Perdamaian

Imam Syafi’i berkata: Asas dari perdamaian adalah bahwa ia menempati posisi jual-beli. Apa saja yang diperkenankan pada jual-beli, maka diperkenankan pula pada perdamaian. Lalu apa saja yang tidak diperbolehkan dalam jual-beli, tidak diperkenankan pula dalam masalah perdamaian. Kemudian masalah ini bercabang-cabang, sementara perdamaian berlaku pada sesuatu yang ada harganya; baik berupa luka-luka yang mesti mendapat denda, atau antara istri dan suaminya yang memiliki hak mahar, semua ini menempati posisi harga. Perdamaian tidak diperbolehkan kecuali menurut yang patut (makruf), sebagaimana tidak diperbolehkan jual-beli kecuali menurut yang patut pula. Telah diriwayatkan dari Ali RA, “Perdamaian diperbolehkan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan perkara haram atau mengharamkan perkara yang halal.”

Apabila seseorang mengklaim memiliki hak pada suatu rumah yang dimiliki orang lain, lalu pihak terdakwa mengakui dakwaannya kemudian berdamai dalam perkara itu dengan menyerahkan unta, sapi, kambing, budak, dinar, dirham atau makanan secara tidak tunai, maka perdamaian ini telah sah.

Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang membuat tempat berteduh di jaian umum, lalu seseorang melarangnya, namun ia meminta berdamai dengan menyerahkan sesuatu agar orang itu membiarkannya, maka perdamaian ini menjadi batal, karena orang yang melarang telah mengambil sesuatu darinya yang tidak menjadi haknya. Akan tetapi perlu diperhatikan; jika tempat teduh itu tidak membawa mudharat, maka dibiarkan. Namun bila membawa mudharat, maka harus dilarang.

Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang mengklaim memiliki hak pada suatu rumah yang dimiliki orang lain, lalu pihak terdakwa mengakui dakwaannya dan berdamai dalam perkara itu dengan menyerahkan budak yang telah ditentukan, maka perdamaian tersebut sah. Kemudian bila ditemukan suatu cacat pada diri budak, maka boleh baginya mengembalikan budak tersebut dan kembali mengajukan gugatannya.

Imam Syafi’i berkata: Apabila satu rumah dimiliki bersama oleh ahli waris, lalu seseorang mengajukan gugatan bahwa ia memiliki hak pada rumah itu, dan saat itu sebagian ahli waris tidak berada di tempat atau semuanya hadir, kemudian salah seorang ahli waris membenarkan gugatan tersebut, setelah itu ahli waris yang membenarkan gugatan itu berdamai dengan penggugat namun dengan syarat menyerahkan sejumlah dinar atau dirham, maka perdamaian ini sah. Ahli waris yang mengadakan perdamaian tersebut dianggap melakukannya secara suka rela. Ia tidak dapat menuntut ganti rugi kepada saudara-saudaranya atas apa yang ia tunaikan atas nama mereka, sebab ia melakukan hal itu tanpa perintah dari saudara-saudaranya selama mereka tidak mengakui gugatan tersebut.

Jika ahli waris yang mengakui gugatan berdamai dengan penggugat atas dasar bahwa bagiannya menjadi milik penggugat dan bukan bagian saudara- saudaranya, maka sesungguhnya penggugat telah membeli bagian ahli waris tersebut. Jika ahli waris lain mengingkari gugatannya, maka ia menjadi lawan perkara bagi mereka. Jika ia mampu mengambil bagiannya, maka hal itu adalah haknya dan para ahli waris berhak membeli kembali bagian saudara mereka sesuai hak masing-masing. Namun bila penggugat tidak mampu mengambil haknya, ia dapat menuntut ahli waris yang berdamai dengannya agar memberikan harta lain.  Apabila satu tembok berada di antara dua rumah, dan kedua rumah itu dimiliki oleh orang yang berbeda dimana tembok tadi tidak bersambung dengan bangunan milik salah seorang dari keduanya.

lalu masing-masing pemilik kedua rumah tadi saling mengklaim bahwa tembok itu adalah miliknya, tapi di antara mereka tidak ada yang dapat mengajukan bukti untuk mengukuhkan pengakuannya, maka pada kondisi demikian keduanya harus bersumpah dan tembok tadi dibagi berdua di antara mereka. Dalam hal ini aku tidak memperhatikan kepada siapa tembok itu lebih keluar dan lebih masuk, tidak pula posisi bata maupun fondasinya, karena semua ini tidak dapat memberi petunjuk.
Sekiranya persoalan sama seperti di atas, akan tetapi salah seorang dari mereka memiliki batang kurma di tembok tadi, sementara yang lainnya tidak memiliki apa-apa, maka aku membiarkan batang tersebut sebagaimana adanya dan menetapkan tembok itu untuk mereka berdua, sebab seseorang terkadang memanfaatkan tembok orang lain dengan menyandarkan batang pohon, baik diizinkan oleh pemilik tembok ataupun tanpa izin darinya.

Apabila tembok tersebut bersambung dengan bangunan salah seorang di antara mereka, dimana sambungan itu tidak mungkin dibuat melainkan sejak awal pembuatan bangunan tersebut, tapi tembok itu tidak bersambung sedikitpun dengan bangunan pemilik rumah yang satunya, maka saya akan memberik^nnya kepada orang yang bangunannya bersambung dengan tembok, tanpa memberikan kepada pemilik rumah yang satunya. Namun bila pada sambungan nampak tanda-tanda dibuat setelah bangunan tersebut selesai dibangun, maka akan menyuruh keduanya bersumpah dan memberikan tembok itu untuk mereka berdua.

Apabila aku menetapkan tembok itu untuk mereka berdua, maka aku tidak memperkenankan salah seorang di antara keduanya membuat lubang di tembok tadi tanpa seizin yang satunya, lalu aku menyarankan keduanya membagi tembok tadi di antara mereka. Apabila seseorang memiliki pohon kurma atau pohon lainnya, kemudian dahannya menjulur sampai ke tempat tinggal tetangganya, maka menjadi keharusan bagi pemilik pohon tersebut untuk memotong dahan yang menjulur tersebut, kecuali tetangganya rela membiarkan dahan tadi tidak dipotong. Namun bila ia membiarkannya tanpa dipotong dengan syarat pemilik pohon memberikan sesuatu kepadanya, maka hal itu tidak diperbolehkan. Sebab yang demikian itu termasuk menyewakan udara, bukan tanah. Tidak mengapa bagi tetangga membiarkan dahan pohon tanpa dipotong dalam rangka berbuat baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *