Imam Syafi’i berkata: Seseorang diperbolehkan untukmenyewakan tanahnya. Begitu juga seorang wakil urusan zakat atau seorang imam, diperbolehkan menyewakan tanah waqaf dan tanah dengan uang dirham, dinar atau yang lainnya dari makanan yang telah ditetapkan sebelum keduanya berpisah. Hal itu sama juga dengan segala sesuatu yang dapat dijadikan upah. Yang demikian ia boleh menangguhkan waktu yang telah ditetapkan.
Jika seseorang menerima tanah dari orang lain untuk beberapa tahun, kemudian ia meminjamkan tanah tersebut kepada orang lain atau menyewakannya, kemudian orang itu (peminjam atau penyewa) bercocok tanam pada tanah tersebut, maka 1/10 (zakatnya) itu atas orang yang menanam dan menurut perjanjian (tanggung jawabnya) atas orang menerima tanah itu.
Demikian juga dengan tanah pajak apabila diterima oleh seseorang dari wali (penguasa), menurut perjanjian tanah itu adalah untuknya. Jika ditanami oleh orang lain atas perintahnya dengan sistem peminjaman atau penyewaan, Maka 1/10 atas orang yang menanam, dan menurut perjanjian (tanggung jawab) itu ada pada orang yang menerima. Jika orang yang menerima menanaminya, maka tangung jawab itu atas orang yang menerima. an bagiannya 1/10 pada tanaman j ika ia orang Islam. Jika ia adalah seorang kafir dzimmi dan bercocok tanam pada tanah pajak, maka yang didapatkannya bukan 1/10.
Sebagaimana apabila imam mempunyai tanah perdamaian dengan orang kafir, lalu ia menanaminya, maka bagiannya bukan 1/10 dari tanamannya itu, karena 1/10 itu adalah zakat. Tidak ada zakat selain atas orang Islam. Apabila dibuka tanah kosong dengan dipaksa atau menggunakan kekerasan, maka semua yang sudah ada padanya adalah bagi orang yang membukanya, dan apa yang ada dari tanah yang diperoleh dengan kekerasan yang masih belum digarap itu bagi orang yang menggarapnya, namun ia harus termasuk kaum muslimin. Rasulullah shalallhu alahi wasallam bersabda, “Barangsiapa menghidupkan (menggarap) tanah mati (yang tidak ada pemiliknya), maka tanah itu menjadi miliknya” Dalam hal ini tidak dibiarkan orang kafir dzimmi untuk menggarapnya Maka, orang kafir dzimmi tidak berhak memiliki (apa yang dimiliki) kaum muslimin.