Problematik Tafsir
Al-Quran pada hakikatnya menempati posisi sentral dalam studi-studi keislaman. Di samping berfungsi sebagai huda (petunjuk), Al-Quran juga berfungsi sebagai furqan (pembeda). Ia menjadi tolok ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan, termasuk dalam penerimaan dan penolakan setiap berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
Keberadaan Al-Quran di tengah-tengah umat Islam, ditambah dengan keinginan mereka untuk memahami petunjuk dan mukjizat-mukjizatnya, telah melahirkan sekian banyak disiplin ilmu keislaman dan metode-metode penelitian. Ini dimulai dengan disusunnya kaidah-kaidah ilmu nahwu oleh Abu Al-Aswad Al-Dualiy, atas petunjuk ‘Ali ibn Abi Thalib (w. 661 M), sampai dengan lahirnya ushul al fiqh oleh Imam Al-Syafi’i (767-820 M), bahkan hingga kini, dengan lahirnya berbagai metode penafsiran Al-Quran (yang terakhir adalah metode mawdhuiy atau tawhidiy).
Di sisi lain, terdapat kaum terpelajar Muslim yang mempelajari berbagai disiplin ilmu. Ini antara lain didorong keinginan untuk memahami petunjuk; informasi dan mukjizat Al-Quran. Karena Al-Quran berbicara tentang berbagai aspek kehidupan serta mengemukakan beraneka ragam masalah, yang merupakan pokok-pokok bahasan berbagai disiplin ilmu, maka kandungannya tidak dapat dipahami secara baik dan benar tanpa mengetahui hasil-hasil penelitian dan studi pada bidang-bidang yang dipaparkan oleh Al-Quran.
Syaikh Muhammad ‘Abduh menegaskan –sebagaimana ditulis oleh muridnya, Rasyid Ridha– dalam Muqaddimah Tafsir Al-Manar: “Saya tidak mengetahui bagaimana seseorang dapat menafsirkan firman Allah SWT, yang berbunyi ‘Kana al-nas ummah wahidah’ (QS 2:213), kalau dia tidak mengetahui keadaan umat manusia dan sejarahnya (sejarah dan sosiologi).” Tentunya pernyataan ini berlaku pula dalam hubungannya dengan ayat yang berbicara tentang astronomi, embriologi, ekonomi, dan sebagainya.
Begitu juga dengan pembuktian tentang mukjizat Al-Quran. Dalam hal ini, sungguh tepat penegasan Malik bin Nabi, pemikir Muslim kontemporer asal Aljazair itu, bahwa “Tidak seorang Muslim pun dewasa ini –lebih-lebih yang bukan dari negara-negara berbahasa Arab– yang dapat memahami kemukjizatan Al-Quran dengan membandingkan satu ayat dengan sepenggal kalimat berbentuk prosa atau puisi pra-Islam.”
Penegasan tersebut berarti tidak seorang pun dewasa ini yang dapat merasakan secara sempurna keindahan bahasa Al-Quran –yang merupakan salah satu mukjizatnya– sejak lunturnya kemampuan dan rasa kebahasaan orang-orang Arab sendiri. Dan karena itu, kata Malik lebih jauh, harus diupayakan untuk mencari pembuktian lain yang sesuai. Untuk maksud tersebut, ia telah mencoba dalam bukunya, Le Phenomena Quranic, melalui pendekatan sejarah agama.
Apa yang dilukiskan di atas menjadi salah satu bukti betapa pentingnya. studi tentang Al-Quran. Akhirnya, walaupun bukan yang terakhir, kenyataan menunjukkan bahwa seluruh kelompok dan atau aliran yang berpredikat Islam, selalu merujuk kepada Al-Quran (dan hadis), baik ketika menarik ide-ide maupun ketika mempertahankannya. Semua itu membuktikan bahwa Al-Quran menempati posisi sentral dalam studi-studi keislaman.
Baiklah kita mengemukakan satu contoh. Dewasa ini tidak seorang pakar atau ulama pun menolak ide dasar pendapat yang menyatakan bahwa metode ma’tsur, yakni memahami atau menafsirkan ayat Al-Quran dengan ayat yang lain atau dengan hadis-hadis Nabi Muhammad saw. dan pendapat para sahabat sebagai metode tafsir terbaik. Masalahnya, yang dikandung oleh pendapat di atas tidak luput dari kekurangan yang masih memerlukan pemikiran yang serius.
Pertanyaan-pertanyaan yang dapat muncul, sehubungan dengan metode tafsir ini, antara lain adalah: Siapa yang berwewenang menetapkan bahwa ayat A ditafsirkan oleh ayat B? Apakah hanya Rasulullah saw. sendiri, atau para sahabat, bahkan atau juga ulama-ulama sesudahnya, misalnya Al-Thabari dan Ibnu Katsir? Apa kriteria yang harus dikandung oleh masing-masing ayat untuk maksud tersebut? Dan banyak pertanyaan lain. Kesemuanya masih memerlukan jawaban atau penjelasan yang konkret, karena –kalau tidak– dapat saja terjadi penafsiran ulama yang menggunakan ayat Al-Quran menempati posisi yang lebih tinggi daripada penafsiran Rasul saw. Ini menjadi masalah, sebab, bukankah para ulama terdahulu menyatakan bahwa peringkat tertinggi dari penafsiran adalah penafsiran ayat dengan ayat, baru kemudian disusul dengan penafsiran Rasulullah saw. (hadis), dan terakhir adalah penafsiran para sahabat? Ini merupakan salah satu contoh permasalahan masa lampau yang perlu diselesaikan.
Dewasa ini, cukup banyak tantangan yang dihadapi masyarakat Islam, bahkan umat manusia, yang menanti petunjuk pemecahannya. Ini harus diantisipasi. Sebab, bukankah kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allah berfungsi “memberi jalan keluar bagi perselisihan dan problem-problem masyarakat“ (QS 2:213)? Umat Islam, melalui para pakarnya, dituntut untuk memfungsikan Al-Quran sebagaimana ditunjuk di atas; dan hal ini tidak mungkin dapat terlaksana tanpa pemahaman secara baik atas petunjuk-petunjuk kitab suci itu.
Pengertian dan Tujuan Pengajaran Tafsir
Berbagai definisi yang berbeda dikemukakan oleh para ahli tentang tafsir. Perbedaan tersebut pada dasarnya timbul akibat perbedaan mereka tentang ada tidaknya kaidah-kaidah yang dapat dijadikan patokan dalam memahami firman-firman Allah dalam Al-Quran. Satu pihak beranggapan bahwa kemampuan menjelaskan atau memahami firman-firman Allah itu bukanlah berdasarkan kaidah-kaidah tertentu yang bersumber dari ilmu-ilmu bantu, tetapi harus digali langsung dari Al-Quran berdasarkan petunjuk-petunjuk Nabi saw., dan sahabat-sahabat beliau. Pihak ini mendefinisikan tafsir sebagai “penjelasan tentang firman-firman Allah; atau apa yang menjelaskan arti dan maksud lafal-lafal Al-Quran”. Bagi mereka, tafsir bukan suatu cabang ilmu.
Pihak lainnya yang berpendapat bahwa terdapat kaidah-kaidah tafsir, mengemukakan definisi yang dapat disimpulkan dalam formulasi berikut bahwa tafsir adalah “suatu ilmu yang membahas tentang maksud firman-firman Allah SWT, sesuai dengan kemampuan manusia”.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat tersebut. Namun, yang jelas, pendapat pihak pertama memperberat tugas-tugas mufasir dalam menjelaskan atau menemukan tuntunan-tuntunan Al-Quran yang bersifat dinamis, disamping mempersulit seseorang yang ingin memperdalam pengetahuannya tentang Al-Quran dalam waktu yang relatif singkat. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa definisi kedua lebih populer dan luas diterima oleh para pakar Al-Quran daripada definisi pertama.
Diakui oleh semua pihak bahwa materi-materi Tafsir dan ilmunya sedemikian luas, sehingga tidak mungkin akan dapat tercakup berapa pun jumlah alokasi waktu yang diberikan. “Al-Shina’ah thawilah wa al-‘umr, gashir, ” demikian kata Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an.163
Di sisi lain, perkembangan ilmu ini dan keanekaragaman disiplinnya, menuntut para ahli agar bersikap sangat selektif dalam memilih matakuliah-matakuliah yang ditampung dalam satu kurikulum, suatu hal yang sering mengakibatkan pengasuh matakuliah tertentu merasa dirugikan atau disepelekan oleh penyusun kurikulum tersebut.
Kenyataan di atas mengantarkan kita untuk menekankan perlunya menetapkan terlebih dahulu tujuan pengajaran tafsir di IAIN.
Tujuan yang dimaksud di atas bukannya tujuan akhir yang ideal dari suatu pendidikan yang kemudian diturunkan menjadi tujuan kurikuler sampai kepada tujuan instruksional, tetapi terbatas hanya pada bidang kognitif tanpa mempermasalahkan segi afektif dan psikomotorik kehidupan peserta didik.
Hemat penulis, pengajaran tafsir di perguruan tinggi seyogianya tidak ditekankan pada pemahaman kandungan makna suatu ayat, atau pemberian ide tentang suatu masalah dalam bidang disiplin ilmu, tetapi melampaui hal tersebut, yaitu dengan memberi mereka kunci-kunci yang kelak dapat mengantarkannya untuk memahami Al-Quran serta kandungannya secara mandiri.
Jika itu yang menjadi tujuan pengajaran tafsir, maka materi ayat-ayat yang dipilih, atau masalah-masalah ilmu tafsir yang diajarkan, (mesti) tidak lagi menitikberatkan pada kandungan arti suatu ayat atau masalah tertentu, satu hal yang selama ini telah mengakibatkan tumpang-tindihnya permasalahan tersebut dengan disiplin ilmu lain yang juga memilih masalah yang sama. Pemilihan hendaknya lebih banyak didasarkan pada cakupan kunci-kunci pemahaman yang dapat mengantarkan peserta didik kepada tujuan yang dimaksud.
Pokok Bahasan Tafsir
Kalau kita menoleh kepada materi Ilmu Tafsir atau ‘Ulum Al-Qur’an sebagaimana dipaparkan oleh Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan, maka akan ditemukan 47 pokok bahasan, tidak termasuk di dalamnya materi tafsir dan pengenalan terhadap kitab-kitab tafsir, yang sebagian uraian tentangnya, sebagaimana diakui oleh Al-Zarkasyi sendiri, belum memadai.
Hemat penulis, secara garis besar, terdapat sekian banyak pokok bahasan tafsir yang harus diketahui oleh seluruh mahasiswa IAIN, apa pun nama komponen matakuliahnya. Pokok bahasan itu antara lain:
1. Pengenalan terhadap Al-Quran
Pokok bahasan ini hendaknya mencakup: (a) persoalan wahyu, pembuktian adanya serta macam-macamnya; (b) Al-Quran dan kedudukannya dalam syariat (agama) Islam; (c) garis-garis besar kandungannya (dengan penekanan bahwa Al-Quran tidak mencakup seluruh persoalan ilmu maupun agama); (d) Al-Quran sebagai petunjuk dan mukjizat; (e) otentisitas Al-Quran (tinjauan historis); (f) batas-batas keterlibatan peranan Nabi Muhammad dalam Al-Quran; dan (g) sistematika perurutan ayat dan surat-suratnya.
Dengan mengetahui masalah-masalah di atas, peserta didik diharapkan dapat mengenal Al-Quran secara sederhana tetapi utuh.
2. Pengenalan terhadap Beberapa Pokok Bahasan Ilmu Tafsir
Pokok bahasan ini mencakup: (a) arti tafsir dan ta’wil; (b) tafsir, sejarah dan kepentingannya; (c) asbab al-nuzul; (d) al-munasabat (korelasi antar ayat); (e) al-muhkam dan al-mutasyabih; (f) sebab-sebab kekeliruan dalam menafsirkan Al-Quran; (g) corak dan aliran-aliran tafsir yang populer; dan (h) sebab-sebab perbedaan corak penafsiran.
Dengan mengetahui masalah-masalah di atas, peserta didik diharapkan dapat mengetahui, secara umum, permasalahan tafsir, kesukaran dan kemudahannya, serta syarat-syarat yang dibutuhkan untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan di atas, pemilihan materi pengajaran hendaknya lebih ditekankan pada cakupan materi tersebut pada kunci-kunci yang dapat mengantarkannya secara mandiri untuk memahami kandungan Al-Quran. Atas dasar pertimbangan tersebut, dapat kiranya dikemukakan di sini beberapa pokok bahasan yang dapat menunjang tercapainya tujuan yang dimaksud. Materi-materi yang disebutkan berikut dapat dibagi sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia.
Materi ‘Ulum Al-Quran
Materi-materi ‘ulum Al-Qur’an dapat dibagi dalam empat komponen: (1) pengenalan terhadap Al-Quran; (2) kaidah-kaidah tafsir; (3) metode-metode tafsir; dan (4) kitab-kitab tafsir dan para mufasir.
Pengenalan terhadap Al-Quran
Komponen ini mencakup, (a) sejarah Al-Quran, (b) rasm Al-Quran, (c) i’jaz Al-Quran, (d) munasabat Al-Quran, (e) qishash Al-Quran, (f) jadal Al-Quran, (g) aqsam Al-Quran, (h) amtsal Al-Quran, (i) naskh dan mansukh, (j) muhkam dan mutasyabih, dan (k) al-qira’ah.
Kaidah-kaidah Tafsir
Komponen ini mencakup: (a) ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Al-Quran, (b) sistematika yang hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran, dan (c) patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat Al-Quran, baik dari ilmu-ilmu bantu seperti bahasa dan ushul fiqh, maupun yang ditarik langsung dari penggunaan Al-Quran. Sebagai contoh dapat dikemukakan kaidah-kaidah berikut: (1) kaidah ism dan fi’il, (2) kaidah ta’rif dan tankir, (3) kaidah istifham dan macam-macamnya, (4) ma’ani al-huruf seperti ‘asa, la’alla, in, idza, dan lain-lain, (5) kaidah su’al dan jawab, (6) kaidah pengulangan, (7) kaidah perintah sesudah larangan, (8) kaidah penyebutan nama dalam kisab, (9) kaidah penggunaan kata dan uslub Al-Quran, dan lain-lain.
Metode-metode Tafsir
Komponen ini mencakup metode-metode tafsir yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddim dengan ketiga coraknya: al-ra’yu, al-ma’tsur, dan al-isyari, disertai penjelasan tentang syarat-syarat diterimanya suatu penafsiran serta metode pengembangannya; dan mencakup juga metode-metode mutaakhir dengan keempat macamnya: tahliliy, ijmaliy, muqarin, dan mawdhu’iy.
Kitab-kitab Tafsir dan Para Mufasir
Komponen ini mencakup pembahasan tentang kitab-kitab tafsir baik yang lama maupun yang baru, yang berbahasa Arab, Inggris, atau Indonesia, dengan mempelajari biografi, latar belakang, dan kecenderungan pengarangnya, metode dan prinsip-prinsip yang digunakan, serta keistimewaan dan kelemahannya.
Pemilihan kitab atau pengarang disesuaikan dengan berbagai corak atau aliran tafsir yang selama ini dikenal, seperti corak fiqhiy, shufiy, ‘ilmiy, bayan, falsafiy, adabiy, ijtima’iy, dan lain-lain.
Materi Tafsir
Sebagaimana dikemukakan di atas, pemilihan materi ayat-ayat di samping berdasarkan kandungannya, juga, dan yang terutama, peranannya dalam menunjang pemahaman materi-materi ‘ulum Al-Quran, baik untuk pemahaman lebih dalam tentang Al-Quran, maupun contoh-contoh penerapan kaidah-kaidah tafsir dan metode-metodenya.
Sebagai contoh dapat dikemukakan materi ayat-ayat berikut, yang mendukung berbagai materi ‘ulum Al-Quran: (1) Kisah: Al-Kahfi ayat 9-26 (ashhab al-kahfi), 83-101 (Dzu Al-Qarnain); Al-Qalam ayat 18-33 (ashhab Al-Jannah); (2) Jidal: Saba’ ayat 24-7; Al-Hajj ayat 8-10 (etika berdiskusi); (3) Amtsal: Al-Nur ayat 45; Al-Baqarah ayat 261-5; (4) Aqsam: Al-‘Ashr dan Al-Dhuha, (5) pengulangan ism: Al-Insyirah ayat 5-6; (6) Al-Nakirah fi Siyaq Al-Nafi: Yunus ayat 107; dan lain-lain.
Catatan kaki
163 Badruddin Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Quran, Al-Halabi, Mesir, 1957, Jilid 1, h. 12. Artinya, “ilmu pengetahuan amat luas, sedangkan usia itu pendek”.