Pengguguran Kandungan yang Didasarkan Pada Diagnosis Penyakit Janin 1

Segala  puji  kepunyaan  Allah.  Shalawat  dan  salam   semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba’du.
Diantara kewajiban ahli fiqih muslim ialah berhenti di hadapan beberapa persoalan yang dihadapinya untuk menetapkan  beberapa hakikat penting, antara lain:
Bahwa kehidupan janin (anak dalam kandungan) menurut pandangan syariat Islam merupakan kehidupan yang harus dihormati, dengan menganggapnya  sebagai  suatu  wujud  yang  hidup  yang  wajib dijaga, sehingga syariat  memperbolehkan  wanita  hamil  untuk berbuka  puasa  (tidak  berpuasa)  pada bulan Ramadhan, bahkan kadang-kadang  diwajibkan  berbuka  jika  ia   khawatir   akan keselamatan    kandungannya.    Karena   itu   syariat   Islam mengharamkan tindakan melampaui  batas  terhadapnya,  meskipun yang   melakukan   ayah   atau   ibunya   sendiri  yang  telah mengandungnya dengan susah payah.  Bahkan  terhadap  kehamilan yang  haram –yang dilakukan dengan jalan perzinaan– janinnya tetap tidak boleh  digugurkan,  karena  ia  merupakan  manusia hidup yang tidak berdosa:

“… Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain …” (al-Isra’: 15)

Selain itu,  kita  juga  mengetahui  bahwa  syara’  mewajibkan penundaan pelaksanaan hukum qishash terhadap wanita hamil yang dijatuhi jenis hukuman ini demi menjaga janinnya,  sebagaimana kisah  wanita  al-Ghamidiyah  yang  diriwayatkan  dalam  kitab sahih. Dalam hal ini syara’ memberi jalan kepada  waliyul-amri (pihak  pemerintah)  untuk  menghukum  wanita tersebut, tetapi tidak memberi jalan untuk menghukum janin yang  ada  di  dalam kandungannya.
Seperti  kita lihat juga bahwa syara’ mewajibkan membayar diat (denda) secara sempurna kepada seseorang  yang  memukul  perut wanita  yang  hamil, lalu dia melahirkan anaknya dalam keadaan hidup, namun akhirnya mati karena akibat pukulan  tadi.  Ibnul Mundzir mengutip kesepakatan ahli ilmu mengenai masalah ini.2
Sedangkan  jika  bayi  itu  lahir dalam keadaan mati, maka dia tetap dikenakan denda karena kelengahannya (ghirrah),  sebesar seperdua puluh diat.
Kita  juga melihat bahwa syara’ mewajibkan si pemukul membayar kafarat disamping  diat  dan  ghirrah yaitu  memerdekakan seorang  budak  yang  beriman,  jika tidak dapat maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Bahkan hal  itu  diwajibkan atasnya, baik janin itu hidup atau mati.
Ibnu  Qudamah  berkata, “Inilah pendapat kebanyakan ahli ilmu, dan pendapat ini juga  diriwayatkan  dari  Umar  r.a..  Mereka berdalil dengan firman Allah:
… dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (tidak sengaja) hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yangmukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah; dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (an-Nisa’: 92)

Mereka berkata,  “Apabila  wanita  hamil  meminum  obat  untuk menggugurkan kandungannya, maka ia wajib membayar denda, tidak boleh mewarisi sesuatu daripadanya (sebab orang yang  membunuh tidak  boleh  mewarisi  sesuatu  dari yang dibunuh), dan wajib memerdekakan seorang budak. Denda tersebut hendaklah diberikan kepada ahli waris si janin. Semua sanksi itu dikenakan padanya karena ia telah melakukan perbuatan jahat  yaitu  menggugurkan janin.  Sedangkan  memerdekakan  budak  merupakan kafarat bagi tindak kejahatannya.  Demikian  pula  jika  yang  menggugurkan janin  itu  ayahnya  maka  si ayah harus membayar denda, tidak boleh mewarisi sesuatu  daripadanya,  dan  harus  memerdekakan budak.”3

Jika  tidak  mendapatkan  budak (atau tidak mampu memerdekakan budak),   maka   ia   harus   berpuasa   selama   dua    bulan berturut-turut, sebagai cara tobat kepada Allah SWT.

Lebih  dari  itu  adalah  perkataan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla mengenai pembunuhan  janin  setelah  ditiupkannya  ruh,  yakni setelah  kandungan berusia seratus dua puluh hari, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih. Ibnu Hazm  menganggap  tindakan ini  sebagai  tindak  kejahatan pembunuhan dengan sengaja yang mewajibkan pelakunya menanggung segala risiko,  seperti  hukum qishash dan lain-lainnya. Beliau berkata:

“Jika  ada  orang  bertanya, ‘Bagaimana pendapat Anda mengenai seorang  perempuan  yang  sengaja  membunuh  janinnya  setelah kandungannya  berusia  seratus dua puluh hari, atau orang lain yang  membunuhnya  dengan  memukul  (atau  tindakan  apa  pun) terhadap perut si perempuan itu untuk membunuh si janin?’ Kami jawab bahwa sebagai hukumannya wajib dikenakan hukum  qishash, tidak  boleh  tidak, dan ia tidak berkewajiban membayar denda. Kecuali jika dimaafkan, maka dia wajib membayar  ghirrah  atau denda  saja  karena  itu  merupakan  diat,  tetapi tidak wajib membayar kafarat karena hal itu  merupakan  pembunuhan  dengan sengaja.  Dia  dikenakan hukuman qishash karena telah membunuh suatu  jiwa  (manusia)  yang  beriman  dengan  sengaja,   maka menghilangkan  (membunuh)  jiwa  harus  dibalas dengan dibunuh pula. Meski  demikian,  keluarga  si  terbunuh  mempunyai  dua alternatif,  menuntut  hukum  qishash  atau  diat, sebagaimana hukum yang ditetapkan  Rasulullah  saw.  terhadap  orang  yang membunuh orang mukmin. Wa billahit taufiq.”
Mengenai   wanita   yang   meminum   obat  untuk  menggugurkan kandungannya, Ibnu Hazm berkata:
“Jika anak itu belum ditiupkan  ruh  padanya,  maka  dia  (ibu tersebut)  harus membayar ghirrah. Tetapi jika sudah ditiupkan ruh padanya –bila wanita itu tidak sengaja membunuhnya– maka dia  terkena  ghirrah  dan kafarat. Sedangkan jika dia sengaja membunuhnya, maka dia dijatuhi  hukum  qishash  atau  membayar tebusan dengan hartanya sendiri.”4
Janin  yang  telah  ditiupkan  ruh  padanya,  oleh  Ibnu  Hazm dianggap sebagai sosok  manusia,  sehingga  beliau  mewajibkan mengeluarkan   zakat   fitrah   untuknya.  Sedangkan  golongan Hanabilah hanya memandangnya mustahab, bukan wajib.
Semua itu menunjukkan kepada  kita  betapa  perhatian  syariat terhadap   janin,   dan   betapa  ia  menekankan  penghormatan kepadanya, khususnya  setelah  sampai  pada  tahap  yang  oleh hadits  disebut  sebagai  tahapan  an-nafkhu fir-ruh (peniupan ruh). Dan ini merupakan perkara gaib yang  harus  kita  terima begitu  saja,  asalkan  riwayatnya  sah,  dan  tidak usah kita memperpanjang pembicaraan tentang hakikatnya, Allah berfirman:

“… dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (al-Isra’: 85)
Saya kira, hal itu bukan semata-mata  kehidupan  yang  dikenal seperti   kita   ini,   meskipun  para  pensyarah  dan  fuqaha memahaminya  demikian.  Hakikat  yang  ditetapkan  oleh   ilmu pengetahuan  sekarang  secara meyakinkan ialah bahwa kehidupan telah terjadi sebelum itu, hanya saja bukan kehidupan  manusia yang  diistilahkan  oleh hadits dengan “peniupan ruh.” Hal ini ditunjuki oleh isyarat Al- Qur’an:
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)-nya ruh (ciptaan)-Nya …” (as-Sajdah: 9)
Tetapi  diantara  hadits-hadits  sahih  terdapat  hadits  yang tampaknya   bertentangan   dengan   hadits  Ibnu  Mas’ud  yang menyebutkan diutusnya malaikat untuk meniup ruh  setelah  usia kandungan  melampaui  masa  tiga  kali  empat  puluh hari (120hari).
Imam  Muslim  meriwayatkan  dalam   Shahih-nya   dari   hadits Hudzaifah  bin  Usaid,  ia  berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
Apabila nutfah telah berusia empat puluh dua malam, maka Allah mengutus malaikat, lalu dibuatkan bentuknya, diciptakan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian malaikat bertanya, ra Rabbi, laki-laki ataukah perempuan?’ Lalu Rabb-mu menentukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan malaikat menulisnya, kemudian dia (malaikat) bertanya, Ya Rabbi, bagaimana ajalnya?’ Lalu Rabb-mu menetapkan sesuaidengan yang dikehendaki-Nya, dan malaikat menulisnya. Kemudian ia bertanya, ‘Ya Rabbi, bagaimana rezekinya?’ Lalu Rabb-mu menentukan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, dan malaikat menulisnya. Kemudian malaikat itu keluar dengan membawa lembaran catatannya, maka ia tidak menambah dan tidak mengurangi apa yang diperintahkan itu.”5
Hadits ini menjelaskan diutusnya malaikat dan dibuatnya bentuk bagi  nutfah  setelah  berusia  enam  minggu  (empat puluh dua hari)6  bukan  setelah  berusia   seratus   dua   puluh   hari sebagaimana  disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud yang terkenal itu.  Sebagian  ulama  mengompromikan  kedua  hadits  tersebut dengan  mengatakan  bahwa  malaikat  itu diutus beberapa kali, pertama pada waktu nutfah berusia empat puluh hari,  dan  kali lain  pada waktu berusia empat puluh kali tiga hari (120 hari) untuk meniupkan ruh. Karena  itu  para   fuqaha   telah   sepakat   akan   haramnya menggugurkan kandungan setelah ditiupkannya ruh padanya. Tidak ada seorang  pun  yang  menentang  ketetapan  ini,  baik  dari kalangan salaf maupun khalaf.8
Adapun  pada  tahap  sebelum  ditiupkannya  ruh, maka diantara fuqaha ada yang memperbolehkan menggugurkan kandungan  sebelum ditiupkannya   ruh   itu,  sebagian  saudara  kita  yang  ahli kedokteran dan anatomi mengatakan,  “Sesungguhnya  hukum  yang ditetapkan  para  ulama  yang  terhormat  itu  didasarkan atas pengetahuan mereka pada waktu itu. Andaikata mereka mengetahui apa  yang  kita  ketahui  sekarang  mengenai  wujud hidup yang membawa ciri-ciri  keturunan  (gen)  kedua  orang  tuanya  dan keluarganya serta jenisnya, niscaya mereka akan mengubah hukum dan fatwa mereka  karena  mengikuti  perubahan  ‘illat  (sebab hukum),  karena  hukum  itu  berputar menurut ‘illat-nya, pada waktu ada dan tidak adanya ‘illat.”
Diantara kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah bahwa di  kalangan  ahli  kandungan  dan  anatomi  sendiri  terdapat perbedaan pendapat sebagaimana halnya para fuqaha di dalam menetapkan kehidupan janin pada tahap pertama: sebelum berusia 42 hari dan sebelum 120 hari. Perbedaan  diantara  mereka  ini juga memperkokoh perbedaan pendapat para fuqaha mengenai janin sebelum berusia 40 hari dan sebelum 120 hari.
Barangkali ini merupakan  rahmat  Allah  kepada  manusia  agar udzur dan darurat itu mempunyai tempat.
Maka   tidak   apalah  apabila  saya  sebutkan  sebagian  dari perkataan fuqaha mengenai persoalan ini:
Syekhul  Islam  al-Hafizh  Ibnu  Hajar   didalam   Fathul-Bari menyinggung    mengenai    pengguguran   kandungan   setelah membicarakan  secara  panjang  lebar  mengenai  masalah   ‘azl (mencabut  zakar  untuk menumpahkan sperma di luar vagina pada waktu ejakulasi) serta perbedaan pendapat ulama tentang  boleh dan  tidaknya  melakukan  hal  itu,  yang pada akhirnya beliau cenderung memperbolehkannya karena tidak kuatnya  dalil  pihak yang melarangnya. Beliau berkata:
“Dan terlepas dari hukum ‘azl ialah hukum  wanita  menggunakan obat  untuk  menggugurkan  (merusak)  nutfah  (embrio) sebelum ditiupkannya  ruh.  Barangsiapa  yang   mengatakan   hal   ini terlarang,  maka  itulah  yang  lebih  layak;  dan  orang yang memperbolehkannya, maka hal itu dapat disamakan  dengan  ‘azl. Tetapi  kedua  kasus  ini dapat juga dibedakan, bahwa tindakan perusakan nutfah itu lebih berat, karena  ‘azl  itu  dilakukan sebelum  terjadinya  sebab  (kehidupan),  sedangkan  perusakan nutfah  itu  dilakukan  setelah  terjadinya  sebab   kehidupan (anak).”9
Sementara  itu,  diantara  fuqaha  ada  yang membedakan antara kehamilan yang berusia kurang dari empat puluh hari  dan  yang berusia   lebih   dari   empat   puluh   hari.   Lalu   mereka memperbolehkan menggugurkannya bila belum berusia empat  puluh hari,  dan  melarangnya  bila  usianya  telah lebih dari empat puluh hari. Barangkali yang menjadi pangkal perbedaan pendapat mereka  adalah  hadits  Muslim  yang  saya  sebutkan  di atas. Didalam kitab Nihayah al-Muhtaj, yang  termasuk  kitab  mazhab Syafi’i, disebutkan dua macam pendapat para ahli ilmu mengenai nutfah sebelum genap empat puluh hari:
“Ada yang  mengatakan  bahwa  hal  itu  tidak  dapat  dihukumi  sebagai  pengguguran  dan pembunuhan. Ada pula yang mengatakan  bahwa nutfah harus dihormati, tidak boleh dirusak,  dan  tidak   boleh melakukan upaya untuk mengeluarkannya setelah ia menetap di dalam rahim (uterus).”10
Diantara fuqaha ada pula yang membedakan antara tahap  sebelum penciptaan  janin  dan tahap sesudah penciptaan (pembentukan). Lalu  mereka  memperbolehkan  aborsi   (pengguguran)   sebelum pembentukan dan melarangnya setelah pembentukan.

Didalam  an-Nawadir,  dari  kitab  mazhab  Hanafi, disebutkan, “Seorang  wanita  yang   menelan   obat   untuk   menggugurkan kandungannya,    tidaklah    berdosa   asalkan   belum   jelas bentuknya.”11
Didalam kitab-kitab  mereka  juga  mereka  ajukan  pertanyaan: bolehkah  menggugurkan kandungan setelah terjadinya kehamilan? Mereka menjawab: Boleh, asalkan belum berbentuk.
Kemudian di tempat  lain  mereka  berkata,  “Tidaklah  terjadipembentukan   (penciptaan)  melainkan  setelah  kandungan  itu berusia seratus dua puluh hari. ”
Muhaqqiq (ulama ahli menetapkan hukum) mazhab Hanafi, al-Kamal bin  al-Hammam, berkata, “Ini berarti bahwa yang mereka maksud dengan penciptaan atau pembentukan itu ialah ditiupkannya ruh, sebab  jika  tidak demikian berarti keliru, karena pembentukan itu telah dapat disaksikan sebelum waktu itu.”12
Perkataan al-Allamah (al-Kamal) ini adalah benar, diakui  oleh ilmu pengetahuan sekarang.
Sedangkan pernyataan mereka yang mutlak itu memberi pengertianbahwa kebolehan menggugurkan kandungan  itu  tidak  bergantung pada  izin  suami. Hal ini dinyatakan di dalam kitab ad-Durrul Mukhtar:   “Mereka   berkata,   ‘Diperbolehkan    menggugurkan kandungan  sebelum  berusia  empat  bulan, meskipun tanpa izin suami.'”
Namun demikian, diantara  ulama  Hanafiyah  ada  yang  menolak hukum  yang  memperbolehkan  pengguguran  secara  mutlak  itu, mereka berkata, “Saya tidak  mengatakan  halal,  karena  orang yang  sedang  ihram  saja  apabila memecahkan telur buruan itu harus  menggantinya,  karena  itulah   hukum   asal   mengenai  pembunuhan.  Kalau  orang  yang melakukan ihram saja dikenakan hukuman pembalasan, maka tidak kurang dosanya bagi orang  yang menggugurkan kandungan tanpa udzur.”
Diantara  mereka  ada  pula yang mengatakan makruh, karena air (sperma) setelah masuk ke rahim belumlah hidup tapi  mempunyai hukum  sebagai  manusia  hidup,  seperti halnya telur binatang buruan  pada  waktu  ihram.  Karena  itu  ahli  tahqiq  mereka berkata,  “Maka  kebolehan  menggugurkan  kandungan  itu harus diartikan karena dalam keadaan udzur, atau  dengan  pengertian bahwa ia tidak berdosa seperti dosanya membunuh.”13
Akan tetapi, kebanyakan ulama menentang pendapat ini dan tidak memperbolehkan pengguguran, meskipunsebelum ditiupkannya ruh.
Hal ini disebabkan adanya segolongan ulama yang melarang  ‘azl dan  mereka  anggap  hal  ini sebagai “pembunuhan terselubung” sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. Mereka beralasan bahwa  ‘azl  berarti  menghalangi  sebab-sebab kehidupan untuk menuju realitas atau perwujudannya. Karena itu mereka melarang menggugurkan  kandungan dan mengharamkannya dengan jalan qiyas aulawi (maksudnya, kalau ‘azl saja terlarang, maka pengguguran lebih  terlarang  lagi),  karena  sebab-sebab kehidupan disini telah terjadi dengan bertemunya sperma  laki-laki  dengan  sel telur  perempuan  dan  terjadinya  pembuahan  yang menimbulkan wujud makhluk baru yang  membawa  sifat-sifat  keturunan  yang hanya Allah yang mengetahuinya.
Tetapi  ada  juga  ulama-ulama yang memperbolehkan ‘azl karena alasan-alasan yang berhubungan dengan ibu atau  anaknya  (yang baru  dilahirkan), atau bisa juga karena pertimbangan keluarga untuk  kebaikan  pendidikan  anak-anak,  atau  lainnya.  Namun demikian, mereka tidak memperbolehkan aborsi (pengguguran) dan menyamakannya dengan pembunuhan terselubung, meskipun  tingkat kejahatannya berbeda.
Diantara  yang  berpendapat begitu ialah Imam al-Ghazali. Saya lihat beliau  –meskipun  beliau  memperbolehkan  ‘azl  dengan alasan-alasan  yang  akurat menurut beliau– membedakan dengan jelas   antara   menghalangi   kehamilan   dengan   ‘azl   dan menggugurkan kandungan setelah terwujud, dengan mengatakan:
“Hal  ini –mencegah kehamilan dengan ‘azl– tidak sama dengan pengguguran dan pembunuhan terselubung;  sebab  yang  demikian (pengguguran  dan  pembunuhan  terselubung)  merupakan  tindak kejahatan terhadap suatu wujud yang telah ada, dan  wujud  itu mempunyai  beberapa  tingkatan.  Tingkatan  yang pertama ialah masuknya nutfah (sperma) ke dalam rahim, dan bercampur  dengan air   (mani)  perempuan  (ovum),  serta  siap  untuk  menerima kehidupan.  Merusak  keadaan  ini   merupakan   suatu   tindak kejahatan. Jika telah menjadi segumpal darah atau daging, maka kejahatan terhadapnya  lebih  buruk  lagi  tingkatannya.  Jika telah  ditiupkan  ruh  padanya dan telah sempurna kejadiannya, maka tingkat kejahatannya bertambah tinggi pula.  Dan  sebagai puncak  kejahatan  terhadapnya  ialah  membunuhnya  setelah ia lahir dalam keadaan hidup.”14

Perlu  diperhatikan,  bahwa   Imam   al-Ghazali   rahimahullah menganggap pengguguran sebagai tindak kejahatan terhadap wujud manusia  yang  telah  ada,  tetapi  beliau   juga   menganggap pertemuan   sperma   dengan   ovum   sebagai   “siap  menerima kehidupan.”
Nah, bagaimanakah persepsi beliau seandainya beliau  tahu  apa yang  kita  ketahui  sekarang  bahwa  kehidupan  telah terjadi semenjak bertemunya sel  sperma  laki-laki  dengan  sel  telur wanita?
Karena  itu  saya  katakan, “Pada dasarnya hukum aborsi adalah haram, meskipun keharamannya bertingkat-tingkat sesuai  dengan perkembangan kehidupan janin.”
Pada usia empat puluh hari pertama tingkat keharamannya paling ringan, bahkan kadang-kadang  boleh  digugurkan  karena  udzur yang  muktabar  (akurat); dan setelah kandungan berusia diatas empat puluh hari maka keharaman menggugurkannya semakin  kuat, karena  itu  tidak  boleh digugurkan kecuali karena udzur yang lebih kuat lagi menurut ukuran  yang  ditetapkan  ahli  fiqih. Keharaman  itu  bertambah  kuat  dan  berlipat  ganda  setelah kehamilan berusia seratus dua puluh  hari,  yang  oleh  hadits diistilahkan telah memasuki tahap “peniupan ruh.”
Dalam  hal  ini  tidak  diperbolehkan  menggugurkannya kecuali dalam  keadaan  benar-benar  sangat  darurat,  dengan   syarat kedaruratan  yang  pasti, bukan sekadar persangkaan. Maka jika sudah pasti, sesuatu yang  diperbolehkan  karena  darurat  itu harus diukur dengan kadar kedaruratannya.
Menurut  pendapat  saya, kedaruratan disini hanya tampak dalam satu bentuk saja, yaitu  keberadaan  janin  apabila  dibiarkan akan   mengancam   kehidupan  si  ibu,  karena  ibu  merupakan pangkal/asal kehidupan janin, sedangkan  janin  sebagai  fara’ (cabang). Maka tidak boleh mengorbankan yang asal (pokok) demi kepentingan cabang. Logika ini disamping sesuai dengan  syara’ juga cocok dengan akhlak etika kedokteran, dan undang-undang.
Tetapi  ada juga diantara fuqaha yang menolak pendapat itu dan tidak memperbolehkan tindak kejahatan  (pengguguran)  terhadap janin  yang  hidup  dengan alasan apa pun. Didalam kitab-kitab mazhab Hanafi disebutkan
“Bagi wanita hamil yang posisi anak didalam perutnya melintang dan     tidak     mungkin     dikeluarkan    kecuali    dengan memotong-motongnya,  yang  apabila  tidak  dilakukan  tindakan seperti ini dikhawatirkan akan menyebabkan kematian si ibu … mereka  berpendapat,  ‘Jika  anak  itu  sudah  dalam   keadaan meninggal, maka tidak terlarang memotongnya; tetapi jika masih hidup maka tidak boleh memotongnya karena  menghidupkan  suatu jiwa  dengan  membunuh jiwa lain tidak ada keterangannya dalam syara’.'”15
Meskipun demikian, dalam hal ini sebenarnya terdapat peraturan syara’,  yaitu memberlakukan mana yang lebih ringan mudaratnya dan lebih kecil mafsadatnya.
Sementara itu, sebagian ulama masa kini membuat gambaran  lain dari kasus di atas, yaitu:
“Adanya  ketetapan  secara  ilmiah yang menegaskan bahwa janin –sesuai dengan sunnah Allah Ta’ala– akan menghadapi  kondisi yang  buruk dan membahayakan, yang akan menjadikan tersiksanya kehidupannya dan keluarganya, sesuai dengan kaidah:
“Bahaya itu ditolak sedapat mungkin.”

Tetapi  hendaknya  hal  ini  ditetapkan  oleh  beberapa  orang dokter, bukan cuma seorang.
Pendapat  yang  kuat  menyebutkan  bahwa  janin  setelah genap berusia empat bulan adalah manusia hidup yang  sempurna.  Maka melakukan  tindak  kejahatan terhadapnya sama dengan melakukan tindak kejahatan terhadap anak yang sudah dilahirkan.
Adalah merupakan kasih sayang Allah bahwa janin yang mengalami kondisi  yang  sangat  buruk  dan  membahayakan biasanya tidak bertahan hidup setelah  dilahirkan,  sebagaimana  sering  kita saksikan,  dan  sebagaimana  dinyatakan oleh para spesialisnya sendiri.
Hanya saja para dokter sering tidak tepat dalam menentukannya. Saya  kemukakan  disini  suatu  peristiwa  yang  saya terlibat didalamnya, yang  terjadi  beberapa  tahun  silam.  Yaitu  ada seorang  teman  yang  berdomisili  di  salah satu negara Barat meminta  fatwa  kepada  saya  sehubungan  para  dokter   telah menetapkan  bahwa janin yang dikandung istrinya –yang berusia lima bulan– akan lahir dalam  kondisi  yang  amat  buruk.  Ia menjelaskan  bahwa  pendapat  dokter-dokter  itu hanya melalui dugaan yang kuat, tidak  ditetapkan  secara  meyakinkan.  Maka jawaban  saya  kepadanya, hendaklah ia bertawakal kepada Allah dan menyerahkan ketentuan  urusan  itu  kepadaNya,  barangkali dugaan  dokter  itu  tidak  tepat. Tidak terasa beberapa bulan berikutnya saya menerima sehelai kartu dari Eropa yang  berisi foto  seorang  anak  yang  molek  yang  disertai komentar oleh ayahnya yang berbunyi demikian:
“Pamanda yang terhormat,

Saya berterima kasih kepadamu sesudah bersyukur  kepada  Allah Ta’ala,  bahwa  engkau telah menyelamatkanku (keluargaku) dari  pisau  para  dokter  bedah.  Fatwamu   telah   menjadi   sebab  kehidupanku,  karena  itu saya tidak akan melupakan kebaikanmu  ini selama saya masih hidup.”

Kemajuan  ilmu  kedokteran  sekarang  telah  mampu  mendeteksi kerusakan  (cacat)  janin  sebelum berusia empat bulan sebelum mencapai tahap  ditiupkannya  ruh.  Namun  demikian,  tidaklah dipandang  akurat  jika  dokter  membuat  dugaan bahwa setelah lahir nanti si janin (anak)  akan  mengalami  cacat  –seperti buta,  tuli, bisu– dianggap sebagai sebab yang memperbolehkan digugurkannya  kandungan.  Sebab   cacat-cacat   seperti   itu merupakan  penyakit  yang  sudah  dikenal  di  masyarakat luas sepanjang kehidupan manusia dan disandang banyak  orang,  lagi pula  tidak  menghalangi  mereka  untuk bersamasama orang lain memikul  beban  kehidupan  ini.  Bahkan  manusia  banyak  yang mengenal  (melihat)  kelebihan para penyandang cacat ini, yang nama-nama mereka terukir dalam sejarah.
Selain itu, kita tidak boleh mempunyai  keyakinan  bahwa  ilmu pengetahuan  manusia  dengan segala kemampuan dan peralatannya akan dapat mengubah tabiat kehidupan manusia yang diberlakukan Allah sebagai ujian dan cobaan

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya …” (al-Insan: 2)
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (al-Balad: 4)

Sesungguhnya ilmu pengetahuan dan teknologi  pada  zaman  kita sekarang  ini  telah  turut  andil  dalam memberikan pelajaran  kepada   orang-orang   cacat   untuk   meraih   keberuntungan, sebagaimana   keduanya  telah  turut  andil  untuk  memudahkan kehidupan mereka.  Dan  banyak  diantara  mereka  (orang-orang cacat) yang turut menempuh dan memikul beban kehidupan seperti orang-orang yang normal. Lebih-lebih dengan  sunnah-Nya  Allah mengganti  mereka  dengan  beberapa karunia dan kemampuan lain yang luar biasa.
Allah berfirman dengan kebenaran,  dan  Dia-lah  yang  memberi petunjuk ke jalan yang lurus.

CATATAN KAKI:
1 Fatwa ini sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh Yayasan Islam untuk Ilmu-ilmu Kedokteran, di Kuwait, dalam suatu diskusi yang dihadiri oleh para fuqaha dan para dokter tentang berbagai masalah kedokteran yang bersentuhan dengan pandangan syara’. ^

2 Al-Mughni ma’a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, hlm. 550. ^

3 Ibid., juz 6, hlm. 556-557. ^

4 Al-Muhalla, juz 11. ^

5 Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahih-nya, “Kitab al-Qadar,” “Bab

Kaifiyyatu Khalqil-Adamiyyi fi Bathni Ummihi,” hadits nomor 2645. ^

6 Yang mengagumkan, ilmu kandungan dan anatomi setelahmengalami kemajuan seperti sekarang menetapkan bahwajanin setelah berusia empat puluh dua malam memasuki tahap baru dan perkembangan yang lain. ^

7 Fathul-Bari juz 14, hlm. 284, terbitan al-Halabi. ^

8 Sebagian ulama Syafi’iyah –sebagaimana disebutkan alam Hasyiyah asy-Syarwani ‘ala Ibni Qasim, juz 9 hlm. — menganggap bahwa Imam Abu Hanifah memperbolehkan menggugurkan kandungan setelah ditiupkannya ruh. Ini benar-benar kekeliruan terhadap beliau dan mazhab beliau. Kitab-kitab mazhab Hanafi menentang pendapat ini. ^

9 Fathul-Bari, juz 11, hlm. 222, terbitan al-Halabi. ^

10 Nihayah al-Muhta; karya ar-Ramli, juz 8, hlm. 416 terbitan al-Halabi. ^

11 Al-Bahrur-Ra’iq, Ibnu Najim, juz 8, hlm 233Darul-Ma’rifah, Beirut. ^

12 Fathul-Qadir, juz 2 hlm 495, terbitan Bulaq. ^

13 Ad-Durrul-Mukhtar wa Hasyiyah Ibnu Abidin ‘Alaih, juz 2, hlm. 380. Terbitan

Bulaq. ^

14 Ihya ‘Ulumuddin, “Bagian Ibadat,” “Kitab Nikah,” hlm. 737, terbitan Asy-Sya’b.^

15 Al-Bahrur Ra’iq, Ibnu Najim, juz 8, hlm. 233. ^

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *