Imam Syafi’i berkata: Tidak dapat dipungkiri bahwasanya ada sebagian orang yang berbeda pendapat dengan kami. Mereka berpendapat bahwa diperbolehkan mengambil hasil penjualan anjing dan menetapkan bahwa orang yang membunuhnya harus membayar denda atau menggantinya. Kepada orang tersebut saya bertanya; apakah boleh hukumnya ketika Rasulullah mengharamkan harga anjing, sementara kamu menetapkan harga anjing yang hidup ataupun yang mati? Mungkinkah Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk membunuh anjing, dan setelah itu orang yang membunuhnya harus membayar denda? Atau, mungkinkah Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk membunuh sesuatu yang mana pembunuhnya itu harus membayar denda? Bukankah membunuh segala sesuatu yang harus dibayar denda (karena pembunuhan tersebut) itu berdosa, karena hal itu sama saja merusak dan menghancurkan harta orang Islam? Bukankah Rasulullah tidak pernah menganjurkan umatnya untuk melakukan pengrusakan dan perbuatan dosa? Kemudian salah seorang di antara mereka menjawab, “Menurut pendapat dan pemahaman kami, diperbolehkannya mengambil harga anjing berdasarkan hadits dan qiyas.” Kemudian saya bertanya kepadanya, “Sebutkanlah hadits tersebut!” Lalu ia berkata, “Beberapa orang sahabat telah menceritakan kepada saya, bahwasanya Utsman bin Affan telah membayar denda harga seekor anjing dengan 20 ekor unta kepada seorang laki-laki.” Orang tersebut melanjutkan perkataannya, “Apabila Utsman bin.Affan telah menghargai anjing yang telah mati, maka dengan demikian anjingyang masih hidup pun mempunyai nilai yang sama.”
Imam Syafi’i berkata: Kemudian saya pun berkata kepada orang itu, “Wahai saudaraku, tahukah Anda seandainya hadits ini benar dari Utsman, maka Anda belum memiliki suatu argumentasi yang pasti berasal dari Rasulullah. Ketahuilah, sebenarnya hadits riwayat Utsman bin Affan (yang berkenaan dengan harga seekor anjing) itu justru menjelaskan yang sebaliknya.” Kemudian orang tersebut berkata, “Sebutkanlah hadits itu!” Saya menjawab, “Seorang perawi hadits yang dapat dipercaya (tsiqah) telah menceritakan sebuah hadits kepada kami. Perawi hadits tersebut menerimanya dari Yunus, Yunus menerimanya dari Hasan. Sesungguhnya Hasan telah berkata, ‘Saya pernah mendengar Utsman bin Affan sedang berkhutbah dan beliau menganjurkan kaum muslimin untuk membunuh anjing.’”
Imam Syafi’i berkata: “Bagaimana mungkin Utsman menganjurkan kaum muslimin untuk membunuh binatang yang harus dibayar nilai atau harganya?” Laki-laki itu menjawab, “Sebenarnya kami menganalogikannya dengan tindakan Rasulullah yang tidak melarang orang yang memiliki kebun dan ternak untuk memeliharanya. Keraudian Rasulullah juga menyebutkan perihal anjing buruan dan tidak melarangnya. Menurut hemat kami, jikaRasulullah memperbolehkan untuk memiliki dan memelihara anjing, sebagaimana diperbolehkannya memilih dan memelihara keledai,maka halal bagikami untuk mengambil hasil penjualannya.Apabila halal uang hasil penjualannya, maka orang yang membunuhnya harus membayar denda (senilai harga penjualan anjing tersebut).”
Imam Syafi’i berkata: Kemudian saya katakan kepadanya, “Apabila Rasulullah telah memperkenankan orang yang memiliki kebun dan ternak untuk memelihara anjing dan juga tidak melarang bagi orang yang suka berburu untuk memiharanya, tetapi beliau melarang untuk mengambil uang hasil penjualannya, maka dua pendapat manakah yang lebih baik untuk diikuti oleh kami, Anda, danjuga kaum muslimin? Anda mengharamkan apa yang diharamkan harganya. Anjing-anjing tersebut dibunuh oleh orang yang tidak diperbolehkan untuk memeliharanya, ‘sebagaimana pula dianjurkan untuk membunuhnya. Kemudian Anda juga memperbolehkan memelihara anjing bagi orang yang diperbolehkan dan tidak dilarang baginya. Ataukah Anda menduga bahwa hadits-hadits tersebut saling berlawanan?” Laki-laki itu menjawab, “Bagaimana menurut pendapat Anda?”
Imam Syafi’i berkata: Baiklah! Ketahuilah bahwasanya saya insya Allah akan mengatakan yang sebenarnya kepada Anda tentang hadits-hadits yang ada sebagaimana adanya, yang mempunyai kemungkinan adanya penetapan hukum. Jika boleh saya berpendapat, apa yang Anda katakan ‘Mencampakkan sebagian hadits karena adanya sebagian yang lain1, itu berarti diperbolehkan bagi Anda apa yang diperbolehkan bagi diri Anda.” Orang itu menjawab, “Sebenarnya ada seseorang yang pernah berkata, ‘Kami tidak mengetahui hadits-hadits tersebut.”’ Lalu saya katakan kepadanya, “Apabila orang yang memelihara anjing itu berdosa, maka saya tidak memperbolehkan seseorang untuk memeliharanya. Saya pasti akan membunuh di mana saja setiap anjing yang saya jumpai. Bukankah hal itu lebih utama dengan kebenaran darinya.” Orang itu balik bertanya, “Menurut Anda, bolehkah seseorang memelihara anjing dimana anjing tersebut tetap tidak ada nilai atau harganya?” Saya menjawab, “Lebih dari itu, tidak boleh seorang pun untuk memeliharanya. Jika dasar pemeliharaannya itu halal, maka sesungguhnya pemeliharaan anjing tersebut halal dan diperbolehkan bagi setiap orang, sebagaimana halal dan diperbolehkan bagi siapa saja untuk memelihara keledai dan bighal. Akan tetapi, karena dasar pemeliharaannya itu diharamkan, maka hukum pemeliharaannya adalah haram kecuali karena suatu kondisi seperti adanya unsur keterpaksaan untuk penghidupan yang lebih baik.
Selain itu, saya tidak pernah mendapatkan sesuatu yang halal itu dilarang atas seseorang. Akan tetapi, saya pernah mendapatkan sesuatu yang haram itu diperbolehkan bagi sebagian orang dan tidak diperbolehkan bagi sebagian yang lain.” Orang itu bertanya lagi, “Seperti apa contohnya?” Lalu saya menjawab, “Bangkai dan darah itu diperbolehkan bagi orang yang dalam keadaan darurat. Kemudian, jika ia tidak dalam keadaan darurat lagi, maka kedua benda itu diharamkan baginya dengan sebab dasar pengharamannya tadi. Contoh lainnya, bersuci dengan debu itu diperbolehkan bagi orang yang tidak mendapatkan air di dalam perjalanannya. Jika ia telah mendapatkannya, maka tidak diperbolehkan baginya bersuci dengan debu, karena dasar bersuci itu adalah dengan air.
Diharamkan bagi orang yang tidak dalam kondisi tersebut, kecuali bagi orang yang dalam keadaan darurat karena butuh air, dalam perjalanan, ataupun sakit. Oleh karena itu, apabila seseorang telah meninggalkan pemeliharaan anjing untuk berburu, menjaga kebun, ataupun binatang ternak, maka haram baginya untuk memelihara anjing di rumah.” Orang itu bertanya lagi, “Lalu mengapa haiga anjing tersebut menjadi tidak halal pada saat anjing itu halal untuk dipelihara?” Saya menjawab, “Hal itu disebabkan karena apa yang telah saya terangkan kepada Anda, yaitu bahwa anjing itu dikembalikan pada dasar pemeliharaannya. Maka, sesungguhnya tidak ada nilai atau harga bagi sesuatu yang pada dasarnya diharamkan.”