Penyewaan tanah kosong

Imam Syafl’i berkata: Dibolehkan menyewakan tanah kosong dengan emas, perak dan benda-benda yang lain. Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang penyewaan tanah dengan sebagian yang dihasilkan tanah itu, dan diperbolehkan bagi seseorang untuk menyewakan tanahnya yang kosong dengan tamar dan dengan setiap buah- buahan yang halal untuk dijual. Seseorang diperbolehkan pula menyewakan tanah kosong untuk ditanami gandum atau jagung atau yang lainnya, apabila itu diterima seluruhnya sebelum penyerahan tanah atau bersamaan dengan penyerahannya.

Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menyewa tanah yang mempunyai air dari mata air sungai Nil atau bukan sungai Nil atau dari sumur dengan syarat bahwa tanah itu akan ditanami dan diambil hasilnya pada musim dingin atau panas, kemudian tanah itu ditanaminya untuk salah satu dari dua hasil tadi dan air itu masih ada (setelah penanaman yang pertama), air itu kemudian meresap ke dalam tanah sebelum diambil hasilnya dari penanaman yang kedua, setelah itu orang yang menyewa hendak mengembalikan tanah itu karena hilangnya air tersebut, maka orang itu harus membayar sewa tanah sesuai bagian yang telah ditanaminya, dan terputuslah dari orang itu bagian penanaman kedua setelah hilangnya air itu dan sebelum penanaman itu ada.

Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menyewa tanah untuk ditanami, kemudian tanah itu ditanami atau tidak sampai datang pada tanah itu air sungai Nil, terkena air bah atau suatu bencana, maka batallah penyewaan antara orang yang menyewa dan pemilik tanah pada hari rusaknya tanah tersebut. Apabila sebagian tanah itu rusak dan sebagian lagi tidak rusak dan tetap tidak ditanami, maka pemilik tanaman dapat memilih; apakah mengambil bagiannya yang masih ada dalam penyewaan atau mengembalikan tanah itu (seluruhnya), karena tanah itu tidak diserahkan kepadanya seluruhnya. Jika orang itu (penyewa) sudah menanaminya, maka dibatalkan apa yang hilang dari penyewaan itu, dan ia harus membayar bagian yang sudah ditanaminya dari penyewaan tersebut.

Jika tanah itu dilalui air yang merusak tanamannya, kebakaran, (wabah) belalang atau yang lainnya, maka ini semua adalah bencana atas tanaman bukan atas tanah. Jika demikian, maka penyewaan itu harus tetap berlanjut. Jika ia suka untuk memperbaiki tanamnya, maka (boleh) diperbaiki apabila memungkinkan. Jika tidak mungkin, maka ini adalah bencana yang menimpa tanamannya, bukan bencana yang menimpa tanah.
Apabila seseorang menyewa tanah untuk waktu setahun yang disebutkan atau untuk tahun ini. Lalu ditanami dan dipetik hasilnya, dan masih ada sisa kurang lebih sebulan dari tahun ini, maka pemilik tanah tidak boleh mengambil darinya hingga sempurna tahun penyewaannya. Tidak juga bagi pemilik tanah mengambil semua penyewaan, kecuali telah disempurnakan oleh orang yang menyewa seluruh tahun, yang telah ditentukan masa selesainya.

Apabila seseorang menyewa sebidang tanah dari orang lain untuk ditanami gandum, lalu orang itu ingin menanaminya dengan sya ‘ir (jenis gandum) atau biji-bijian selain gandum, dan jika yang hendak ia tanam itu tidak merusak tanah atau lebih dapat merusak apa yang disyaratkan dari yang hendak ia tanam, maka boleh baginya menanami apa yang dikehendakinya dengan makna ini.

Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menyewa sebidang tanah yang akan ditanaminya dan di tanah itu terdapat sebuah pohon kurma lebih sedikit atau lebih banyak dan pada tanah yang disewanya itu ada bagian tanah yang kosong, lalu tanah kosong itu ditanaminya, maka dia tidak berhak memperoleh buah kurma itu (sedikit atau banyak) buah kurma itu bagi pemilik pohon kurma. Jika ia menyewa sebesar 1000 Dinar, dengan syarat bahwa buah kurma itu untuknya, sementara buah kurma itu seharga 1 Dirham, kurang atau lebih, maka penyewaan itu batal dari segi bahwa ia telah mengadakan satu akad (kontrak).

Dalam kontrak itu ada yang halal dan yang haram baginya. Yang halal adalah penyewaan dan yang haram adalah buah kurma, apabila kontrak ini sebelum buah itu tampak bagus. Jika sesudah terlihat bagusnya buah itu, maka kontrak itu tidak apa-apa, dan ini jika pohon kurma itu sudah ditentukan.

Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menyewa rumah atau sebidang tanah untuk satu tahun dengan penyewaan yang (dihukumi) batal, maka ia tidak boleh menanam (sesuatu) di tanah itu, dan tidak boleh juga mengambil manfaat darinya. Ia juga tidak boleh mendiami rumah tersebut dan mengambil manfaat darinya, kecuali apabila ia sudah menerima penyewaan itu dan telah berlalu satu tahun. Ia juga harus membayar dengan bayaran yang layak, sebagaimana ia harus membayar jika ia mengambil manfaat darinya.

Tidaklah Anda berpendapat, jika penyewaan itu sah, lalu ia tidak mengambil manfaat dengan salah satu dari rumah dan tanah itu sehingga berlalu satu tahun, maka ia harus membayar sewa seluruhnya, seakan-akan ia telah menerimanya dan telah menerima manfaatnya tetapi meninggalkan haknya. Yang demikian itu tidaklah menggugurkan hak pemilik rumah atasnya. Ketika penyewaan itu batal dan penyewa memanfaatkannya, maka ia harus mengembalikannya dengan membayar sewa yang layak. Maka, hukum sewa yang layak dengan kontrak yang batal itu seperti hukum penyewaan dengan kontrak yang sah.

Apabila seseorang menyewa rumah untuk satu tahun dan rumah itu diterima oleh orang yang menyewa, kemudian dirampas oleh orang lain yang ia tidak kuat untuk melawannya, atau dirampas oleh orang yang ia sanggup untuk melawannya, maka kedua kasus ini adalah sama, penyewaan itu dianggap tidak ada.

Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menyewa sebidang tanah atau rumah dari orang Iain dengan penyewaan yang sah, dengan sesuatu yang diketahui selama satu tahun atau lebih, kemudian orang yang menyewa telah menerima apa yang disewanya, maka penyewaan itu adalah harus untuknya; ia harus membayar penyewaan itu ketika menerimanya, kecuali jika disyaratkan pembayarannya dalam suatu waktu tertentu, maka penyerahan sewa itu pada waktu yang telah ditentukan itu. Apabila telah diserahkan kepadanya apa yang disewanya, maka ia telah menerima dengan sempurna. Jika rusak, maka dapat mengembalikan apa yang telah diterimanya dari seluruh penyewaan yang belum diterima.

Imam Syafi’i berkata: Apabila seorang muslim menyewa tanah sepersepuluh bagian atau tanah pajak dari seorang kafir dzimi, maka ia hams membayar zakat dari apa yang dihasilkan oleh tanah itu. Apabila ada yang bertanya, “Apa alasannya?” Maka dapat diijawab; karena Nabi shallallahu alaihi wasallam mengambil zakat dari suatu kaum yang mereka itu adalah kaum muslimin, atau yang menanami tanah itu adalah dari kaum muslimin walaupun mereka bercocok tanam pada tanah yang bukan miliknya. Tanah yang ditanaminya itu asalnya adalah harta fai’ atau ghanimah (rampasan perang). Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung menunjukan firman-Nya kepada orang-orang yang beriman, “Ambillah sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka, untuk membersihkan dan menyucikan mereka. ” (Qs. At-Taubah(9): 103) Ia juga menunjukkan firman-Nya kepada mereka, “Dan bayarlah kewajibannya di hari memetik hasilnya. ” (Qs. Al An‘aam(6): 141)

Ketika tanaman itu adalah dari harta orang Islam dan pemetikannya juga dilakukan oleh orang Islam, maka wajib zakat padanya, dan yang diwaj ibkan adalah dari tanah yang bukan miliknya itu.

Imam Syafi’i berkata: Tidak apa-apa melakukan salaf pada tanah dan rumah, sebelum ia menyewa keduanya dan menerimanya. Tetapi disewanya tanah dan rumah serta menerima keduanya dilakukan di tempatnya, jika tidak ada penghalang antara keduanya. Jika terjadi sesuatu pada salah satu darinya yang menyebabkan kedua benda tersebut tidak bisa dimanfaatkan, maka orang yang menyewa dapat meminta kembali bagian penyewaan itu mulai dari hari terjadinya kejadian itu.

Imam Syafi’i berkata: Setiap apa yang boleh dibeli dengan terpisah, maka boleh bagi kamu untuk menyewanya dengan terpisah, karena penyewaan adalah bagian dari penjualan; dan setiap apa yang tidak boleh bagi kamu untuk membelinya dengan terpisah, maka tidak boleh juga bagi kamu untuk menyewanya dengan terpisah, walaupun ada seseorang yang menyewa sebidang tanah kosong dari orang lain untuk ditanami pohon yang tegak berdiri (pohon besar) dengan syarat bahwa pohon dan tanahnya itu untuk dirinya. Jika dari pohon itu terdapat buahnya yang sudah matang, masih lembut atau tidak berbuah sama sekali, maka penyewaan ini diperbolehkan, sebagaimana penjualan dalam hal ini yang juga dibolehkan.

Imam Syafi’i berkata: Penyewaan itu adalah bagian dari penjualan, maka tidak mengapa menyewa seorang budak selama satu tahun dengan bayaran 5 Dinar. Lalu Anda menyegerakan pembayaran uang dinar itu, atau Anda menyewanya selama setahun, 2 tahun atau 10 tahun. Hal itu tidak mengapa jika Anda membayar 5 Dinar secara tunai, dan Anda dapat menyewakan budak Anda kepada pemilik dinar apabila ia telah menerima budak tersebut. Ini bukan suatu utang atas utang. Hukum bagi orang yang menyewa adalah menyerahkan (ongkos) kepada orang yang menyewakan dengan tunai dan selama pemilik budak itu telah menyempurnakan penyewaannya dalam waktu yang tidak ditentukan.

Jika tidak ditetapkan hukum seperti ini, maka tidak boleh dilakukan penyewaan dengan utang untuk selamanya-Iamanya karena hal ini adalah utang dengan utang, dan saya tidak mengenal cara yang membolehkannya.
Jika saya mengatakan “Tidaklah wajib penyewaan itu, selain dengan apa yang diterima oleh orang yang menyewa karena manfaat yang diambil dari harta yang ada”, maka penyewaan itu adalah akad (kontrak) dan pengambilan manfaat, dan itu adalah utang. Maka, ini adalah utang dengan utang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *