Imam Syafl’i berkata: Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. ” (Qs. Al Maa’idah (5): 1)
Allah juga berfirman, “Katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir, atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. ” (Qs. Al An’aam (6): 145)
Allah juga berfirman, “Maka makanlah binatang-binatang (yang halal)yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya. ” (Qs. Al An’aam (6): 118).
Ayat-ayat tersebut dan ayat-ayat lain yang semakna menunjukkan bahwa makanan (sembelihan) yang tidak diharamkan di dalam Al Qur’an adalah boleh dimakan, hal itu meliputi seluruh makanan yang bemyawa (binatang) yang tidak turun pengharamannya di dalam Al Qur’an atau lewat lisan Nabi SAW.
Maka dari itu, yang pertama kali menjadi dasar bagi kami untuk mengharamkan suatu makanan adalah Kitab Allah (Al Qur’an) kemudian Sunnah (Hadits) yang menerangkan dan menjelaskan isi Al Qur’an, kemudian Ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum muslimin dimana tidak mungkin mereka bersepakat mengharamkan makanan yang halal, walapun hal ini mungkin saja terjadi pada sebagian kaum muslimin.
Adapun kaum muslimin secara keseluruhan (seluruh kaum muslimin yang pernah hidup di muka bumi) tidak mungkin bersepakat mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.