Pengecualian dalam Melaksanakan Haji

Imam Syafi’i berkata: Shafyari telah mengkhabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, bahwa Rasulullah SAW melewati Dhaya’ah binti Zubair,  lalu beliau bertanya kepadanya. “Apakah engkau akan melaksanakan haji?” Ia menjawab, “Aku menderita sakit.” Lalu Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Berhajilah dan buatlah syarat (terhadap Allah) dengan mengatakan, ‘Tempat tahallul-ku adalah tempat dimana aku terhalang (oleh penyakitku) ” Dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, ia berkata bahwa Aisyah telah berkata kepadanya, “Apakah engkau membuat persyaratan (mengatakan sesuatu) apabila menunaikan ibadah haji?” Aku menjawab, “Apa yang harus aku katakan?” Lalu Aisyah berkata, “Ucapkanlah, ‘Ya Allah, aku sengaja berniat untuk melakukan haji; maka apabila aku : Dhaya’ah binti Zubair adalah anak paman Nabi SAW, bapaknya adalah Zubair bin Abdul Muthalib, kuniyah-nya (panggilannya) adalah Ummu Hakib.

Imam Syafi’i berkata: Seandainya hadits Urwah yang menerangkan bahwa Nabi menyuruh untuk membuat persyaratan dalam haji adalah shahih, maka saya tidak perduli dengan pendapat yang bertentangan dengan hadits tersebut, karena menurut pendapat saya seseorang tidak boleh menentang sesuatu yang jelas shahih dari Rasulullah SAW. Yang menjadi masalah adalah ketika seseorang membuat persyaratan dalam ibadah haji dengan berbagai macam kemungkinan; seperti terkepung oleh musuh, sakit, bekalnya hilang, salah dalam perhitungan dan keterlambatan, maka di tempat itu ia dapat melakukan tahallul. Masalahnya adalah, apakah ia harus menyembelih kurban, membayar kifarat atau harus mengqadha hajinya? Jawabnya adalah, ia tidak harus menyembelih kurban dan tidak wajib membayar kifarat, serta tidak wajib mengqadha hajinya. Dalilnya adalah bahwa haji yang ia lakukan merupakan haji rukun Islam, sehingga dianggap telah melaksanakan kewajiban rukun Islam. Di samping itu, ketika Rasulullah SAW menyuruh seseorang untuk membuat syarat di dalam hajinya berarti orang yang disuruh telah menunaikan amalan yang disyaratkan. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah yang menyatakan bahwa apabila seseorang terhalang dari haji, maka haji tersebut diubah menjadi umrah. Hal ini akan lebih jelas ketika seseorang menggunakan perkataan syarat, “Jika saya terhalang untuk menyelesaikan ibadah haji, kemudian mendapatkan jalan untuk sampai ke Baitullah, maka jadikanlah itu sebagai umrah.” Dari perkataan ini bisa diambil kesimpulan bahwa yang bersangkutan tidak perlu mengqadha hajinya dan tidak wajib membayar kifarat, wallahu a ’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *