Baqarah: 217)

Kemudian  Allah  menjelaskan  balasan  orang  yang mengikuti musuh  yang  menyesatkan  dari  ajaran  agama   itu   dengan firman-Nya:

”  … Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati  dalam  kekafiran,  maka  mereka  itulah  yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka  kekal  di  dalamnya.”  (al-Baqarah:217)

Kemurtadan  dianggap  sebagai pengkhianatan kepada Islam dan umat Islam, karena di dalamnya terkandung desersi, pemihakan dari  satu  umat  kepada  umat  yang  lain. Ia serupa dengan pengkhianatan  terhadap  negara,  karena  dia   menggantikan kesetiaannya  kepada  negara  lain, kaum yang lain. Sehingga dia memberikan cinta dan  kesetiaannya  kepada  mereka,  dan mengganti negara dan kaumnya.

Kemurtadan  bukan  sekadar  terjadinya  perubahan pemikiran, tetapi perubahan pemberian kesetiaan dan perlindungan, serta keanggotaan  masyarakatnya  kepada masyarakat yang lain yang bertentangan dan bermusuhan dengannya.

Oleh karena itulah, Islam menerapkan sikap yang sangat tegas dalam  menghadapi  kemurtadan, khususnya bila para pelakunya menyatakan kemurtadan diri  mereka,  dan  menjadi  penganjur kepada   orang   lain  untuk  melakukan  kemurtadan.  Karena sesungguhnya mereka  merupakan  bahaya  yang  sangat  serius terhadap identitas masyarakat, dan menghancurkan dasar-dasar aqidahnya.  Oleh  sebab  itu,  ulama  dari  kalangan  tabiin menganggap  penganjur  kemurtadan sebagai orang yang disebut dalam ayat ini:

“… orang-orang yang  memerangi  Allah  dan  Rasul-Nya  dan membuat kerusakan di muka bumi …” (al-Ma’idah: 33)

Syaikh Islam, Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa usaha melakukan kerusakan di muka bumi dengan cara menyebarkan kekufuran dan keraguan  terhadap  agama Islam adalah lebih berat daripada melakukan kerusakan dengan cara mengambil harta  benda,  dan menumpahkan darah.

Pendapat  ini benar, karena sesungguhnya hilangnya identitas umat,  penghancuran   aqidahnya   adalah   lebih   berbahaya dibandingkan  kehilangan harta benda dan rumah mereka, serta terbunuhnya beberapa orang di antara mereka. Oleh sebab itu, al-Qur’an  seringkali  menganjurkan  kepada orang-orang yang beriman untuk memerangi kemurtadan  orang-orang  yang  telah beriman,  dan  tidak  berdiam  diri dalam menghadapi keadaan itu, serta tidak takut mendapatkan celaan  ketika  melakukan kebenaran. Allah SWT berfirman:

“Hai  orang-orang  yang  beriman,  barangsiapa diantara kamu yang  murtad  dari   agamanya,   maka   kelak   Allah   akan mendatangkan  satu  kaum  yang  Allah  mencintai  mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan  yang  tidak  takut kepada celaan orang yang suka mencela …” (al-Ma’idah: 54)

Al-Qur’an  juga mengancam orang-orang munafiq apabila mereka menampakkan kekufurannya. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah: ‘Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu  bagi  kami, kecuali   salah   satu   dari   dua   kebaikan.   Dan   kami menunggu-nunggu  bagi  kamu  bahwa  Allah  akan   menimpakan kepadamu  azab  yang  besar  dari sisi-Nya, atau azab dengan tangan  kami.  Sebab  itu,  tunggulah,  sesungguhrrya   kami menunggu-nunggu bersama kamu.'” (Surat at-Taubah: 52)

Sesungguhnya  mereka  akan  ditimpa  azab  dari  tangan kaum Muslimin apabila mereka menampakkan  kekufuran  yang  mereka sembunyikan.  Karena  sesungguhnya kaum Muslimin tidak dapat mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kaum  Muslimin hanya  akan memperlakukan mereka dengan apa yang tampak dari lidah dan tubuh mereka.

Banyak hadits  shahih  yang  menyebutkan  hukum  bunuh  bagi orang-orang  yang  murtad  (keluar  dari Islam). Ada riwayat yang  berasal   dari   Umar,   yang   menunjukkan   bolehnya memenjarakan   orang-orang   murtad   dan  terus  menahannya sehingga dia mau melihat kembali dirinya dan bertobat kepada Tuhannya.   Pandangan   ini   dianut   oleh  an-Nakha’i  dan ats-Tsauri.

Begitulah  pendapat  yang  saya  pilih   sehubungan   dengan kemurtadan   secara   diam-diam.   Adapun   kemurtadan  yang ditampakkan dan menganjurkan orang lain untuk melakukan  hal yang  sama,  maka saya kira Umar bin Khattab, an-Nakhai, dan at-Tsauri juga  tidak  akan  memberikan  toleransi  terhadap pemikiran  yang  merusak  aqidah  umat  itu,  dan mendiamkan pelakunya bergerak dengan leluasa, walaupun mereka  didukung oleh suatu kekuatan di belakang mereka.

Kita  mesti  membedakan  antara  kemurtadan  yang ringan dan kemurtadan yang berat. Kita mesti  membedakan  orang  murtad yang diam saja dan orang murtad yang menganjurkan orang lain untuk melakukan hal yang  sama;  karena  sesungguhnya  orang yang  disebut  terakhir  ini  termasuk  orang yang memerangi Allah, Rasul-Nya dan  berusaha  membuat  kerusakan  di  muka bumi.  Para  ulama  juga telah membedakan antara bid’ah yang ringan dan bid’ah yang berat, antara orang yang menganjurkan kepada bid’ah dan orang yang tidak menganjurkannya.

KEKUFURAN ORANG MUNAFIQ

Di  antara kekufuran yang termasuk dalam kategori yang berat dan sangat membahayakan kehidupan  Islam  dan  eksistensinya ialah  kekufuran  orang-orang  munafiq.  Karena  orang-orang munafiq  hidup  dengan  dua  wajah  di  tengah-tengah   kaum Muslimin.  Mereka  ikut  serta  mengerjakan shalat, membayar zakat, mendirikan syiar-syiar Islam, padahal di dalam  batin mereka,  mereka  hendak  menipu  orang-orang  Islam, membuat makar terhadap mereka,  dan  menyokong  musuh-musuh  mereka. Oleh   karena   itu,   al-Qur’an  menganggap  penting  untuk memberikan penjelasan mengenai ciri-ciri, dan  mengungkapkan tabir  kehidupan  mereka,  serta menjelaskan sifat-sifat dan perilaku mereka. Sehingga surat al-Taubah  dinamakan  dengan al-Fadhihah  (sebuah  skandal),  karena  mengikuti  pelbagai golongan mereka dan menguraikan tentang sifat-sifat  mereka; sebagai  satu  surat khusus yang diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafiq. Di samping itu banyak sekali  ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang kehidupan mereka.

Awal  surat  al-Baqarah  berbicara  tentang orang-orang yang bertaqwa  sebanyak  tiga  ayat,  tentang  orang-orang  kafir sebanyak  empat  ayat, sedangkan tentang orang-orang munafiq sebanyak tiga belas ayat.

Oleh karena itu,  Allah  SWT  akan  membenamkan  orang-orang munafiq   di   lapisan   neraka  paling  bawah;  sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

“Sesungguhnya orang-orang  munafiq  itu  (ditempatkan)  pada tingkatan   yang   paling   bawah   dari  neraka.  Dan  kamu sekali-kali tidak akan  mendapat  seorang  penolongpun  bagi mereka.   Kecuali  orang-orang  yang  tobat  dan  mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah  dan  tulus ikhlas  (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan  kelak  Allah akan  memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (an-Nisa’: 145-146)

Pada zaman  kita  sekarang  ini  banyak  sekali  orang-orang murtad  yang  tidak  mengindahkan  wahyu  Ilahi,  dan  tidak menganggap syariah ini sebagai rujukan  yang  paling  tinggi dalam   mengendalikan   pemikiran,   perilaku  dan  berbagai hubungan yang dijalin antar manusia. Mereka  menghina  agama Islam,  para  dainya,  dan  penganut  agama  yang mulia ini. Mereka adalah orang-orang munafiq, yang hendak membawa  nama Islam,  ingin  tetap  berada  di  tengah-tengah orang Islam, padahal mereka lebih jahat daripada orang-orang munafiq pada zaman   Nabi  saw.  Dahulu,  orang-orang  munafiq  di  zaman Rasulullah saw berangkat pergi shalat dengan malas, dan kini orang-orang  munafiq  tidak mau melaksanakannya. Tidak malas dan juga tidak bersemangat. Dahulu mereka tidak ingat kepada Allah  SWT  kecuali  sangat  sedikit sekali, dan kini mereka tidak ingat kepada Allah SWT  sedikit  atau  banyak.  Dahulu mereka  ikut  serta  dalam  barisan  kaum Muslimin memerangi musuh-musuh mereka, dan kini mereka bersama-sama musuh Islam memerangi  kaum  Muslimin. Dahulu mereka tampak bersama-sama kaum Muslimin  di  masjid-masjid  mereka,  dan  kini  mereka bersama-sama   orang  kafir  dalam  permainan  dan  kekejian mereka.

Kalau saja mereka menyatakan  kekufuran  mereka,  maka  akan jelas sikap yang dapat kita ambil, dan kita dapat istirahat, akan tetapi mereka adalah seperti yang disebutkan Allah SWT:

“Mereka hendak menipu Allah dan  orang-orang  yang  beriman, padahal  mereka  hanya  menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak menyadarinya.” (al-Baqarah: 9)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *