Imam Syafi’i berkata: Dari Rafi’ bin Khadij, ia berkata: Kami bertanya kepada Rasulullah SAW.
“Wahai Rasulullah, besok kami akan bertemu musuh, sedangkan kami tidak mempunyai alat (untuk menyembelih binatang). Bolehkah kami menyembelih binatang dengan busur?” Nabi SAW menjawab, “Alat apapun yang bisa mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelih, maka makanlah sembelihan itu, kecuali alat untuk menyembelih yang berupa gigi atau kuku, karena gigi termasuk tulang manusia sedangkan kuku adalah alat untuk memotong (bukan untuk menyembelih).
Imam Syafl’i berkata: Apabila seseorang memanah seekor binatang buruan, kemudian binatang tersebut terluka atau patah sayapnya sehingga tidak dapat melarikan din, lalu datang orang lain untuk memanah binatang tersebut hingga mati, maka binatang tersebut haram hukumnya. Orang kedua yang memanah hewan tersebut wajib membayar ganti rugi kepada pemanah pertama seharga binatang tersebut dalam keadaan terpanah dan terluka atau patah sayapnya (dalam keadaan dimana hewan tersebut dipanah olehnya).
Hal ini karena orang kedua telah membinasakan buruan yang sudah menjadi milik orang lain. Seandainya orang kedua menangkap buruan tadi kemudian ia sempat menyembelihnya, maka binatang tersebut halal dimakan dan menjadi hak milik pemanah pertama, dan pemanah kedua wajib membayar ganti rugi terhadap turunnya harga binatang tersebut akibat panah yang ia lemparkan.
Apabila hewan tersebut masih bisa melarikan diri dengan cara terbang (jika dia berupa burung) atau berlari (jika dia berupa binatang buruan darat) ketika dipanah oleh orang pertama, kemudian datang orang kedua memanah binatang tersebut sehingga binatang itu tidak sanggup mempertahankan diri, maka dalam hal ini binatang tersebut menjadi hak milik pemanah kedua. Seandainya dalam keadaan seperti ini (binatang tersebut tidak berdaya akibat terkena panah kedua) lalu orang pertama memanah lagi binatang tersebut hingga mati, maka orang pertama wajib membayar ganti rugi kepada orang kedua, karena binatang tersebut sudah menjadi milik orang kedua.
Seandainya binatang tersebut dipanah oleh orang pertama dan orang kedua secara bersamaan, kemudian binatang tersebut masih bisa melarikan diri, lalu datang orang ketiga memanah binatang tersebut sehingga binatang itu tidak sanggup lagi melarikan diri, maka binatang tersebut menjadi milik orang ketiga, bukan dua orang pertama. Dalam keadaan seperti ini apabila dua orang pertama memanah hewan itu lagi sampai mati, maka dua orang pertama tersebut harus membayar ganti rugi kepada orang ketiga.
Imam Syafl’i berkata: Apabila hewan tersebut dipanah oleh orang pertama dan orang kedua, kemudian tidak diketahui mana di antara dua anak panah tersebut yang menyebabkan hewan itu tidak bisa melarikan diri, maka dalam hal ini hewan tersebut dibagi menjadi dua (masing-masing mendapat setengah dan hewan tersebut). Hal ini juga berlaku bagi dua orang yang membunuh (binatang buruan) secara bersama-sama dan pembunuhan tersebut merupakan pembunuhan yang dianggap sebagai ganti penyembelihan, kecuali apabila diketahui mana di antara dua pemburu tersebut yang menyebabkan hewan itu tidak bisa melarikan diri.
Apabila seseorang memanah seekor burung yang sedang terbang, lalu burung tersebut terluka dan berdarah atau lebih dan itu, kemudian jatuh di atas tanah lalu kita mendapatinya dalam keadaan sudah mati, dan kita tidak tahu apakah dia mati di udara atau mati setelah terjatuh atau terbanting di atas tanah, maka dalam keadaan seperti ini burung tersebut halal dimakan, karena burung tersebut merupakan hewan buruan yang halal dimakan. Demikian juga (halal hukumnya) apabila burung tersebut terjatuh di atas bukit atau di atas benda keras lainnya, lalu badannya tidak bergerak sedikitpun sampai dipungut.
Akan tetapi jika burung tersebut jatuh di atas sebuah bukit lalu bergeser dari tempat jatuhnya walaupun pergeseran itu hanya sedikit, maka dalam hal ini burung tersebut tidak halal dimakan, kecuali apabila sempat disembelih atau diketahui dengan pasti bahwa burung tersebut mati sebelum bergeser, atau diketahui bahwa panah tersebut telah memutuskan kepalanya (mengenainya) dan memutuskan dua syarat penyembelihan (memutuskan tenggorokan dan kerongkongan), dalam keadaan seperti ini betul-betul diyakini bahwa binatang tersebut mati dalam keadaan seperti disembelih.
Apabila seseorang memanah binatang buruan tapi ternyata panah tersebut mengenai binatang buruan yang lain, atau mengenai binatang buruan yang dimaksud dimana panah tersebut menembus badannya lalu mengenai binatang yang lain, maka dalam keadaan seperti ini kedua binatang tersebut halal dimakan. Begitu juga binatang manapun yang terkena panah yang sudah diniatkan untuk berburu, dan si pemanah telah melihat hewan-hewan buruan tersebut, maka hewan-hewan tersebut halal dimakan.
Apabila seseorang melempar binatang buruan dengan batu atau ketapel, lalu batu tersebut merobek badannya atau tidak merobeknya, maka binatang tersebut tidak halal dimakan kecuali apabila sempat disembelih, karena pada umumnya batu dan ketapel tersebut hanya bisa melempar, tidak bisa melukai. Kalaupun seekor binatang mati karena lemparan batu, maka hal itu lebih diakibatkan oleh beratnya batu tersebut, bukan karena luka yang diderita oleh binatang tersebut. Dan, batu bukan merupakan senjata yang boleh dipakai untuk menyembelih.
Apabila seseorang melempar binatang buruan dengan ma ’aridh (sepotong kayu yang berat atau tongkat yang kadang-kadang ujungnya dilapisi dengan besi) kemudian mengenai badan binatang buruan dengan keras, lalu binatang tersebut mati, maka binatang itu dianggap mati terlempar dan tidak halal dimakan. Begitu juga apabila seseorang melempar binatang buruan dengan tongkat atau balok, maka hal itu merupakan lemparan (bukan penyembelihan) dan binatangnya haram dimakan.