Imam Syafi’i berkata: Kami berbeda pendapat dengan sebagian orang, kemudian ia berkata, “Juraij telah mengkhabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab, bahwa Aisyah dan Hafsah berpuasa, lalu seseorang menghadiahkan sesuatu kepada keduanya. Kemudian keduanya menceritakan hal itu kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda, “Berpuasalah sehari pada tempatnya “.
Maka saya bertanya, “Apakah Anda mempunyai hujjah dari riwayat serta atsar yang lain?”
Orang itu menjawab, “Tidak ada dalam ingatanku sekarang ini.”
Imam Syafi’i berkata: Lalu saya bertanya kepada orang itu, “Apakah Anda mau menerima jika saya mengatakan hadits mursal kepadamu yang jumlahnya cukup banyak dan diriyvayatkan dari Ibnu Syihab, Ibnu Munkadir dan para sahabatnya, serta yang lebih tua dari keduanya; seperti Amru bin Dinar, Atha’, Ibnu Musayyab, dan Urwah?”
Orang itu menjawab, “Tidak.”
Lalu saya bertanya kepadanya, “Lalu bagaimana Anda bisa menerima apa yang datang dari Ibnu Syihab yang meriwayatkan hadits mursal, namun dalam permasalahan yang lain Anda tidak menerima darinya dan juga dari para sahabatnya, serta yang lebih tua darinya”
Imam Syafi’i berkata: Sesungguhnya ia telah berbicara kepada saya tentapg hadits Ibnu Syihab, yaitu mengenai perkataan seseorang yang seolah-olah tidak mengetahui. Hadits Ibnu Syihab ini ada pada Ibnu Syihab, dan di dalamnya terdapat sesuatu yang menyalahinya Kami tidak mengetahui tentang orang tsiqah yang menyalahinya, dan yang lebih utama adalah Anda kembali kepada hadits Ibnu Syihab.
Orang itu menjawab, “la melakukan sesuatu berdasarkan hadits Ibnu Syihab.”
Saya mengatakan, “Ya!”
Dikhabarkan kepada kami dari Muslim bin Khalid dari Ibnu Juraij dari Ibnu Syihab bahwa ia berkata, “Hadits yang saya riwayatkan adalah dari Hafsah dan Aisyah, dari Nabi SAW.” Ibnu Juraij berkata, “Lalu saya bertanya kepadanya, apakah Anda mendengar juga dari Urwah bin Az-Zubair?” Ibnu Syihab menjawab, “Tidak, telah dikhabarkan kepada saya tentang hadits itu oleh seorang laki-laki di pintu Abdul Malik bin Marwan atau seorang laki-laki yang duduk bersama Abdul Malik bin Marwan.”
Imam Syafi’i berkata: Saya bertanya kepadanya, “Bagaimanakah pendapatmu apabila engkau melihat argumentasi yang menguatkan hadits mursal, kemudian engkau mengetahui bahwa Ibnu Syihab berkata tentang hadits itu yang tidak saya ceritakan kepadamu, apakah Anda mau menerima hadits itu?”
Orang itu berkata, “Hal ini lemah, sebab ia tidak menjelaskan siapa namanya. Apabila dikenal, maka ia akan menyebutkan nama dan mempercayainya.”
Imam Syafi’i berkata: Orang itu berkata, “Bukankah tidak baik apabila seseorang melaksanakan shalat kemudian ia keluar dari shalat sebelum menyempumakan dua rakaat? Demikian juga pada puasa, apabila ia berpuasa lalu membatalkan puasanya sebelum menyempumakan puasa selama sehari; atau pada thawaf, dimana ia keluar sebelum menyempumakan tujuh kali putaran?”
Saya berkata kepada orang itu, “Anda telah kembali, karena Anda tidak memperoleh alasan terhadap masalah yang Anda pertahankan, sehingga Anda mengikuti perkataan orang yang jahil.”
Orang itu mengatakan, “Apa yang saya katakan adalah lebih baik.”
Lalu saya bertanya kepadanya, “Apakah Anda mengatakan bahwa seseorang hams menyempumakan sualu ibadah yang telah ia mulai?”
Orang itu menjawab, “Ya”
Lalu saya mengatakan, “Yang lebih baik darinya ialah, bahwa ditambahkan padariya dengan berlipat ganda.”
Orang itu menjawab, ‘Ya, benar!”
Saya lalu bertanya, “Apakah Anda mewajibkannya?”
Orang itu menjawab, “Tidak!”
Saya berkata kepadanya, “Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang yang kuat, giat dan tidak ada pekerjaan, ia tidak berpuasa sunah sehari pirn atau ia tidak thawaf sebanyak tujuh kali, atau tidak shalat satu rakaat pun, apakah perbuatannya lebih buruk dari orang yang thawaf lalu tidak menyempumakan thawafnya; dan ia memutuskannya karena suatu udzur, atau dia melakukan hal seperti itu pada shalat dan puasa?”
Orang itu menjawab, “Yang menghalanginya masuk adalah keburukan.”
Saya berkata, “Apakah Anda memerintahkannya apabila ada perbuatan yang lebih buruk, baik hal itu adalah shalat, puasa atau thawaf sunah, sedangkan perintahmu adalah wajib atasnya?”
Orang itu menjawab, “Tidak.”
Saya berkata, “Perkataanmu bukanlah yang terbaik, namun teramat buruk untuk dijadikan argumentasi. Sesungguhnya itu adalah pilihan.”
Orang itu raenjawab, “Ya, pilihan tidak masuk ke dalam tempat argumentasi. Kami telah membolehkan baginya sebelura kami raengatakannya, dan inilah yang kami pilih untuk permasalahan ini.”
Kami berkata, “Kami tidak menyukai apabila seseorang yang sanggup berpuasa, namun ketika datang kewajiban satu bulan unttuk berpuasa, ia tidak berpuasa pada sebagiannya; begitu juga dengan shalat. Kemudian ketika waktu siang dan malam telah tiba, ia tidak mengerjakan shalat kecuali mengerjakan shalat sunah dengan jumlah yang banyak. Tidaklah seseorang menambahkannya kecuali ia akan memperoleh kebaikan, dan tidaklah ia menguranginya kecuali ia akan memperoleh kerugian.”
Akan tetapi tidak boleh bagi seorang yang alim mengatakan kepada seseorang, “Ini adalah aib, ini hal yang enteng, karena memandang enteng dan menganggap aib adalah dengan niat. Terkadang mengeijakan atau tidak mengeijakan bukan karena memandang enteng.”
Orang itu berkata, “Apa yang Anda katakan tentang seseorang yang keluar dari ibadah sunah dalam shalat dan puasa atau thawaf, maka tidak wajib baginya raeng-qadha? Hal ini berdasarkan hadits serta qiyas yang sudah dikenal.”
Saya berkata, “Ya.”
Orang itu berkata, “Sebutkan sebagian yang Anda ingat!”
Kami berkata, “Sufyan telah raengkhabarkan kepada kami dari Thalhah bin Yahya, dari bibinya Aisyah binti Talhah dari Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata; Telah datang kepada saya Rasulullah SAW dan saya berkata, ‘Sesungguhnya kami menyembunyikan atasmu makanan Hals’. Rasulullah berkata, ‘Sesunguhnya saya bermaksud berpuasa, akan tetapi dekatkanlah makanan itu’.”
Imam Syafi’i berkata: Beliau berkata, “Sesungguhnya telah dikatakan bahwa orang itu berpuasa pada hari yang lainnya sebagai pengganti. ’’
Imam Syafi’i berkata: Lalu saya mengatakan kepadanya, “Keterangan seperti itu tidak terdapat dalam hadits yang engkau nukil dari Sufyan. Sekarang aku akan bertanya kepadamu!”
Orang itu berkata, “Tanyakanlah!”
Saya berkata, “Apakah engkau berpendapat bahwa kafarat wajib bagi seseorang yang mulai berpuasa karena ia berbuka? Apakah ia juga harus meag-qadha sebagai gantinya?”
Ia berkata, “Tidak.”
Saya bertanya lagi, “Apakah Anda berpendapat bahwa orang yang masuk pada amalan sunah dengan puasa itu seperti orang yang wajib atasnya? boleh Anda mengatakan bahwa hal itu tidak darurat, lalu ia meng-qadha- nya?”
Orang itu menjawab, “Tidak.”
Saya berkata, “Apabila hal ini terdapat dalam hadits dengan makna yang Anda yakini, maka Anda telah menyalahinya”
Ia berkata, “Apabila hal itu terdapat dalam hadits, maka mungkinkah ada makna lain bahwa ia wajib meng-qadha-nya?”
Saya menjawab, “Ya, mungkin, kalau ia hendak mengerjakan amalan sunah pada suatu hari sebagai gantinya.”
Ia barkata, “Apakah ada keterangan dari Nabi SAW yang menunjuk pada apa yang Anda terangkan?”
Saya menjawab, “Ya, Sufyan telah mengkhabarkan kepada kami dari Ibnu Lubaid, ia berkata; Saya telah mendengar Abu Salmah bin Abdurrahman mengatakan, bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan datang ke Madinah. Ketika berada di atas mimbar, ia berkata, ‘ Wahai Kutsair bin Ash-Shult, pergilah kepada Aisyah dan tanyakanlah kepadanya tentang shalat Rasulullah setelah Ashar’.”
Abu Salamah mengatakan, “Lalu saya pergi bersama Kutsair kepada Aisyah. Ibnu Abbas mengutus Abdullah bin Al Harts bin Naufal bersama dengan kami, lalu ia datang kepada Aisyah dan menanyakan hal itu kepadanya.”
Aisyah berkata kepadanya, “Pergi dan tanyakanlah kepada Ummu Salamah.” Lalu saya pergi bersama dengannya kepada Ummu Salamah, ia bertanya kepadanya dan Ummu Salamah menjawab, “Rasul SAW pemah datang kepadaku pada suatu hari sesudah Ashar, kemudian beliau mengerjakan shalat dua rakaat di samping saya, dan saya belum pemah melihat beliau mengerjakannya.”
Ummu Salamah meneruskan riwayatnya, “Lalu saya bertanya, “Wahai Rasulullah, Engkau telah mengeijakan suatu shalat yang aku belum pemah melihat engkau mengeijakan sebelumnya.” Maka Nabi SAW menjawab.
“Sesungguhnya ketika saya hendak mengerjakan dua rakaat sebelum Zhuhur, datang kepada saya utusan Bani Tamim, atau shadaqah, lalu mereka menyibukkan saya sehingga tidak sempat menegerjakan dari dua rakaat itu, maka inilah dua rakaat itu. ”
Imam Syafi’i berkata: Telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda.
“Amalan yang paling dicintai Allah ialah yang terus-menerus walaupun sedikit.”
Nabi SAW menginginkan amalan yang terus-menerus dikerjakan pada waktunya. Namun tatkala ia disibukkan oleh pekerjaan atau urusan yang lain, maka ia mengerjakannya pada waktu yang terdekat darinya.
Shalat dua rakaat sebelum dan sesudah Ashar bukanlah ibadah yang wajib, akan tetapi merupakan amalan sunah.
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barang siapa luput dari shalat malam, makahendaklah iamengerjakannyaapabilatelah tergelincir matahari, dan itu adalah shalat malam.”
Ini bukan berarti beliau mewajibkan shalat malam dan menyuruh meng-qadha-nya bila lupa atau tidak mengeij akannya, namun ia mengatakan, “Barangsiapa hendak menjaga kontinuitas shalat malamnya, maka hendaklah melakukan hal itu.”
Telah mengkhabarkan kepadakami Sufyan dari Ayyub dari Nafi’, dari Ibnu Umar, bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu bemadzar untuk beritikaf pada masa jahiliyah. Lalu ia bertanya kepada Nabi SAW, maka Nabi memerintahkan agar ia beritikaf dalam Islam atau makna yang seperti ini dan Allah Subhanahu wa Ta ’ala lebih mengetahui. Dalam hal ini Nabi SAW tidak melarangnya bemadzar pada masa jahiliyah.