Imam Syafi’i berkata: Sebagian orang berkata kepada saya bahwa apabila seseorang berpuasa untuk membayar denda menyembelih binatang buruan, maka ia harus berpuasa satu hari untuk satu mud makanan. Apabila seseorang harus memberikan makanan sebagai denda atas pelanggaran sumpah (dan ia harus memberi makanan kepada 10 orang miskin), maka untuk setiap satu orang miskin adalah sebanyak dua mud. Ada yang bertanya kepada saya, “Apakah Anda meriwayatkan dari sahabat-sahabat Anda pendapat yang sesuai dengan pendapat Anda, serta pendapat yang bertentangan dengan pendapat Anda?” Saya menjawab, “Ya, diriwayatkan dari Ibnu Juraij bahwa Mujahid berkata, ‘Untuk setiap dua mud makanan diganti dengan puasa satu hari’.” Dia bertanya lagi, “Mengapa Anda tidak mengambil pendapat Mujahid, tapi malah mengambil pendapat Atha’ yang mengatakan bahwa untuk setiap satu mud makanan diganti dengan puasa satu hari, kecuali kifarat bagi orang yang menderita sakit (bagi seseorang yang menderita sakit sehingga meninggalkan beberapa kewajiban, maka kifaratnya adalah puasa satu hari untuk setiap dua mud makanan)? Mengapa Anda tidak berpendapat bahwa untuk semua jenis pelanggaran dendanya adalah puasa satu hari untuk dua mud makanan?”
Imam Syafi’i berkata: Saya menjawab, “Di antara dua pertanyaan tersebut jawabnya adalah satu, insya allah.” Dia berkata, “Sebutkanlah jawaban itu?”
Imam Syafi’i berkata: Dasar-dasar pendapat yang kami yakini dan yang Anda yakini, serta yang diyakini oleh siapapun yang paham ilmu fikih adalah bahwa seseorang itu wajib menunaikan suatu kewajiban apabila orang itu mengetahui dan berakal (tidak gila, tidak tidur, tidak lupa, dan lain-lain) dan juga mengetahui hukum-hukum Allah dan RasulNya, ia juga mengetahui bahwa halitu merupakan ta ’abud (peribadatan yang tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah —peneij.) Adapun ta ’abud dibagi menjadi dua macam:
Pertama, ta ’abud yang berdasarkan perintah langsung dari Allah atau Rasul-Nya, atau Allah hanya mengisyaratkan dalam satu ayat tapi dijelaskan di ayat lain atau di hadits Nabi SAW. Itulah dasar-dasar hukum yang kami ambil, disertai dengan qiyas yang sesuai maknanya dengan apa yang diqiyaskan.
Kedua, ta ’abud yang berdasarkan keinginan Allah Azza wa Jalla yang tidak diterangkan secara jelas di dalam Kitab-Nya atau di dalam Sunnah Nabi-Nya SAW, yang kami ketahui hukumnya bukan berdasarkan qiyas, karena kami tidak mengqiyaskan sesuatu yang telah kami ketahui dengan pasti. Kami tidak mengetahui sesuatu pun kecuali yang Allah ajarkan kepada kami. Akan tetapi telah sampai khabar kepada kami, dan khabar ini mempakan pendapat yang saya pilih, bahwa denda yang diberikan kepada seorang miskin adalah sebanyak satu mud kecuali denda dari orang yang melakukan pelanggaran karena sakit, apabila denda itu tidak dibayar dengan cara berpuasa. Tapi apabila denda tersebut dibayar dengan cara berpuasa, maka ia harus berpuasa satuhari untuk satu mud makanan. Jadi, puasa satuhari adalah sebagai pengganti satu mud makanan. Jika telah jelas bagi Anda tentang kebenaran satu mud ini(bukan dua mud), maka saya tidak akan menanyakan kepada Anda tentang hal ini lagi, tapi saya ajak Anda untuk kembali memahami zhahir ayat yang difirmankan Allah (berisi tentang denda yang harus dibayar oleh orang yang bersetubuh di siang hari bulan Ramadhan) sebagai berikut, “Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan 60 orang miskin ”(Qs. Al Mujaadilah (58): 4) Ayat tersebut menerangkan bahwa memberi makanan kepada 60 orang miskin adalah sebagai ganti dari puasa dua bulan (60 hari). Darisini maka saya berpendapat bahwa satu mud makanan yang diberikan kepada seorang miskin bisa diganti dengan puasa satu hari. Dia bertanya kepada saya, “Apakah Anda mempunyai dalil lain selain ayat tersebut?” Saya jawab, “Ya, yaitu Nabi SAW memerintahkan kepada seseorang yang telah bersetubuh dengan istrinya di siang hari bulan Ramadhan. Rasulullah SAW bertanya kepada orang itu, ‘Apakah engkau sanggup untuk memerdekakan seorang budak? ’ Orang itu menjawab, ‘Tidak’. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi, ‘Apakah engkau sanggup untuk berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Orang itu menjawab, ‘Tidak’. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi, ‘Apakah engkau mampu memberi makan 60 orang miskin? ‘Orang itu menjawab, ‘Tidak’. Lalu Rasulullah SAW memberikan kepada orang itu sekeranjang kurma dan beliau menyuruhnya untuk bershadaqah dengan kurma tersebut kepada 60 orang miskin. Dari sini kami berpendapat bahwa yang dimaksud memberi makan kepada orang miskin adalah sebanyak satu mud, dan satu mud makanan tersebut bisa diganti dengan puasa satu hari. Adapun kifarat membayar dendabagi orang yangmelakukan pelanggaran karena sakit dan yang sejenisnya, adalahmempakan ta ’abud (peribadatan) yang tidak bisa diqiyas.” Saya katakan kepada orang tadi, “Bukankah Rasulullah SAW memerintahkan Ka’ab bin Ujrah untuk memberikan makanan kepada 6 orang miskin dan masing-masing mendapat dua mud?” Dia menjawab, “Ya.” Saya katakan lagi, “Bukankah Rasulullah SAW memerintahkan kepada Ka’ab bin Ujrah untuk berpuasa 3 hari sebagai ganti memberikan makanan kepada 6 orang miskin tersebut?”Dia menjawab, “Ya.” Saya katakan lagi, “Bukankah beliau SAW juga memerintahkan untuk menyembelih seekor kambing sebagai ganti puasa?” Dia menjawab, “Ya.” Saya katakan, “Dengan demikian, bolehkah kita qiyaskan bahwa puasa satu hari itu sebagai ganti dari memberi makan kepada dua orang miskin?” Dia menjawab, “Ya, boleh.” Saya katakan, “Seandainya kita qiyaskan kambing dengan puasa, bukankah satu ekor kambing itu sebanding dengan puasa 3 hari?” Dia menjawab, “Ya.”
Imam Syafi’i berkata: Saya katakan kepada orang itu bahwa sebagian orang yang dekat dengan kami berpendapat bahwa orang yang tinggal di luar Madinah membayar kifaratnya harus lebih banyak dari pada penduduk Madinah, dengan alasan mereka lebih mudah mendapatkan makanan daripada penduduk Madinah. Orang itu bertanya kepada saya, “Bagaimana komentar Anda terhadap orang-orang yang berpendapat seperti ini?”
Imam Syafi’i berkata: Saya katakan kepadanya, “Tidakkah Anda lihat orang-orang yang hanya memakan beberapa jenis makanan seperti susu, handzal (buah-buahan sejenis timun) dan ikan, dan mereka tidak biasa memakan makanan yang lain, dimana makanan-makanan tersebut lebih mahal harganya dibandingkan di Madinah. Dalam keadaan seperti ini, tentu mereka pantas untuk mengeluarkan denda yang lebih kecil dibandingkan denda yang harus dikeluarkan oleh penduduk Madinah. Mereka boleh membayar kifarat berupa dukhun, yaitu sejenis tanaman yang biasa dimakan oleh seseorang yang hidup di tempat yang gersang atau kering. Mestinya negeri yang kekurangan bahan makanan hingga harga makanan menjadi mahal membayar dengan jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan penduduk Madinah yang harga makanan di sana lebih murah.” Kita katakan kepada orang yang berpendapat seperti di atas, “Apakah Anda melihat ada di antara kewajiban-kewajiban Allah yang dibeda-bedakan untuk masing-masing negeri, misalnya penduduk suatu negeri mendapat suatu keringanan dalam suatu ibadah sementara penduduk yang lain tidak mendapatkannya? Apakah Anda jumpai perbedaan ini dalam masalah shalat, zakat, hukuman dan lain-lain?