Imam Syafi’i berkata: Allah memerintahkan untuk menasabkan orang yang mempunyai nasab. Jika ia mempunyai bapak, maka ia dinasabkan pada bapaknya. Untuk yang tidak mempunyai bapak, ia dapat dinasabkan pada tuannya. Jika ia mempunyai bapak dan tuan, ia dapat dinasabkan kepada keduanya. Yang lebih utama adalah menasabkan kepada bapaknya. Allah juga menyuruh manusia untuk menasabkan kepada saudara-saudaranya seagama dengan perwalian.
Allah berfirman, “Panggillah mereka (anak-anakangkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula maulamu… ”(Qs. Al Ahzaab (33): 5) Firman Allah lainnya, “Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu juga telahmemberi nikmatkepadanya, ‘Tahanlah ternsistrimu dan bertakwalah kepada Allah… (Qs. Al Ahzaab (33): 37)
Firman Allah, “…Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, ‘Hai anakku naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir. ’ Anaknya menjawab, ‘Aku akan mencari perlindungan kegunung yang dapat memeliharaku dari air bah. ’Nuh berkata, ‘tidak ada yang melindungi hari ini dari adzab Allah selain Allah yang Maha Perryayang. ’ Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan” (Qs. Huud (11): 42-43)
Firman Allah, “Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim didalam Al Kitad) (Al Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya, ‘Wahai bapakku, mengapa kamumenyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kaum sedikitpun?”’ (Qs. Maiyam (19): 41-42) Allah berfirman, “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anakatau saudara-saudaranya ataupun keluarga mereka” (Qs. Al Mujaadilah (58): 22) Nasab itu tetap, tidak akan hilang, baik agama mereka sama atau berlainan.
Nasab anak Nabi Nuh itu kepada bapaknya, walaupun anaknya itu kafir. Demikian juga dengan Ibrahim, ia dinasabkan kepada bapaknya walaupun bapaknya itu kafir. •
Imam Syafi’i berkata: Dari Ibnu Umar, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang menjual perwalian dan menghibahkannya.
Imam Syafi’i berkata: Dari Aisyah bahwa Burairah pemah datang kepadanya seraya berkata, “Sesungguhnya saya menebus diri pada tuan saya dengan sembilan tahil (emas). Pada setiap tahun satu tahil, maka tolonglah saya.”Lalu Aisyah berkata kepadanya, “Yang menyenangkan tuanmu adalah bahwa saya siapkan uang itu untuk mereka dan perwalian kamu bagi saya, maka saya akan berbuat demikian.” Lalu Burairah pergi kepada tuannya, sementara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sedang duduk di situ. Lalu Burairah berkata, “Saya telah mengemukakan kepada mereka yang demikian itu, tetapi mereka enggan, selain bahwa perwalian itu bagi mereka.” Rasulullah mendengar hai itu. kemudian beliau bertanya kepada Aisyah. Lalu Aisyah menerangkan hal itu. Rasulullah bersabda, “Panggillah Burairah dan buatlah syarat bahwa perwalian itu untuk mereka, bahwa perwalian itu bagi orang yang memerdekakan.” Maka Aisyah melakukan apa yang diperintahkan, kemudian Rasulullah bangun dan berdiri di depan manusia seraya memuji Allah dan memuja-Nya, lalu bersabda, “Amma ba‘du, kenapa orang-orang mensyaratkan beberapa syarat yang tidak ada dalam kitab Allah Suatu syarat yang tidak ada dalam Kitab Allah adalah batal. Walaupun ada seratus syarat, maka hokum Allah itu lebih benar. Syarat-Nya yang lebih terpercaya. Sesungguhnya perwalian itu bagi orang yang memerdekakan.”
Imam Syafi’i berkata: Diterangkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah juga tidak dilarang oleh akal pikiran bahwa seseorang jika memiliki budak dan ia memerdekakannya,maka berpindahlah hokum budak itu dari perbudakan menjadi merdeka. Maka, persaksian budak itu diperbolehkan, ia boleh menerima warisan,mengambil bagiannya pada kaum muslimin, dan hukum had berlaku untuknya seperti hukum had bagi kaum muslimin.
Maka, kemerdekaan ini ditetapkan dengan adanya pemerdekaan oleh pemiliknya Apabila pemilik budak yang muslim memerdekakan budak muslim, maka tetaplah perwalian budak itu kepadanya. Tidak boleh bagi pemilik budak yang memerdekakan menolak perwaliannya dan menjadikannya kembali berderajat budak. Ia juga tidak boleh menghibahkan dan menjualnya. Tidak boleh bagi yang dimerdekakan dan bagi keduanya apabila keduanya sepakat atas yang demikian itu. Inilah contoh nasab yang tidak boleh dipindahkan.
Imam Syafi’i berkata: Jika seseorang berkata kepada budaknya “Kamu merdeka dari si fulan”, dan ia tidak menyuruhnya untuk merdeka, maka hal itu diterima oleh orang yang dimerdekakan setelah pemerdekaan atau ia tidak menerimanya adalah sama. Ia bebas dengan sendirinya, bukan dengan orang memerdekakannya. Dan, perwaliannya untuk orang itu, karena dia yang memerdekakan.
Imam Syafi’i berkata: Dari Abdurrahman bin AI Harts bin Hisyam, dari bapaknya, ia mengabarkan bahwaAl ‘Ash bin Hisyam meninggal dunia dan meninggalkan tiga anak laki-laki; dua orang dari satu ibu, dan seorang lagi dari lain ibu. Lalu meninggallah salah seorang anaknya yang seibu. Al ‘Ash meninggalkan harta dan maula-maula (budak yang sudah dimerdekakan). Maka, anaknya yang seibu dan sebapak mewarisi hartanya dan maula-maula itu. Namun ia pun meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki dan saudara laki-laki sebapak.
Anaknya yang laki-laki itu berkata, “Saya sudah menjaga apa yang dijaga bapak saya dari harta dan maula-maula-nya” Saudara laki-lakinya berkata, “Tidaklah demikian. Sesungguhnya saya yang menjaga harta. Adapun maula-maula itu tidak saya jaga. Apa pendapatmu jika saudara saya itu meninggal dunia pada hari ini, tidakkah saya mewarisinya?” Lalu keduanya mengadu kepada Utsman. Maka, ditetapkan hukum bahwa perwalian maula-maula itu untuk saudaranya.